"Ini nih tempatnya!" Judith memberitahu Eggi supaya berhenti tepat di depan Taman Kanak-kanak yang sekaligus penitipan anak.
"Bentar, Yah!" Judith turun dari mobil, lalu dia membuka gerbang sekolah dan masuk ke sana.
Eggi mengangguk.
"Sebenernya, gue apa-apaan pake ingin ikut sesi wawancara segala?" Eggi mengusap wajahnya.
"Biarin deh! Tanggung! Penasaran juga." Pikir Eggi.
Eggi melihat Judith keluar lagi dengan seorang anak kecil. Anak itu wajahnya terlihat lelah.
"Ayo, masuk!" Judith membukakan pintu buat Jodi. Anak itu menurut.
"Ini Jodi, anaknya temen aku!" Judith memperkenalkan Jodi kepada Eggi.
"Hallo, bro!" Eggi menyapa sok akrab sambil melihat dari kaca spion.
"Ehh iya, hallo. Tante Juju, orang ini pacar Tante ya?" Tanya Jodi penasaran di depan orangnya langsung.
Judith terkejut,dia memandang Eggi. Wajahnya memerah. Agak malu juga Judith.
"Ehh, bocah ini yah! Ini temen Tante, bukan pacar." Judith menjelaskan.
"Yahh, Tante mau sampai kapan ngejomblo terus? Aku ajah punya pacar!" Jodi menggaruk-garuk kepalanya.
"Heh, anak kecil nggak usah macem-macem, Yah! Ga Tante kasih roti enak!" Judith merengut.
"Curang!" Jawab Jodi sambil melipat tangannya.
Eggi nyaris tertawa mendengarnya. Dia mengulum tawanya sambil terus menyetir. Sebenarnya, dia juga tersindir, karena dia juga jomblo ngenes.
"Anak kecil jaman sekarang emang pinter-pinter yahh!" Eggi mengangguk, biar Judith enggak terlalu malu.
Judith cuma menjawab hahahihi nggak jelas, sambil menoleh ke Jodi memberi peringatan,
"Huushh!" Kata Judith. Jodi langsung melorot duduknya.
Eggi menyetir mobilnya sesuai petunjuk dari Judith. Mereka memasuki daerah agak pinggiran di dekat Jalan Suci, lalu naik lagi ke atas. Sedikit mendekati daerah pegunungan yang indah saat hari terang, tapi serem pas waktu gelap malam.
Kostn Judith tempatnya besar dan luas. Penghuninya juga ramai, di dominasi oleh pegawai Mall dan pedagang kecil.
"Kok, loe milih kostn jauh gini, Ju?" Tanya Eggi.
"Harganya lebih murah. Dah gitu, penghuninya juga ramai, lokasi nggak deket sama kuburan. Udaranya nggak terlalu sumpek juga!" Jawab Judith sambil melepas seatbeltnya.
"Mau ngopi dulu?" Judith menawarkan Eggi, itung-itung ucapan terima kasih sudah diantar menjemput Jodi dan di antar pulang.
"Hmmm, boleh deh! Sekalian bikin planning buat besok wawancara." Eggi juga melepas seatbelt dan ikut keluar dari dalam mobil.
Judith membuka pintu belakang, Jodi langsung turun saat Judith membukakan pintu untuknya.
Mereka berjalan ke kamar no 07, tempat tinggal Judith. Judith membuka kuncinya, lalu menyalakan lampu.
"Masuk, Yukk! Jodi, lepas dulu sepatunya, terus cuci kaki!" Kata Judith.
"Iya Tante!" Anak itu menurut.
Eggi duduk di karpet bermotif binatang berwarna-warni. Beberapa buah bantal di letakkan di sana. Kostan Judith terbagi menjadi tiga ruangan. Ada ruang untuk menerima tamu, kamar tidur, dapur kecil sekaligus kamar mandi.
Ruang tamu sekaligus menjadi tempat kerja. Ada meja laptop dan beberapa buku di dalam keranjang. Cat temboknya berwarna krem dan sudah memudar, langit-langitnya ada yang menghitam di beberapa sudut. Sepertinya rembesan dari sisa air hujan.
Secara keseluruhan, kamar Judith termasuk kategori lumayan. Eggi menunggu Judith yang sedang membuatkan kopi sambil selonjoran dan memeluk bantal.
"Ini kopinya! Bentar, Yah! Aku ngurus Jodi dulu." Judith memberitahu
Eggi mengangguk. Agak heran juga melihat Judith begitu care dengan anak sahabatnya. Terdengar Judith bertanya apa seharian ini menyenangkan? Apa saja yang sudah di pelajari oleh Jodi hari ini? Persis seperti seorang ibu.
Memang, umur Judith sebenarnya usia ideal untuk menikah dan berumah tangga. Tapi gadis ini masih betah saja sendirian. Eggi merasa, ada kesamaan antara dia dengan Judith.
Judith kembali ke ruang tamu sambil membawa laptop dan ponselnya.
"Besok janjiannya jam sepuluh pagi." Kata Judith tanpa basa-basi.
"Owhh iya, dimana tuh lokasinya?" Tanya Eggi.
"Yang ini di Setiabudhi. Jalan Budi Sari kalau nggak salah." Judith kembali melihat jadwalnya dengan teliti.
"Bapak Taufik Wahyudi, umur Tigapuluh dua tahun, profesinya seorang programmer yang berhasil menciptakan aplikasi pembayaran elektronik. Hmm lumayan juga!" Judith berkomentar.
"Gue juga programmer, tuh! Cuma beda spesifikasi saja." Jawab Eggi.
"Ahhh iya!" Judith manggut-manggut.
"Gue minum kopinya, Ya!" Kata Eggi sambil mengangkat gelas dan menyeruput kopi latte sachetan yang di suguhkan.
Judith mengangguk. Sekali lagi memeriksa jadwal dengan teliti.
"Jodi tidur?" Tanya Eggi.
"Iya, cape kali! Jadi langsung tepar." Judith mengangguk.
"Besok cuma satu aja jadwalnya, besoknya lagi, dua orang yang mesti di wawancara." Sahut Judith.
"Sebelumnya, berapa orang yang udah di wawancara?" Tanya Eggi penasaran.
"Baru tiga orang. Dosen, pelukis sama seorang pemuka agama." Jawab Judith.
"Buat yang tiga orang itu, bikin jadwal ulang wawancara." Kata Eggi.
Judith melongo.
"Untuk apa? Kan udah sama aku?" Tanya Judith.
"Gue kan belum nanya-nanya!" Jawab Eggi tegas.
"Tapi, itu buang-buang waktu, Loh! Yang mesti kita wawancara kan masih banyak!" Judith berusaha menghindar.
"Gue nggak keberatan. Sekalian pengen tahu satu persatu, pria-pria yang ideal nyaris sempurna itu seperti apa." Jawabnya kalem.
Judith benar-benar mati kutu. Rupanya, Eggi tipe orang yang kalau sudah berniat sesuatu pasti terus memperjuangkannya. Saklek! Nggak menerima penolakan kalau dia sudah bertekad.
Judith garuk-garuk kepala yang tak gatal. Pengen banget nolak mentah-mentah. Tak tahukah Eggi kalau janjian sama orang, terus menunggu itu adalah hal yang melelahkan? Bagaikan Mahasiswa sedang bimbingan skripsi, yang jauh-jauh ngejar-ngejar dosen sampai ke rumahnya, tapi dengan entengnya bilang, "lagi istirahat! Besok lagi saja!".
"Loe keberatan?" Eggi kembali bertanya saat dilihatnya Judith terdiam.
"Ehmmm, enggak juga sih, cuma yaaahh, gue jadi dua kali kerja. Hambur waktu sama akomodasi juga." Judith nyari alesan yang tepat.
"Akomodasi gue yang tanggung. Soal waktu juga bisa di atasi. Ntar gue jemput!" Jawab Eggi kalem sambil menyeruput lagi kopinya.
Judith memandang Eggi. Dia berusaha tersenyum walau sebenarnya jengkel juga. Serasa kerjanya tidak di hargai. Judith menghembuskan nafasnya.
"Ya udah, gue pulang dulu deh! Besok gue jemput!" Eggi menghabiskan kopinya, lalu berdiri dan merapikan bajunya.
"Owhh, iya deh! Makasih udah nganter jemput Jodi dan nganter pulang." Kata Judith.
"No problem. Dah yahh, gue cabut dulu!" Eggi memakai sepatunya.
Judith memandangi punggung Eggi yang berjalan mendekati mobilnya. Langkahnya tegap dan gagah, sesuai postur tubuhnya yang tinggi tegap.
"Wuihh, cowo cakep, walau lagi jalan doang, kelihatan aesthetic banget Ya?" Pikir Judith.
Tiinn! Judith terperanjat saat Eggi menyalakan klakson dan pamitan. Judith melambaikan tangannya.
Baru saja masuk lagi hendak membereskan gelas-gelas kotor, ponselnya berbunyi.
"Yoii, Lin! Jodi udah tidur tuuhh! Loe jam berapa balik? Nginep sini aja, kasihan Jodi." Judith langsung memberondong.
Tidak terdengar jawaban apapun. Hanya suara tangis yang tertahan.
"Hehh, bangke! Kenapa sihh, nggak jawab? Emangnya gue tuh radio butut yahh?"
Hanya terdengar Isak tangis dari seberang sana. Lina menangis sesegukan.
"Oiii, Lin? Loe nangis Ya? Ada apa?" Judith mulai panik.