Seisi kantin menjadi hening setelah kepergian Jay dan Maya. Lalu kerumunan itu perlahan bubar karena tidak ada lagi yang bisa ditonton. Kinan mendekati Amer, memeriksa apakah gadis itu baik-baik saja.
"Gue, gak papa," ujar Amer.
"Maya kelewatan banget! Untunglah Jay datang tepat waktu." Terdengar suara khawatir dari Kinan. "Tapi kok Jay sampai segitunya? Bukannya cowok itu acuh sekitar?"
Amer melihat kepergian Jay di belakang kemudian menjawab pertanyaan Kinan.
"Gak usah dipikirin. Lo lanjut aja makan, gue mau bersihin beling sebelum kena kaki orang." Amer beranjak lalu berjongkok di sekitar pecahan beling dan memunguti perlahan.
Tentu saja Kinan tidak menurut, ia segera membantu Amer.
***
Aksi Jay di kantin mendapat perhatian serius dari murid-murid. Gosip mengenai Amer kini perlahan teralihkan.
"Amer, lo mau kemana? Gak pulang?" tanya Kinan saat melihat Amer masih santai di kursinya.
"Gue mau cari Jay, tadi belum sempat bilang makasih. Lo duluan aja gak papa. Tadi lo bilang juga ada urusan sama bokap, 'kan?" balas Amer.
Kinan mengangguk pelan, "Kalo gitu gue duluan, ya. Jangan sampai ada yang macam-macam sama lo! Kalo ada, cepat hubungi gue, oke?!" perintah Kinan.
Amer sontak tertawa, terdengar seperti seorang kekasih yang begitu posesif pada pasangannya.
"Okei, gue bakal baik-baik aja, kok," jawab Amer mengacungkan ibu jari.
Disaat Kinan telah keluar kelas, barulah Amer beranjak. Ia menggeleng pelan, kemudian terkekeh geli karena mengingat perkataan Kinan.
Tujuannya saat ini adalah mencari laki-laki bernama Jay Vecenly. Amer merasa harus berterima kasih banyak karena perbuatannya lelaki tersebut. Berkat ia kepalanya baik-baik saja. Mengingat Jay merupakan anggota OSIS, Amer berencana untuk menuju lokasi organisasi itu.
Tepat sekali, seseorang yang ia cari baru saja keluar dari dalam ruangan. Amer segera menghadang jalan yang akan dilewati oleh Jay.
Jay mengernyit heran dengan tingkah perempuan di depannya. Ia menaiki satu alis ketika perempuan itu menatapnya.
"Gue mau berterima kasih sama lo atas kejadian di kantin tadi. Berkat lo kepala gue baik-baik aja," ujar Amer bersungguh-sungguh.
Alih-alih menbalas ucapan terima kasih Amer, Jay malah tertawa kemudian melenggang pergi. Tentu saja hal itu membuat Amer tersinggung! Apa ada yang lucu dengan dirinya?
"Amer?"
Refleks Amer berbalik badan dan mendapati Rey telah berdiri di sampingnya.
"Kenapa ada di sini? Lo gak pulang?" sambung Rey seraya mengikuti arah pandang Amer sebelumnya.
"Um ... Itu, tadi gue—"
"Oh ya, gue udah denger kejadian di kantin. Maaf, ya, gue gak bisa nolongin lo di sana karena gue lagi rapat sama anggota lain," terang Rey tanpa diminta.
"Lo gak perlu minta maaf, toh, gue sekarang gak papa."
Sekarang Amer mendapat titik terang kenapa saat kantin sedang rusuh tidak ada yang melerai. Padahal biasanya anggota OSIS selalu gerak cepat. Lalu alasan kenapa Jay bisa berada di kantin padahal organisasinya sedang mengadakan rapat, itu hal biasa.
"Syukurlah, beruntung ada Jay yabg nolongin lo. Dia juga udah bawa Maya ke ruang BK."
"Ah, ternyata sifat Jay yang jauh dari kebanyakan anggota OSIS ada untung juga, ya," gurau Amer lalu tertawa.
"Ya ... Seperti itulah." Rey menggaruk rambutnya. Perkataan Amer ada benarnya juga.
"Rapatnya udah selesai?" tanya Amer melihat satu persatu anggota OSIS keluar dari dalam.
Rey mengangguk, "Sudah. Ayo pulang sama gue," ucap Rey terdengar seperti permintaan.
"Lo yakin tidak ada kegiatan lain lagi?"
"Gak ada, kegiatan gie sekarang adalah anter lo pulang. Ayo!"
Rey menarik lengan Amer untuk segera pergi dari sana. Kejadian itu sudah sangat biasa dilihat oleh umum, apalagi kedekatan antara Amer dan Rey. Semua orang tahu seperti apa keduanya, dua orang yang merupakan pengharum nama sekolah.
Sekarang keduanya berada di sebuah warung makan. Tanpa memberitahu lebih dulu, Rey menurunkan Amer di sana. Hal itu membuat Amer menghela napas pasrah. Kebiasaan Rey yang selalu dilakukan bersamanya.
"Ah, apa lo udah tahu masalah olimpiade?" celetuk Rey.
Amer mendongak, baru ingat kalau ada olimpiade yang sekarang bagaimana kejelasannya. Apakah Amer bisa ikut atau tidak.
"Astaga, gue malah lupa sama masalah itu," rutuk Amer.
Rey tertawa, sudah ia duga sebelumnya. Amer banyak pikiran karena masalah video yang beredar.
"Udah gue duga. Kayaknya kepsek belum kasih tahu lo. Kita berdua bakal ikut olimpiade lagi tahun ini. Yang artinya lo bisa lanjut ikut!" ungkap Rey berseru senang.
"Gue gak yakin kalo sama yang lain, selain lo!" tambahnya dengam senyum manis.
"Ahhh ... Akhirnya gue bisa ikut lagi. Harusnya lo percaya sama orang lain juga, Rey. Jangan terpaku sama gue. Gue yakin, walaupun gue gak ikut sekolah kita bakal bisa menang," sahut Amer halus. Mencoba memberi pengertian kepada Rey.
"Kalo ada lo gue jadi semangat. Jadi, keberadaan lo itu penting buat gue, Amer."
Amer menghentikan suapannya dan menatap Rey. Ia tahu benar apa yang dimaksud oleh perkataan Rey barusan. Bukannya Amer tidak peka, hanya saja itu ....
"Seperti penyemangat, ya?"
Rey mengangguk.
Amer tersenyum manis, "Thanks, ya. Kalo gitu apa kita perlu belajar bersama besok?" usul Amer sekaligus menjadi alih pembicaraan.
"Ide bagus! Gimana kalau pulang sekolah? Di perpustakaan sekolah?"
"Baiklah, gue setuju!"
Keduanya berhenti bicara dan kembali melanjutkan makan mereka yang terhambat karena obrolan. Sepertinya saat ini dan sebelumnya Amera tidak ingat mengenai baju yang dipakainya sekarang. Rey juga tidak membahas hal tersebut. Mungkin ia sudah sadar sejak tadi jika Amera masih mengenakan seragamnya, tetapi memilih diam untuk kenyamanan Amera.
Tanpa Amera sadari juga jika Rey memakai baju seragam saat ini. Entah darimana laki-laki tersebut mendapatkan seragam padahal di koperasi terjual habis.
Getaran ponsel Amera membuat keduanya terkesiap dan refleks menoleh pada sumber suara. Sebuah panggilan masuk.
Amera tersenyum saat tahu siapa penelepon itu. Kinan.
"Gue angkat telepon dulu, ya," izin Amer pada Rey. Rey mengangguk mempersilakan.
"Kinan, ada apa?"
"...."
"Iya, gue udah pulang kok. Sekarang lagi makan."
"...."
"Hu'um, semua baik-baik aja. Gue gak kenapa-kenapa."
" ...."
Amera melirik Rey yang sedang menyantap makanan.
"Gue sama Rey. Tadi kita kebetulan pulang bareng, alhasil seperti yang gue bilang."
"...."
"Enggak, kok. Lo gak ganggu."
"...."
"Baiklah, dahh ...."
Amera kembali meletakkan ponselnya di atas meja.
"Kinan, ya?" tanya Rey memastikan.
"Hu'um."
"Kalian bener-bener dekat," ucap Rey terkekeh kecil.
"Begitulah. Kita udah tiga tahun sekelas. Walaupun beberapa kali berantem, tapi gak lama baikan lagi," terang Amera.
"Sayangnya kita gak sekelas," celetuk Rey dengan wajah masam.
Amera tersenyum tipis mendengar celotehan Rey barusan. Lagi-lagi laki-laki tersebut melakukan kebiasaannya.