Suasana tenang menyelimuti damainya latihan yang diberikan El untuk Richard. Meskipun terasa berat, namun itu semua tak menyurutkan tekatnya yang sudah bulat demi mendapatkan perhatian dan lampu hijau persahabatannya dengan sang gadis pujaan.
Disela-sela kegiatan, El menghentikan latihannya dikarena memang sudah masuk break time. Richard mengamit handuk kecil yang disampirkan di atas matras. Ia mengusap peluhnya yang lumayan banyak. Richard mendudukkan dirinya di samping El dan meneguk habis air mineral yang ada di botol besar milik sahabatnya.
"Itu punya gue kalau lo lupa."
"Nanti gue beliin yang lain sebagai gantinya. Gue benar-benar haus, El. Tega banget lo."
El menghela napas perlahan dan berdiri membawa tasnya menuju kamar ganti diikuti Richard 5 menit kemudian.
Selesai berganti pakaian, mereka segera keluar dari tempat itu dan menuju parkiran di mana ada motor El yang sudah bertengger di sana.
"Lo ada kelas juga 'kan hari ini? Mau nebeng sekalian gak?" tanya El yang ternyata sudah menaiki motornya.
"Sebenarnya masih 2 jam lagi sih. Tapi boleh deh, gue nebeng lo aja. Gue juga udah lapor ke bang Leo sebelum ke sini."
El mengacungkan jempolnya setelah memakai helm. Berhubung jarak dari tempat itu ke kampus mereka tak begitu jauh dan bisa ditempuh dengan melewati jalan di perumahan, jadi Richard yang tak memakai helm pun tak masalah.
Selama perjalanan, El banyak sekali bercerita tentang perkembangan hubungannya dengan Rintia. Tampaknya ia sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Dua sahabat ini memang harus tahan betul dengan sikap dan kepribadian duo angkuh itu. Tapi El sudah ada dua langkah di depan Richard. Sedangkan Richard? Mungkin ia hanya bergerak seperempat langkah saja.
"Mau sampai kapan lo begitu, Chie?"
El membuyarkan lamunan Richard. Kepalanya memutar ke kanan ke kiri. Pantas saja, ternyata sudah sampai.
"Hehe. Sorry. Lo ke kelas aja. Gue masih mau di sini."
El memandangi area parkiran di kampusnya. Matanya menangkap sosok Tasya. El memutar bola matanya malas dan bergerak menjauhi Richard. Ia akhirnya tahu kenapa Richard ingin berdiam di sana lebih lama.
Richard masih setia berdiri di sana. Ia tak tahu bahwa tak jauh dari sana juga ada Tasya. El pun hanya berspekulasi bahwa sedari tadi Richard sedang mengamati Tasya. Padahal kenyataannya, Richard bukan melamun karena mengamatinya, melainkan karena pikiran lainnya, karena serpihan masa lalunya. 'Apakabar kalian?' batin Richard berkecamuk.
Di sana, Tasya menangkap Richard yang berdiri dalam diamnya. Angin lembut menyapu surai auburn milik Richard, memperlihatkan dahinya yang terdapat satu tahi lalat kecil. Kepalanya menengadah, matanya terpejam. Hidung yang mancung sempurna disertai garis rahang yang tampak begitu jelas. Wajah yang sangat ideal.
Tasya terpana sesaat. Dirinya tanpa sengaja menangkap sosok Richard, pria tambun yang selalu bersikeras ingin menjadi temannya itu begitu menakjubkan. Ia meneliti seluruh sudut wajah lelaki itu. Sempurna. Hampir tak ada celah yang terukir di sana. Sungguh maha karya Tuhan yang terindah. Setidaknya itu pendapat Tasya sampai si pemilik wajah menyadari kalau sedang diperhatikan.
"Hai, Tasya! Lagi apa di sini? Gak ada kelas?"
Alih-alih menjawab, Tasya malah melangkahkan kakinya menjauhi Richard. Hatinya berdesir halus. Ia berusaha menutupinya dan terus saja berjalan mendahului Richard.
"Gue masuk 1 jam lagi. Gimana kalau ke air mancur waktu itu?"
Tasya ingin mengabaikan tawaran itu. Namun, kakinya tetap melangkah beriringan dengan Richard. Dirinya sadar, ia ingin menghindar tapi kakinya tak mau mendengar perintah otaknya untuk menjauh.
**
Terlihat Tasya sedang duduk di kantin bersama dengan sepupunya. Bukan hal biasa bila Tasya ada di kantin yang ramai seperti itu. Mengingat dirinya tak menyukai tempat ramai, pastilah membuat stalker sejatinya ini bingung. Iya. Di sana ada Richard yang baru saja melangkah masuk ke kantin setelah mata kuliah yang membosankan baginya usai. Meski Richard tergolong murid berprestasi tapi ia juga manusia biasa yang bisa merasa bosan. Terlebih lagi apabila dosen pengampunya sudah tua dan suaranya tak begitu jelas terdengar.
Richard memperhatikan Tasya yang sedang menyesap susu strawberry kesukaannya. Tangannya senantiasa menggenggam roti melon kesukaannya. Di sampingnya juga ada Rin yang sedang memakan set lunch-nya dengan khidmat. Bagi Richard, tak ada hal yang lebih menyenangkan selain mengamati gadis pujaannya itu.
"Bang. Lagi apa berdiri disini? Lo ini lagi jadi stalker ya?"
Richard menoleh dan mendapati Rayhan ada di belakang punggungnya. Ya, Richard memang tampak seperti stalker. Lihat saja, sedari tadi bukannya masuk dan mengantri, ini malah sembunyi di balik pilar besar di sana.
"Jangan-jangan lo suka sama kak Rin, Bang? Gak boleh! Jangan rebut gebetan Farel!"
Richard melongo mendengar perkataan Rayhan. Siapa yang menyukai Rin? Rin bukan tipenya. Alhasil Richard melayangkan jitakan halus di atas kepala Ray.
"Anjir, pelanin suara lo. Lagian gue gak tertarik sama gebetan abang lo."
"Ooh. Berarti yang di sebelahnya ya?"
Richard mengangguk mantap. Mata hazel-nya kembali mengamati Tasya dengan detail. Mata bulat itu sungguh menggemaskan di mata Richard.
"Oh ya! Tadi Bang El nyariin lo tuh. Dia bilang kalian ada kelas sekitar 30 menit lagi."
"Ah, iya benar! Kenapa abang lo gak telepon aja?"
Richard segera mengeluarkan ponselnya dan ternyata El sudah menghubunginya berkali-kali tapi karena Richard terlalu fokus kepada Tasya, jadilah ia mengabaikan semuanya.
"Nah 'kan, udah ada 3 panggilan tak terjawab dari Bang El. Udah ya, gue mau beli makan siang. Bye!"
Richard memasukkan kembali ponselnya. Ia melirik sekali lagi ke arah Tasya yang ternyata sedang menatap ke arahnya juga. Richard menyunggingkan senyumnya dan beranjak menjauhi kantin. Ia punya kelas yang akan dimulai sebentar lagi.
**
Hari ini hari yang melelahkan bagi Richard. Namun semelelahkan apa pun, bila ia teringat akan kata-kata itu, ia akan kembali bersemangat. Darahnya akan kembali berdesir dan menghangat. Semangatnya sudah bagaikan darah yang berwarna merah. Semerah dan sepekat perjuangannya.
Kalian pasti tahu, berjuang mendapatkan hati seseorang itu tidak mudah. Mungkin bagi Richard, perkataan sarkasme yang diluncurkan gadis pujaannya tak berarti ia harus menyerah. Tapi ia menjadikannya sebagai motivasi untuk bisa lebih baik dan tentunya agar si pujaan hati bisa melihat ke arah dirinya.
Seperti saat ini, di sana, Richard sedang berlari mengitari lapangan outdoor. Tasnya ia letakkan di sisi lapangan.
Tepat setelah 5 putaran usai, Richard berhenti. Tampak peluhnya bercucuran dan wajahnya memerah. Ia merendahkan tubuhnya dengan kedua tangannya yang ia tumpu pada lutut guna menopang berat tubuhnya.
Lelah. Richard mengambil air dan meminumnya dengan rakus. Setelah itu ia merebahkan dirinya di atas lapangan. Cuaca sedang mendung, jadi ia tak harus menghadapi teriknya matahari kala itu.
"Hey, Chie! kamu lagi apa?"
Richard mendudukkan dirinya dan mengamati orang yang menyapanya tadi.
"Leta?"
"Ya. Kamu lagi apa Chie?"
Leta menempatkan dirinya di sebelah Richard. Ia menatap wajah Richard lamat-lamat.
"Ah, aku ada saputangan di sini."
Leta mengeluarkan saputangannya dan mulai mengusap peluh Richard yang terlihat jelas diwajahnya. Richard dengan segera meraih saputangan itu dan mengusap peluhnya sendiri. Sedangkan Leta menunduk malu setelah mendapati senyuman manis Richard sesaat sebelum meraih saputangan miliknya.
"Bakal gue balikin habis gue cuci. Thankyou, Leta."
"A_ah, it's ok Chie. Just keep it."
Richard mengangguk dan tersenyum ramah, membuat Leta semakin salah tingkah dibuatnya. Tak lama setelah itu, Leta berpamitan karena ada yang harus ia lakukan di tempat lain. Mungkin ini alibi agar ia bisa pergi secepatnya karena ada yang bergemuruh di sana dan ia tak ingin Richard mendengarnya.
Di saat yang sama, tanpa disadari, ada sepasang mata yang menatap dengan pandangan yang tak bisa ditebak. Yang jelas, ia mengeratkan kepalan tangan yang bertengger di sisi tubuhnya, tidak berekspresi dan tak menunjukkan emosi yang berarti.