Chereads / Mencari Pria Sempurna / Chapter 11 - Saling Berusaha Mengenal

Chapter 11 - Saling Berusaha Mengenal

"Hah? Pa...pacar?" Judith tertegun.

"Huum!" Eggi mengangguk.

"Jodi maksudnya?" Tanya Judith.

Sekali lagi Eggi mengangguk. Dia agak takut kalau benar Judith sudah punya pacar. Dia sudah memutuskan ikut Judith buat wawancara selanjutnya, kalau benar Judith punya pacar, itu tidak baik untuk reputasinya.

"Jodi bukan pacar gue. Dia anak kecil, anaknya temen aku. Ibunya mau ada makan malam perpisahan perusahaan, ga ada yang bisa dia minta tolong buat jagain anaknya kecuali gue." Jawab Judith.

"Ahhhh begitu, Ya! Maaf, Kirain pacar loe." Eggi jadi agak malu.

"Owhh No! Bukan! Wehh, udah setengah lima. Gue duluan deh, takut Jodi kelamaan nunggu, kasihan! Ntar dia nangis kejer lagi." Judith sudah mau berdiri dari tempat duduknya.

"Bukannya loe nggak bawa kendaraan?" Tanya Eggi lagi.

Kali ini Judith mengangguk lemah.

"Owh shit! Gue lupa! Kalau make motor sih, bakal tepat waktu jemput itu bocil. Masalahnya sekarang mesti nunggu bus yang datengnya setengah jam sekali. Naik angkot pasti lebih lama sampainya, kebanyakan ngetem. Mau make ojek online, duit di dompet pas-pasan banget sampai hari Sabtu ketika uang makan baru cair." Judith heboh sendiri dalam hati.

"Gue anterin deh, jemput anaknya temen loe itu. Sekalian aja anterin loe pulang, biar ntar pas jadwal wawancara, pas harus jemput udah nggak perlu nyari-nyari lagi." Kata Eggi.

"Beneran?" Judith hampir tidak percaya tawaran baik ini.

"Beneran lahh! Masa bohong!" Jawab Eggi sambil memandang Judith keheranan.

"Ehh, Iya atuh! Makasih banget ya! Maaf jadi ngerepotin." Sahut Judith.

"Nggak apa-apa. Biar sekalian aja. Yukkk!" Eggi duluan berdiri dan berjalan menuju parkiran. Judith ngikutin langkah Eggi yang lebar-lebar, karena tubuhnya tinggi jadi langkahnya juga lebih lebar.

"Jalannya aesthetic banget ya? Kayak model!" Pikir Judith sambil terus memperhatikan langkah Eggi.

Eggi memencet tombol kunci mobil yang digenggamnya. Seketika lampunya menyala sekaligus berbunyi 'tiit' yang cukup nyaring. Judith agak terkejut.

Eggi membukakan pintu mobil Brio hitam miliknya, mempersilakan Judith untuk masuk. Kesopanannya cukup membuat nilainya naik satu tingkat di mata Judith.

"Makasih!" Dengan agak gugup dan canggung, Judith masuk dan duduk di depan.

Eggi berjalan memutar, lalu membuka pintu dan duduk di belakang setir. Eggi menyalakan mesin mobil, lalu perlahan-lahan melajukan kendaraannya, keluar dari cafe tempat mereka bertemu.

"Dimana tempatnya?" Tanya Eggi membuyarkan fokus Judith yang sedang mengagumi isi mobil Eggi yang bersih dan wangi.

"Owhh, itu, Antapani." Jawab Judith.

"Nih alamatnya!" Judith menyebutkan alamat yang tertera di dalam chatingan dia dan Lina barusan.

"Lumayan agak jauh kalau dari sini. Mudah-mudahan saja nggak macet!" Jawab Eggi.

"Aku telepon dulu guru pengasuhnya, dehh! Biar kalau agak telat dia masih mau nunggu bentar!" Ujar Judith sambil mengeluarkan ponselnya.

Eggi mengangguk sambil terus memperhatikan jalanan di hadapannya. Judith sedang berbicara sama gurunya Jodi. Dia mengangguk-angguk mengerti.

Rambutnya yang ikal panjang berwarna coklat diikat ekor kuda. Agak aneh juga Eggi, pada saat beberapa wanita berlomba-lomba meluruskan rambutnya agar terlihat halus dan rapi. Rambut Judith malah ikal dan terlihat kuno. Walaupun begitu, rambutnya tebal dan bagus. Ikal rambutnya yang lebih pendek menghiasi pipinya yang seputih gading. Nampak manis dan alami. Eggi menelan ludah.

"Ughhh! Sempet-sempetnya merhatiin yang begituan!" Eggi mengedipkan matanya.

"Syukurlah, gurunya mau menunggu." Terlihat wajah Judith yang merasa lega.

Eggi mengangguk. Ternyata, di balik penampilannya yang cuek dan terkesan asal-asalan, Judith punya hati yang hangat. Setahu Eggi, tidak semua wanita seumurannya suka dengan anak kecil.

"Ehmm, bapanya anak itu, dia kemana?" Eggi bertanya dengan hati-hati.

"Di penjara. Mereka sudah bercerai." Jawab Judith.

"Hah, di penjara?" Eggi kaget.

"Iya. KDRT! Itulah sebabnya Lina menuntut cerei." Jawab Judith.

"Is too bad!" Eggi prihatin.

"Lina nggak punya keluarga di sini, temennya yang paling dekat, ya itu aku. Jadinya, kadang Lina lebih tenang kalau menitipkan Jodi sama aku." Judith menjelaskan.

"Pasti nggak mudah ya, jadi single parents?" Tanya Eggi.

"Betul! Kulihat sendiri, itu sama sekali nggak mudah. Terutama kalau merantau dan nggak banyak teman yang bisa di andalkan." Judith mengangguk.

"Memangnya temanmu itu darimana?"

"Jakarta. Dia pindah ke sini sehabis bercerai. Selain karena ingin melupakan traumanya, dia juga dapat panggilan kerjanya di sini." Jawab Judith.

"Loe juga bukan orang sini, Ya?" Eggi menebak.

Judith menggeleng.

"Gue sama Lina sama-sama dari Jakarta. Gue merantau sehabis lulus kuliah D3. Dapat kerja freelance di sini, itu cukup biar nggak ngerepotin orang lain." Jawab Judith

Saat mengucapkan kalimat itu, ada nada sedih dalam suaranya. Eggi tidak berani bertanya lebih jauh.

"Kalian berdua hebat. Bisa bertahan tanpa adanya sosok pria di belakang kalian." Eggi memuji dengan tulus.

"Terima kasih!" Judith tersenyum.

Keduanya terdiam. Mereka baru saja sampai di jalan Laswi. Sehabis lampu merah di depan, mereka tinggal lurus, lalu memutar di bunderan Cicadas untuk sampai ke daerah Antapani, atau tepatnya jalan Jakarta.

"Apa loe punya alasan khusus, sampai merantau sendirian ke Bandung?" Tiba-tiba saja Eggi keppo.

"Semua orang punya alasan. Termasuk gue. Bukankah Bandung memang nyaman dan bikin betah?" Jawab Judith.

"Benar. Itu alasan umum orang-orang yang memilih mencari penghidupan di sini." Jawab Eggi.

"Biasanya, orang yang ingin go Nasional sampe go Internasional dengan karyanya, bakal memilih Ibukota untuk mempermudah akses dan jaringan. Kenapa masih betah di Bandung?" Judith balik bertanya.

"Hmmm, entahlah! Belum pernah nyoba bekerja di Jakarta. Pertanyaan yang cukup menarik dan bikin penasaran." Sahut Eggi.

"Mungkin, harus mencobanya dulu sebelum menjawab pertanyaan yang barusan." Eggi menoleh dan menatap Judith yang juga sedang memperhatikannya.

Ditatap begitu sama perempuan dalam mobilnya, membuat Eggi jadi agak canggung dan salah tingkah. Eggi harus jujur sama penilaiannya sendiri. Judith memang nggak semodis perempuan yang biasa kencan dengannya. Tapi, dia sangat menarik.

Terlihat sekali bahwa perempuan ini tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Cuek dan sedikit introvert. Tapi, dia juga cerdas dan pintar. Kelihatannya, dia tidak senang membuang-buang waktu dengan pembicaraan yang sia-sia.

"Betul. Harus mencobanya sendiri sebelum menyimpulkan sesuatu. Tapi, kalau alasanku meninggalkannya, itu karena aku sudah nggak kerasan hidup di Jakarta. Mungkin bagi orang lain tidak masalah, tapi...kadang merasa lelah dan berat saja menjalani setiap hari yang sama disana." Jawab Judith sambil memandang kosong ke depan.

"Baik, aku paham alasannya. Bisa di bilang, kehidupan di Bandung agak lebih santai sedikit, di banding orang-orang di kota lain. Pengaruh iklim dan geografisnya juga." Eggi mengangguk.

Judith menoleh kepada Eggi yang sedang konsen menyetir mobilnya dengan hati-hati. Ada sedikit kelebihan yang membedakannya dengan laki-laki yang biasa Judith temui setiap harinya. Eggi, sepertinya lebih membumi.

"Kemana lagi nih?" Eggi bertanya.

"Owhh iya, masuk ke jalan Indramayu saja, tempatnya di pinggir jalan kok!"