Akhirnya, jadwal Richard hari ini selesai tepat pukul 7 malam saat langit sudah berubah menjadi biru keunguan. Richard menengadah ke langit yang baru saja cerah. Kakinya menapaki jejak bekas hujaman hujan yang begitu lebat sore tadi. Richard memejamkan matanya, mencoba meghirup aroma petrichor yang begitu menenangkan. Sensasi aroma yang khas ketika air hujan bertabrakan dengan tanah yang kering. Hampir setiap orang menyukai aroma ini.
Richard masih setia berdiri di sana, di tepi lorong yang mengarah ke parkiran. Ia masih terhanyut dalam suasana khidmatnya. Perlahan, ia mengerjapkan matanya dan menyunggingkan seulas senyum manisnya. Tangannya ia masukkan ke jaket parka hitam miliknya. Bibirnya pun sedikit bergetar berkat adanya sapuan angin yang datang melewati dirinya.
Richard melangkahkan kakinya menuju parkiran. Ia tampak mencari-cari keberadaan mobil sang kakak. Namun, ia tak mendapatinya di mana-mana.
"Mau menumpang, Chie?" tawar seorang gadis blasteran Wales bernama Leta, gadis ini terkenal sering menyapa Richard dan selalu bertanya tentang pelajaran yang tak ia mengerti kepada Richard. Di mana ada kesempatan, Leta pasti akan mengahampiri Richard. Bila Richard sedang bersama Farel, gadis itu akan sekedar lewat dan menyapa Richard. Entah Richard yang tidak peka atau memang Richard merasa itu tak penting, sehingga seringkali perkataan Farel tentang Leta yang menaruh hati padanya selalu diabaikan olehnya.
Perlu diketahui, Leta berada di tingkat yang sama dengan Richard dan seringkali mendapat jadwal kelas yang sama. Gelagat Leta ini sudah dimulai sejak tahun pertama mereka bertemu, lebih tepatnya saat Richard membantu Leta berdiri setelah terjatuh akibat diselengkat oleh temannya yang tidak suka dengan dirinya yang berdarah campuran.
Richard tersenyum sembari menggeleng, bibirnya merapalkan kalimat penolakan yang sangat halus. Leta pun ikut tersenyum dan menutup kacanya. Belum sempat tertutup sepenuhnya, Leta menurunkan kacanya lagi.
"Chie, aku lihat tadi kakakmu mengendarai mobil dengan tergesa-gesa. Aku tak sempat bertanya padanya. Ia pergi tak lama setelah kelasku selesai."
Richard mengangguk dan berterimakasih pada Leta. Ia membalikkan tubuhnya saat mobil Leta sudah berlalu menjauh. Sesaat setelah berbalik, matanya bersitatap dengan manik obsidian milik Tasya. Gadis itu tampak diam dan memperhatikan dirinya. Dengan segera, Richard menghampiri Tasya.
"Lagi nunggu sepupu lo, eum?"
Tasya mendesah pelan, kepalanya mengangguk dua kali. Richard pun ikut mengangguk paham. Otaknya mencoba mencari cara agar ia bisa tahu dimana Tasya tinggal.
Tasya sepertinya tahu apa yang ada di pikiran Richard. Belum sempat menawarkan diri, Tasya malah sudah lebih dulu berkata dan juga berjalan mendahului Richard. Bukan Richard namanya bila menyerah secepat itu. Richard tetap menemani gadis itu. Namun, ini bukan menemani dalam hal yang benar. Ia lebih seperti penguntit Tasya.
"Hei, Richard. Lo kira gue gak tahu kalo lo buntutin gue? Selain gendut lo ini stalker rupanya. Ck."
Richard menghentikan langkah kakinya. Rupanya ia sudah ketahuan dari awal. Richard mengusap tengkuknya dan berjalan ke sisi Tasya. Ia terkekeh dan meminta maaf atas perlakuan tak menyenangkannya barusan.
Tasya melirik dengan ujung matanya. Ia tak habis pikir dengan mindset milik Richard. Entah terlalu lelah untuk berargumen atau memang ia membiarkan Richard menemaninya saat itu.
Selama misi 'mengantar Tasya', Richard bersenandung. Ia menyanyikan lagu yang sedang disukainya saat itu, Nothing Like Us. Tanpa sadar, Tasya pun turut serta berpartisipasi dalam nyanyian itu. Richard yang mendengar suara merdu milik Tasya tampak senang dan mereka pun bernyanyi hingga lagu itu habis. Tidak ada bantuan musik. Hanya suara mereka saja.
"Good voice, Richard. Really masculin."
Satu pujian dari Tasya. Apakah hubungan yang Richard bangun ada kemajuan? Apa ini tanda bahwa Tasya mau berteman dengannya?
Tak terasa mereka berjalan beriringan sudah lebih dari 30 menit dan Tasya pun berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Mata Richard tampak tertuju pada satu kendaraan yang tak asing di matanya.
"Sya, ini rumah tinggal lo? Lo kenal siapa pemilik motor itu?"
Tasya melirik kearah telunjuk Richard bermuara. Ia menggumam, "Hm, sahabat lo. Bukannya seharusnya lo udah tau?"
Richard mengangguk perlahan. 'Benar Farel,' batinnya. Richard ikut melangkah memasuki pagar rumah tinggal Tasya dan mendapat tatapan protes dari empunya.
"Ah, gue cuma mau pulang bareng El. Rumah gue lumayan jauh dari sini, dan kebetulan banget searah sama El."
"Whatever."
Tasya memasuki rumah itu. Dirinya berjalan ke arah di mana Rin dan El berada. Ia menyumpah serapahi sepupunya yang tiba-tiba meninggalkan dirinya sendiri dan mencari-cari mobil putih kesayangan sepupunya itu. Sementara Richard masih berada di ambang pintu rumah Rin karena masih sibuk melepaskan sepatunya. Beberapa saat setelahnya, ia pun mengikuti Tasya untuk masuk ke ruang tamu mereka.
"Selamat malam, kak."
Rin menoleh, matanya membola. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Tasya, sepupu angkuhnya pulang diantar seorang Richard?
Farel pun sama terkejutnya dengan Rin. Meski begitu, sebagai sahabat, ia merasa bangga terhadap kemajuan yang diperoleh Richard.
Richard mendudukkan dirinya di sebelah Farel bersamaan dengan Tasya yang datang membawakan teh hangat untuk Richard.
"Minumlah sebelum pulang. Lo kelihatannya kedinginan."
Richard tersenyum dan menyesap teh hangat buatan Tasya. Lidahnya merasakan manisnya gula bercampur dengan rasa peach yang sangat pas. Matanya melirik Tasya yang sedang duduk bersila sambil memeluk bantal kelinci pink di samping Rin. Pose yang bagi Richard menggemaskan.
Mereka tampak berbincang-bincang. Lebih tepatnya hanya Richard dan Farel saja yang berbincang. Karena duo sepupu angkuh ini lebih banyak diam ketimbang mengeluarkan suaranya.
Richard melirik jamnya. Ia menggigit bibir bawahnya. Sudah malam. Sudah sepantasnya mereka pulang, akan tetapi saat ia melihat air wajah Farel yang begitu bahagia saat berbincang dengan Rintia, ia tak sampai hati mengganggunya juga.
Tiba-tiba ponsel Richard berdering. Ia melirik siapa yang meneleponnya. Dalam keheningan, ia bersuara lirih, "Penyelamat."
"Ha-" ucapnya saat mengangkat telepon namun terpoting tiba-tiba.
"KAU DIMANA RICHARD?!"
Refleks Richard menjauhkan ponselnya dari telinganya. Kenapa suara kakak satunya itu begitu cempreng? Itu menyakiti telinganya. Suara Leo bahkan membuat percapakan antara Rin dan Farel terhenti. Mereka ditambah Tasya jadi menatap dan memperhatikan Richard dengan saksama.
"Gue lagi di-"
"Cepat pulang! Ini sudah jam 11!"
"I- iya bang. Jangan teriak kenapa. Gue bisa tuli."
"Kurang ajar! Gue gak mau tahu, ya! Cepat pulang!"
"Iya, bang. Iya...."
Richard memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menghela nafas sebentar. Matanya menatap Farel. Memohon agar ia juga mengerti dan mengantarkannya pulang.
"Pulanglah. Kita capek, jadi mau istirahat nih." ucap Rin dan Tasya bersamaan. Saat itu Richard dan Farel langsung berdiri dan berpamitan. Bila Rin mengantar Farel dan Richard sampai ke depan pintu gerbang, Tasya hanya melihat kepergian mereka dari ambang pintu.
Richard membonceng Farel dan Farel menggumamkan kata-kata yang tak jelas sepanjang perjalanan.
"Hey Chie, kenapa lo gak pake motor lo lagi?"
Richard mendengung. Ia menjawab pertanyaan sahabatnya itu dengan setengah malas. Hey, ayolah, Farel tahu persis apa alasannya.
"El, lo bisa bantu gue satu hal?"
"Soal Tasya?"
"Bukan. Gue mau jadi kayak Bani."
"Bukannya lo udah populer? Oh, gue ingat. Ada Nina, Leta, dan banyak lagi. Sadar atau gak, fans lo itu banyak."
"Bukan yang kayak itu maksud gue. Gue mau punya badan kayak Bani atau ya kayak lo."
"Oh, lo mau punya six packs maksudnya?"
Richard mengangguk. Farel menghentikan laju sepeda motornya. Ya, mereka sudah tiba di kediaman Pangestu bersaudara.
"Datanglah ke rumah gue habis jam kelas lo kelar. Sebelum itu, call gue dulu ya."
Richard melihat Farel menjauh, kemudian ia beranjak memasuki rumahnya. Ia membuka pintu rumahnya dan menyalakan lampu. Di sana, tampak Leo yang sudah bersedekap dada dengan mata yang sudah seperti ingin keluar. Richard meneguk ludahnya susah payah.
"Selamat malam, bang. Gue capek. Gue ke kamar ya."
"Tidak secepat itu Tuan Muda Richard Lim...."
Oh Tuhan. Gendang telinga Richard akan benar-benar bermasalah setelah ini.