"Udahlah, Gi! Nggak usah kelamaan ngambek begitu. Sebenarnya kan wanita memang standarnya itu kebanyakan fantasi. Nggak salah juga mereka milih Adon, cowok yang loe ciptakan sendiri." Luki berusaha membuat perasaan Eggi yang saat ini serasa naik Niagaragara, tenang seperti saat naik kereta air ke istana boneka.
"Tapi kan konyol! Harusnya orang yang nyata yang jadi role model. Bukan tokoh fiktif yang jelas-jelas cuma dalam game saja." Eggi masih saja keukeuh.
"Ya kan loe sendiri yang merancangnya seperti itu. Cowok tinggi, kulitnya putih, badannya atletis dengan perut roti sobek, terus wajahnya mirip ala artis pria Korea. Ya cewek mana yang nggak kelepek-kelepek berfantasi tentang Si Adon itu?" Luki masih mencoba membuat Eggi mengerti.
"Ngikutin trend setter! Tipe oriental yang lagi di gandrungi, ya aku buat seperti itu biar laku." Jawab Eggi.
"Naahhh, Kan! Wartawan itu nggak salah, loh! Dia kan cuma kerja sesuai dengan arahan atasannya. Bukan pada tempatnya kalau loe ngambek sama dia!" Luki akhirnya tegas.
Eggi menghela nafas panjang. Dia merasa capek di ceramahi sama Luki. Masalahnya, yang bikin dia bete itu, karena Luki memang benar. Sepertinya, dia agak keterlaluan saat mempertanyakan profesionalitas kerjanya Judith.
"Ya, sudah! Tolong jadwalkan pertemuan selanjutnya sama wartawan itu. Tapi jangan malam Minggu. Aku ada kencan sama Tini." Kata Eggi dengan nada suara ogah-ogahan.
"Sebenarnya, gue pikir, wawancara ini bagus juga loh! Secara tidak langsung, wawancara ini nantinya, bisa mendongkrak popularitas loe diantara yang lain. Bukankah impian loe membangun perusahaan produksi game? Walau bagaimanapun, loe kreator dan penciptanya. Karena itu nama loe juga bakalan melambung gitu." Luki mulai memberikan pepatah-pepatah.
"Iya deh! Tolong jadwal ulang. Sesudah malam Minggu saja." Eggi mengangguk.
"Siap Bos!" Luki sumringah.
Eggi kembali ke meja kerjanya. Seperangkat komputer dengan monitor layar besar.
"Mulai kerja lagi, Bro?" Tanya Luki.
"Nggak! Gue main gundu!" Jawab Eggi asal.
"Ya deh...ya deh! Aku mau periksa dulu pembukuan sama hasil pembelian game kita." Luki ngomong sendiri.
"Huuummm!" Eggi cuma bergumam saja. Terus sibuk dengan designnya yang baru.
Mereka berdua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Saat ini, Eggi belum membutuhkan keryawan yang lainnya, karena dia mengerjakan sendiri semua design, program dan musik pengiringnya.
Sedangkan Luki, Manager sekaligus Asisten pribadinya, bertugas mengerjakan semua selain yang Eggi kerjakan.
Keduanya pekerja keras. Terutama Eggi yang merintis dari nol tanpa campur tangan keluarga. Orang tuanya tidak setuju dengan pilihan Eggi, karena itulah Eggi bekerja keras mewujudkan impiannya. Kini, dia sudah selangkah lebih maju.
"Hallo, dengan Bu Judith?" Luki menelepon.
"Benar! Saya sendiri. Ini dengan siapa?" Suara di seberang sana bertanya.
"Ini dengan Luki, Managernya Eggi Hamdani Atmaja, kreator game Adon Black Student." Luki memberitahunya.
"Owhh iya, baik! Bagaimana Pak?" Judith bertanya.
"Bisakah di jadwal ulang wawancaranya? Di hari Senin sore saja di cafe yang sebelumnya, biar saya yang pesankan tempat." Kata Luki.
"Senin sore, baiklah! Saya akan kesana. Terima kasih sudah bersedia melakukan wawancara ulang!" Judith tak lupa mengucap banyak terima kasih.
Luki mengakhiri percakapan.
"Oke katanya!" Luki memberitahu Eggi.
"Oke apanya?" Tanya Eggi heran.
"Oke jadwal ulang wawancaranya. Di cafe yang kemarin saja. Hari Senin sore ya! Aku pesankan tempat dulu, kira-kira jam empat dehh!" Luki mengatur jadwal untuk Eggi.
"Allright, Ntar gue kesana." Eggi mengangguk.
Eggi menyelesaikan dulu pekerjaannya sebelum merebahkan diri di sofa kuning kesayangannya.
"Kayak gimana orangnya?" Tiba-tiba Luki bertanya.
"Siapa?" Tanya Eggi.
"Itu, wartawan yang mau wawancara loe. Suaranya gede and serak! Udah emak-emak kali Ya?" Tanya Luki.
"Ahhh sotoy loh! Enggaklah. Paling umurnya lebih muda dariku dua tahun." Jawab Eggi sambil mengingat-ingat.
"Laahh, masih muda dunkk! Kirain udah usia senja." Luki menyuguhkan dua cangkir kopi untuk Eggi dan dirinya.
Eggi mengangguk.
"Cantik enggak?" Luki nyengir.
"Lumayan manis. Wajahnya bulet telur, hidungnya Bangir. Matanya juga bulat penuh, terus bulu matanya lentik. Rambutnya ikal sebahu." Eggi mengingat-ingat.
"Wahh bisa jadi target dunkk!" Luki membelalakan matanya.
"Target apaan? Loe nggak kapok-kapok ya, walau sering di tolak cewek?" Eggi kadang sebal dengan tingkat kepedean Luki, yang gedenya Segede pasar Gede Bage.
"Ya nggak apa-apa kali! Namanya juga usaha." Jawabnya kalem.
"Tapi cewek itu kayaknya agak keras kepala deh, yahh dia cerdas juga. Nggak cuma ngandelin wajah dan body doang! Beda sama cewe yang gayanya selangit tapi otak udang." Eggi mengingat-ingat lagi.
"Cewek pinter biasanya menantang!" Luki sumringah.
"Menantang buat nabokin elo!"
"Sadis amat loe, Bro! Setahu gue, cewek pinter dan cerdas itu punya pemikiran sendiri. Dia nggak akan main setuju begitu saja sama pemikiran kaum laki-laki. Artinya, loe harus berusaha keras mendapatkan kepercayaannya, biar bisa sejalan sama elo!" Kata Luki lagi memamerkan pengetahuannya yang mendalam sedalam sumur bor kepada Eggi.
"Kasih nasehat kayak gue mau pacaran aja sama itu cewe. Enggaklah! Sama sekali bukan tipe gue." Jawab Eggi.
"Ya udah kalau begitu, kenalin sama gue. Biar aku aja yang kenalan sama dia. Penasaran gue jadinya!" Kata Luki lagi.
"Iya entar gue kenalin sama dirimu!" Luki memejamkan mata. Pura-pura tidur. Dia malas sekali membicarakan soal perempuan.
Malam Minggu di Kota Kembang. Eggi menyetir mobilnya menuju kawasan Dago atas. Malam ini dia mengajak Tini dinner di salah satu resto yang sedang viral. Tini menyarankan agar Eggi langsung saja menunggunya di restoran.
Tini di kenalkan oleh Luki sang pemburu wanita. Menurutnya, Tini bakalan cocok sama Eggi. Wajahnya cantik dengan tubuh tinggi semampai, mirip model iklan rambut di televisi.
Saat Eggi sampai, ternyata Tini sudah menunggunya sambil menikmati minuman.
"Benar juga tuh, pilihannya Luki. Tini cantik banget!" Eggi mengaguminya sambil berkenalan.
"Hay! Saya Eggi!" Eggi memperkenalkan dirinya.
"Tini! Senang bertemu denganmu." Wanita itu menjabat tangan Eggi.
Keduanya terlibat obrolan ringan basa-basi sosial. Eggi memesan beberapa makanan ringan dan minuman lebih dulu sebelum ke menu utama.
Ternyata, tidak seperti bayangan. Segera saja Eggi mulai merasa bosan dengan obrolan-obrolan Tini. Wanita itu hanya membicarakan dirinya sendiri, mode terbaru, membicarakan hal-hal viral dan artis dadakan yang bahkan tidak Eggi kenal sama sekali.
"Mau tanya nih? Menurutmu, pria yang sempurna itu seperti apa?" Tanya Eggi.
Tini mengibaskan rambutnya yang terus helaiannya hinggap di piring salad punya Eggi.
"Pria sempurna ya? Hmmm, menurutku sih! Selain mapan dan punya pekerjaan tetap, dia juga harus rapi dan enak di pandang. Pengertian dan nggak kasar." Jawabnya dengan suara lembut.
"Ok, umumnya memang seperti itu." Eggi mengangguk dan meminum coke dinginnya. Rasanya, Eggi sudah tidak berselera menyantap salad yang di kasih toping helaian rambut Tini.
"Dan juga, pria sempurna itu, harus pria yang mau membuang sampah!" Kata Tini lagi.
"Haahh! Buang sampah?" Eggi kaget.