Pagi ini Hwa terbangun di atas kasurnya, padahal seingatnya dia tertidur di sofa kemarin. Gadis itu melihat sebuah note yang tertempel di atas nakas samping tempat tidurnya.
'Hwa-ya… hari ini aku harus pergi bekerja, tapi tenang saja aku akan mampir sepulang kerja. Akan kubelikan kue sus kesukaanmu~^^'
Begitulah isi dari note yang di tinggalkan oleh Seongeun. Setelah membaca note itu, Hwa beranjak dari kasurnya. Gadis itu heran, bukankah Seongeun telah pergi, mengapa ada bau masakan yang sangat harum tercium dari arah dapur.
Benar saja, saat Hwa berdiri di ambang pintu, dia melihat punggung yang tak asing. Ya, siapa lagi kalau bukan Lee Minho. Pantas saja dirinya terbangun di atas kasur, ternyata pria tinggi itu datang kemari.
Minho menyadari keberadaan Hwa, pria itu berbalik dan menyapa Hwa yang masih berdiri terdiam di ambang pintu kamarnya, "selamat pagi, tidurmu nyenyak sekali Eunhwa-ssi…" sapa pria itu dengan senyuman menghiasi wajahnya. Sedangkan Hwa masih terdiam dan menatap Minho, dia tak menanggapi sapaan pria yang sekarang tengah memakai apron bergambarkan kelinci.
Hwa mengerucutkan bibirnya dan berjalan perlahan ke arah dapur. Dia langsung duduk di kursi yang terletak di depan bar table dapurnya. Gadis itu menghela nafas panjang dan menundukkan wajahnya.
Melihat hal itu Minho mematikan kompor dan menghampiri gadis itu, masih dengan apron kelinci yang dia kenakan, pria itu menyuguhkan secangkir teh camomile ke hadapan Hwa. Tangannya terjulur mengelus kepala gadis di hadapannya, menenangkan gadis itu.
Minho jelas bukan paranormal yang bisa mengetahui isi hati gadis di hadapannya ini, tapi pria itu yakin bahwa kondisi Hwa belum sepenuhnya pulih. Minho melepas apron yang ia kenakan, kemudian memutari meja dan menghampiri gadis itu. Tanpa perlu perkataan, pria itu memeluk Hwa.
Hwa hanya diam dalam pelukan Minho, dia memilih untuk menikmati kehangatan dan wangi khas dari pria yang tengah memeluknya. Hangat dan menenangkan, pikir gadis itu.
Setelah beberapa menit Hwa merasakan hangatnya pelukan Minho, gadis itu perlahan melepaskan pelukan pria itu. Minho menyamakan tingginya dengan Hwa yang tengah duduk di kursi, lalu pria itu mengacak rambut gadis itu dan mencium keningnya, lalu beranjak kembali mengenakan apronnya dan melanjutkan masakannya.
Sekarang dua piring nasi goreng kimchi telah tersaji bersama dengan sebuah telur mata sapi setengah matang yang mengkilap di atas masing-masing piring itu.
Nasi goreng kimchi ini adalah makanan yang selalu di masak oleh Minho, bahkan pria itu pernah memasak makanan ini selama seminggu berturut-turut. Walaupun begitu, Hwa tak pernah bosan dengan menu yang satu ini. Bukan hanya karena rasanya, tapi juga karena Minho yang memasaknya dengan penuh cinta.
Setelah selesai makan, Minho membereskan semua peralatan makan dan peralatan bekas dia memasak tadi. Sebelum mencuci piring, pria itu menyodorkan sebuah obat kepada Hwa dan memastikan obat itu telah diminum oleh gadis itu.
Hari ini Hwa akan pergi menemui psikiaternya. Dia membersihkan tubuhnya, mengganti pakaiannya dan memoles sedikit wajahnya dengan bedak dan lipstik agar tak terlalu pucat. Setelah selesai bersiap, gadis itu keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Di sana Minho telah menunggunya sambil memainkan ponselnya.
Minho mengalihkan pandangannya dari ponsel, matanya menangkap sosok gadis cantik yang tengah menantinya. Dia tersenyum dan bangkit dari sofa, mengambil jaket dan sebuah kunci.
Sesampainya di bawah apartemen, pria itu mengendarai motornya mendekati Hwa yang menunggunya di depan lobi. Hwa terkekeh melihat pria itu dengan motornya. Minho memanglah pria yang peka, walaupun jarang berbicara. Pria itu juga mengekspresikan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda, seperti saat ini.
Untunglah Hwa telah menebak bahwa Minho akan mengendarai motor, jadi gadis itu telah memilih pakaian yang tepat.
"Mendekatlah!" titah Minho. Pria itu mengeluarkan sebuah helm dan memakaikannya pada Hwa.
"Sekarang ayo naik," lanjut pria itu.
Setelah berkendara sekitar lima belas menit, mereka sampai di sebuah rumah sakit universitas Seoul. Di tempat inilah Hwa akan bertemu dengan dokter psikiatri yang selama ini menanganinya.
Minho menemani gadis itu masuk ke dalam gedung rumah sakit, dan mencari ruangan dokter psikiatri. Banyak dokter dan staf rumah sakit yang berlalu lalang, ya sudah jelaskan, namanya juga rumah sakit. Tapi, ada seorang dokter yang terlihat masih muda menghampiri Hwa dan Minho. Pria itu tampan dengan rambut hitam yang rapi, dengan senyumannya, pria itu menyapa Hwa.
"Lee Eunhwa!" Pria itu memanggil nama Hwa dari jarak yang cukup jauh sambil melambaikan tangan, dan berlari kecil menghampiri Hwa dan Minho.
"Yeonjin-aa… wah kamu terlihat sangat keren dengan jas putih itu," kata Hwa, sesaat setelah dokter itu berada di hadapannya.
"Apakah kamu kemari untuk bertemu dengan dokter Raena?" tanya Yeonjin.
"Ya, seperti biasanya." jawab Hwa
"Apa keadaanmu memburuk?" Yeonjin mulai khawatir.
"Tidak juga, hanya saja aku sedang mengalami penurunan. Tapi tenang, aku baik-baik saja." jelas Hwa.
Yeonjin yang dari tadi hanya fokus kepada Hwa, kini menyadari keberadaan Minho di samping gadis itu.
"Lama tidak bertemu Hyung…" ucapnya pada Minho, sebelum akhirnya dia bergegas pergi saat namanya dipanggil oleh dokter di UGD.
"Aku pergi dulu, lain kali kita harus makan bersama," ucap pria itu sambil berlari, dan Hwa membalas dengan anggukan sambil melambaikan tangan.
Setelah Yeonjin pergi, mereka menaiki lift untuk pergi ke lantai lima, tempat dimana ruang psikiatri berada.
"Apa kamu tidak iri melihat Yeonjin?" tanya Minho secara tiba-tiba.
Hwa menarik nafas panjang, lalu menatap Minho, "ya, terkadang aku merasa iri… tapi aku sudah tak ingin lagi menjadi dokter sepertinya. Aku senang dengan kehidupanku yang sekarang," jelas Hwa.
Pintu lift terbuka di lantai lima, mereka melangkah pergi menuju ruangan dimana dokter Raena telah menunggu. Hwa masuk sendiri ke dalam ruangan, sementara Minho duduk menunggu Hwa di luar.
Saat melihat Yeonjin, tiba-tiba semua kenangan mereka di masa lalu terputar kembali di kepala Minho. Saat dimana mereka bermain musik bersama dan bepergian dengan motor keliling kota. Persahabatan mereka baik-baik saja, sampai kematian Yongbok membuat kesalahpahaman diantara mereka.
Terkadang Minho ingin sekali kembali menikmati waktu bersama dengan mereka. Tapi, ego mereka semua menjadikan kesalahpahaman diantara mereka semakin rumit.
Minho menghela nafas panjang, mengingat kembali saat dimana kecelakaan besar terjadi, dan dia tak bisa menyelamatkan nyawa Yongbok. Kalau saja hari itu mereka tak pergi berkeliling kota dengan motor, mungkin Yongbok masih hidup sekarang dan persahabatan mereka tak akan hancur.
Sekarang, waktu tak bisa diputar kembali, tapi bukankah mereka bisa saling meluruskan kesalahpahaman ini dan memperbaiki persahabatan mereka. Minho mengambil ponselnya, dia melihat sebuah kontak dengan nama Chris Hyung di sana. Apa aku harus menghubunginya sekarang?