Baju milik Rey sedikit kebesaran di tubuh mungil Amera, tetapi itu cukup membantu untuk menutupi roknya yang terlihat kotor. Seperti yang dikatakan Rey, jika bajunya masih dalam kedaan bersih. Terbukti masih ada aroma harum dari deterjen.
Kejadian tadi pagi masih berlangsung sampai saat ini. Bahkan di kelas Amera masih mendapat cacian menjijikan dari mulut teman sekelasnya. Berapakali juga Kinan membungkam mulut mereka dan membela Amera, tetapi itu percuma, malah mereka semakin menjadi-jadi.
Jam istirahat tengah berlangsung, saat ini Amera dan Kinan berada di taman belakang sekolah yang jauh dari jangkauan orang lain. Amera sengaja mengajak Kinan ke tempat itu untuk mengatakan sesutu.
"Jadi?" beo Kinan selesai
bercerita terkait pemeriksaan tes Amera kemairn.
Amera menatap Kinan lekat dengan mimik wajah sendu.
"Hasil tesnya ... negatif!" jawab Amera yang kemudian mengganti raut wajahnya menjadi ceria. Sedangkan Kinan, ia sudah tertipu oleh wajah sendu Amera tadi. Kinan memukul pelan lengan Amera, mengumpat gadis itu karena telah berhasil membuat dirinya jantungan.
"Sial, lo! buat jantung gue deg-degan aja!" rutuk Kinan.
Sontak Amera tertawa puas melihat wajah kesal milik Kinan.
"Orang gue gak ngapa-ngapain sama Kenzo. Yakali hasilnya positif," sahut Amera yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.
"Ayo ke kantin!" seru Amera.
Kinan berdiri seraya menepuk-nepik bagian belakang roknya yang terdapat rerumputan kecil menempel.
"Terus kenapa lo gak bungkam mulut mereka? Harusnya lo bilang kalo tuduhan itu gak benar."
Amera menoleh ke belakang, menatap kinan yang sepertinya heran dengan pola pikirnya.
Amera tersenyum tipis, ia memang sengaja membiarkan mereka menggunjing dirinya. Lalu ia akan membungkam mereka secara bersamaan. Itulah rencananya.
"Gue gak mau buang-buang energi buat bungkam mereka satu-persatu. Lebih enak secara bersamaan, 'kan?''
"Gue rasa mereka masih tetap gak percaya kalo lo gak ada bukti," balas Kinan.
"Gue ada, kok." Amera merogoh saku roknya dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Kemudian membuka galeri dan menunjukan sesuatu pada Kinan. "Gue udah foto semua bukti dari dokter, kalo gue gak seperti yang mereka pikir."
Kinan mengangguk setelah melhat foto-foto yang Amera perlihatkan.
"Ayo ke kantin! Gue dah laper. Di-bully sama satu sekolah banyak menguras energi dan kesabaran,'' kekeh Amera.
Keduanya sampai di kantin dengan tatapan benci dari pengunjung kantin. Namun, Amera tidak mempedulikan hal tersebut, ia bersikap acuh dengan cibiran mereka.
Amera sudah menduga jika di kantin ia akan mendapatkan hal serupa. Ia maupun Kinan berlagak tidak ada orang di sana. Setelah sepuluh menit Kinan pergi mengantri makanan di warung, akhirnya ia datang dengan nampan berisi mie ayam dan dua minuman segar. Lalu di belakang Kinan pemilik warung juga mengantarkan pesanan.
Kinan duduk dan meletakkan makanan mereka di meja.
"Selamat makan!" serunya lalu memasukan satu suap ke dalam mulut. Begitu pula dengan Amera.
Kesal karena Amera bersikap acuh dengan sekitar yang mencacinya, seorang perempuan berjalan ke arah meja Amera dan Kinan yang sedang asik melahap.
BRAK!
Gebrakan tersebut berhasil menyita perhatian semua orang di kantin. Bahkan Amera sampai tersedak saking terkejutnya. Kinan, perempuan tersebut sama terkejutnya.
Dengan tatapan kesal, Kinan berdiri menatap tajam perempuan di sebelahnya dengan angkuh.
"GAK PUNYA OTAK YA, LO!" teriak Kinan lantang, "Lo gak lihat gue lagi makan dan dengan gilanya lo gebrak meja!"
"Gue gak ada urusan sama lo, Kinan," desis Maya sinis. Maya beralih menatap Amera yang sedang meneguk minumnya.
Dengan kasar, Maya merebut gelas tersebut dari Amera.
"Oh, shit!" lirih Amera merutuk dan berdiri dengan wajah menahan amarah.
"Lo ada urusan sama gue? Ayo bilang sekarang!" ucap Amera menatap lurus ke mata Maya. Seolah ia sedang menantang perempuan tersebut.
Maya menarik satu sudut bibirnya. Suka dengan keberanian Amera.
"Berani banget, sih, lo datang ke sekolah dengan wajah polos tanpa dosa? Dengan percaya dirinya lo berkeliaran di sini setelah aib lo tersebar. Oh ... atau jangan-jangan lo bangga dengan aib itu?" ucap Maya dengan raut wajah seolah terkejut.
"Aib?'' tanya Amera tertawa, "Tapi sayangnya gue merasa itu bukan aib, lebih tepatnya fitnah. Di dalam video itu apa kalian lihat kejanggalan?'' ucap Amera pada semua orang yang ada di sana.
Semua orang terdiam.
"Tubuh gue gak seberisi itu,'' lanjut Amera yang mendapat tawa dari Maya.
"Cih, ternyata lo gak sepinter yang dibayangkan. Bisa-bisanya lo alasan dengan bentuk tubuh?" Maya kembali tertawa. "Jelas-jelas lo masuk ke kamar yang sama dengan Kenzo!" sambung Maya yang berhasil mengundang tawa pengunjung kantin.
Amera ikut tertawa kemudian mengambil ponselnya dari atas meja. Setelah melakukan sesuatu, ia tersenyum dan meletakkan ponselnya kembali.
"Sepertinya kepala sekolah kita belum memberitahu kebenarannya. Sekarang kalian bisa lihat di grup sekolah buktinya jika itu fitnah." Amera mengatakan dengan senyum manis menghias wajahnya.
Detingan notifikasi dari setiap ponsel bersuara secara beruntun. Semua orang membuka ponsel mereka dan melakukan seperti yang dikatakan Amera.
Benar, amtera mengirimkan semua hasil pemeriksaan dokter ke grup sekolah.
"Gue harap kalian gak kecewa sama butktinya sebab setelah ini mulut sampah kalian gak akan bisa berkoar hujat gue lagi."
"Ah, satu lagi. Entah kenapa setelah gue perhatikan cewek dalam video itu lebih mirip Maya ketimbang gue. Apa kalian semikiran sama gue sekarang?" lanjut Amera menarik sudut bibirnya ke atas dan menatap Maya.
Tangan Maya terkepal erat, tidak terima atas perkataan amera barusan.
"Lo mau nuduh gue balik, hah?!" sentak Maya.
"Gue gak nuduh, tapi gue cuma beropini. Kok lo marah? Atau jangan-jangan itu memang lo?" Amera menutup mulutnya dengan mata membulat. Ia berhasil membalikkan perkataan Maya.
Maya yang masih memegang gelas milik Amera, mencengkeram gelas tersebut dengan kuat dan melayangkannya ke wajah Amera.
Namun, tangan Maya kalah cepat dengan tangan seseorang. Gelas tersebut terlempar dan pecah berserakan di lantai. Semua orang di sana menjerit terkejut.
Mata Maya fokus menatap seseorang yang yang berada di sampingnya. Antara terkejut dan takut menjadi satu. Pasalnya orang tersebut menatap begitu tajam.
"Lo tau, apa kesalahan yang lo perbuat?" tanya orang tersebut dengan wajah dingin. Maya diam tidak menjawab, seolah tubuhnya terkunci tak bisa bergerak. "Yang pertama, lo buat keributan di lingkungan sekolah dan yang kedua, lo mengusik ketenangan gue!" lanjutnya dengan nada pelan di akhir kalimat.
Jay Vecenly, laki-laki yang merupakan anggota OSIS. Laki-laki dengan sikap dingin, pendiam, cuek, serta dianggap aneh. Yang ia lakukan barusan sukses mengundang banyak pertanyaan di benak mereka yang menyaksikan. Seorang Jay terlihat peduli dengan yang terjadi di sekitarnya. Walaupun ia anggota OSIS, tidak pernah sekali terlihat seperti anggota, kecuali hari ini. Laki-laki tersebut membawa nama organisasinya.
"Guru BK harus tau keributan yang lo perbuat, bukan?"
Jay menyeret Maya keluar dari kawasan kantin dan membawanya ke ruang BK.
Kepergian Maya dan Jay, membuat Amer kembali duduk dan menghela napas. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi kepalanya saat gelas itu berhasil mendarat. Pasti berlumuran darah.