Pantulan cermin memperlihatkan seorang perempuan dengan mata sembab, bahkan mata itu masih terlihat memerah. Pagi ini ia akan pergi ke rumah sakit, tentu saja dengan kedua orang tuanya.
Setelah puas menatap nyalang pantulan dirinya di cermin, ia segera keluar dari kamar dan menuju meja makan. Tidak ada pembicaraan seperti hari sebelumnya di tempat itu, hanya ada keheningan. Seakan mulut tersebut terkunci rapat.
Amera menunduk, memejamkan mata sejenak. Suasana ini terjadi karena dirinya, ya, karena dirinya. Amera menarik napas pelan dan mengangkat kepala. Lalu mengambil makanan di meja, jika biasanya Sanya–Ibu Amera selalu mengambilkan nasi untuk putrinya, tetapi kali ini tidak. Wanita itu seolah tidak menganggap Amera berada di sana.
Tepat pukul sembilan keluarga Candra sampai di rumah sakit. Amera berdiri sembari melirik kanan kiri, sebab keluarga Kenzo belum datang. Sedangkan kepala sekolah sudah berada di sana sebelum keluarga Amera datang. Entah kenapa Amera menjadi benci dengan lelaki itu. Bukan karena alasan ia memfitnah dirinya dan Kenzo, tetapi karena tatapan mata miliknya. Lelaki tua itu menatap Amera, seperti terselubung niat lain.
Sontak Amera mengalihkan pandangannya pada tiga orang yang baru saja datang, Kenzo dan kedua orang tuanya.
"Maaf karena kami terlambat. Tadi jalanan sedikit macet," ujar Jordi yang terlihat buru-buru.
Herawan selaku kepala sekolah tersenyum memaklumi.
"Yang terpenting kalian datang. Kalau begitu kita langsung saja. Kalian berdua ke dalam," ucapnya menatap Kenzo dan Amera bergantian.
Seperti yang diperintahkan, kedua remaja tersebut masuk ke dalam ruangan. Jujur, walaupun Amera tidak merasa melakukannya, tetapi ia tetap gugup. Tangannya bergetar dan sedikit berkeringat.
Kenzo yang duduk di samping perempuan tersebut terkekeh pelan melihat kegugupan Amera.
"Gak usah gugup, kita gak bersalah di sini," ucapnya yang ditujukan pada Amera.
Amera menoleh ke arah Kenzo.
"Tapi tetep aja gue gugup," jawab Amera lemah.
Kekehan Kenzo berhenti kala dokter yang menangani datang di kursi depan mereka. Tidak sampai satu jam, Kenzo dan Amera keluar dari ruangan tersebut. Keluarnya mereka berdua seketika mengubah raut wajah para orang tua.
Sedangkan Amera dan Kenzo hanya diam saat ditatap mereka. Karena hasil akan diberitahukan setengah jam nanti, Amera pamit untuk pergi membeli minum di kantin rumah sakit. Tiga menit setelah kepergian Amera yang belum kembali, Kenzo juga izin untuk ke toilet. Sebenarnya itu hanya alasan Kenzo saja supaya ia bisa pergi dari sana. Kenzo merasa suasananya sangat tidak nyaman. Apalagi Amera pergi dan ia sendiri di sana.
Sesampainya di bagian belakang rumah sakit, mata Kenzo tidak sengaja melihat Amera yang tengah duduk di kantin dengan botol minum di depannya. Tanpa berpikir apapun, Kenzo langsung menghampiri perempuan tersebut.
"Ken–Kenzo? Lo ngapain di sini?" bingung Amera sekaligus terkejut dengan kedatangan laki-laki itu.
"Menurut, lo? Gue nyusul lo, gitu?" jawab Kenzo yang malah nyolot. Amera menyesal karena melontarkan pertanyaan itu. "Gue males di sana. Suasananya mencekam banget," sambung Kenzo.
Tiba-tiba Kenzo tertawa kecil sembari menatap Amera yang tengah menatap arah lain. Amera mengernyit menoleh Kenzo yang tertawa.
"Kenapa?" sinis Amera risih.
"Kalo dipikir-pikir baru pertama kali ini gue lihat lo dari dekat. Parahnya lagi lo duduk di hadapan gue," jelas Kenzo kembali tertawa.
"Ya terus, kenapa lo ketawa?"
"Aneh aja, sih. Amera yang selalu dipuja-puja sama guru sekarang duduk sama orang yang selalu dijuluki biang onar di sekolah. Kena skandal berdua lagi!" Kenzo tertawa terbahak. Sedangkan Amera mengumpat laki-laki itu dalam hatinya.
"Lo seneng?" ketus Amera sebal.
"Bisa dibilang gitu," jawab Kenzo yang langsung mendapat pelototan dari Amera.
"Gila, lo!" sahut Amera tidak habis pikir.
"Biasa aja, sih, gue. Kapan lagi buat masalah sama siswi jenius kayak lo. Momen langkah. Ya, walaupun cuma fitnah. Harusnya lo bersyukur karena dapat masalah ini. Masa SMA lo gak monoton, yang selalu tentang prestasi," terang Kenzo yang sudah berhenti tertawa.
Amera tidak menjawabnya lagi. Tiba-tiba saja perkataan Kenzo barusan memenuhi pikirannya.
"Oh ya, gue ada pertanyaan buat lo," ucap Kenzo sembari membenarkan posisi duduknya.
Amera menoleh pada laki-laki itu. Menunggu pertanyaan apa yang akan dilontarkan.
"Lo beneran masuk ke kamar yang gue masuki itu? Kayak yabg di video?"
Amera mengangguk, "Iya, gue emang masuk ke kamar itu. Tapi—"
"Gila! Jadi bener? Kok gue gak ngerasa lo—"
Brak!
Amera mengebrak meja dan berhasil menghentikan ucapan ngawur Kenzo. Sontak Kenzo terkejut menatap Amera yang menatap tajam ke arahnya.
"Gue belum selesai ngomong! Dan gak usah mikir aneh-aneh!" sentak Amera, "Gue masuk ke sana karena mau balikin ponsel lo yang jatuh. Setelah itu gue keluar," ungkap Amera kesal.
Kenzo yang siap menjawab menjadi urung karena dering ponselnya. Buru-buru ia mengambil ponsel dari saku celana dan menerima panggilan yang masuk.
"Hah, gila! Lo gak bercanda, 'kan?" ucap Kenzo yang seketika terkejut karena ucapan penelepon.
"Oke, thanks infonya. Sialan memang tuh orang." Setelah memaki Kenzo menutup teleponnya dan mengacak rambut frustasi.
"Kenapa?"
Kenzo berhenti mengacak rambut dan menatap Amera.
"Videonya sekarang udah kesebar ke murid," jawab Kenzo pelan.
Amera melotot tak percaya, bagaimana bisa?
"Ken, lo serius?" tanya Amera yang semakin gelisah.
Kenzo mengangguk.
Amera mengeleng keras, "Gue harus ke sekolah dan jelasin ke mereka semua kalo ini gak bener!" Amera berdiri dengan tangan terkepal.
Namun, dengan cepat Kenzo menarik lengan perempuan tersebut.
"Mending kita balik ke ruangan dan kasih bukti itu ke mereka," ucap Kenzo ikut berdiri kemudian menarik Amera pergi dari kantin.
Sesampainya di sana, Kenzo dan Amera dibuat terkejut dengan perkelahian antara Herawan dan Jordi yang entah apa sebabnya. Kenzo seketika berlari dan memisahkan kedua orang itu, dibantu oleh Candra yang sedari tadi berusaha melerai.
"Papa, udah!" ucap Kenzo sedikit keras.
Sudut bibir Jordi mengeluarkan darah dan Herawan dibagian hidung. Kenzo yakin keduanya benar-benar mengeluarkan tenaga dalam.
Setelah keduanya berhasil di lerai, beberapa dokter datang menghampiri mereka.
"Tolong jangan buat kegaduhan di sini! Silakan keluar!" sentaknya yang kesal karena keributan yang menganggu pasien rumah sakit.
"Kepala sekolah macam apa anda, hah? Sebegitu inginnya anda mencemarkan nama baik anak saya?! Jelas-jelas hasil tes tidak terbukti benar! Dan anda malah menuduh anak saya mengelabuhi tes? Cih, tidak ada otak!" ucap Jordi memelankan suaranya tepat di wajah Herawan.
"Ayo pulang!" ucap Jordi berlalu pergi.
Amera yang masih bingung dengan apa yang terjadi hanya diam mengikuti kedua orang tuanya pergi meninggalkan Herawan. Ia dan Kenzo baru saja datang, tetapi disuguhkan pemandangan yang tidak menyenangkan.
Keluarga Jordi sudah berada di dalam mobil mereka dan pergi keluar dari kawasan rumah sakit. Kenzo yang daritadi penasaran dengan yang terjadi, langsung melontarkan pertanyaan pada Papanya.
Sejak pergi meninggalkan Herawan, Jordi terus memaki kepala sekolah tersebut.
"Pa, kenapa?" tanya Kenzo.
"Kepala sekolah kalian, tuh. Otaknya agak miring!" caci Jordi sembari menyetir.
Kenzo yang duduk dibelakang sontak menahan tawa.
"Dia malah fitnah kamu sama temen cewek kamu itu suap dokternya agar tes gak kebukti. Gimana Papa gak marah coba?"
Kenzo membelalakkan mata.
"Serius, Pa, dia bilang gitu?"
Jordi mengangguk.
"Iya, dia bilang itu sama kita. Orang tua temen kamu juga denger. Heran banget Mama sama kepala sekolah kamu, hih," sahut Ziya bergidik.
"Kira-kira Kenzo bakal dikeluarkan dari sekolah gak, ya, karena Papa berantem sama kepala sekolah," ucap Kenzo cengengesan.
"Dengan senang hati, Papa bakal terima dan masukin kamu ke sekolah yang lebih bagus lagi. Atau sebelum dia keluarkan kamu dari sekolah, Papa pindahin kamu duluan," jawab Jordi santai.
"Eh, jangan, Pa!" tolak Kenzo cepat.
Ziya menoleh ke belakang dan menatap putranya curiga.
"Kenapa? Kamu ada naksir cewek di sana?" tanya Ziya dengan senyum menggoda Kenzo.