Akhirnya, Judith bisa juga pindah kostan. Hari ini dia baru saja memindahkan barang-barangnya dari kostn lama ke tempat kostnya yang baru.
Lina membantunya membereskan barang-barang. Kostnya sekarang agak jauh dari pusat keramaian. Menurut Judith, tempatnya sangat bagus dan tenang untuknya menyelesaikan pekerjaan. Tempatnya sih, memang sedikit lebih luas dari yang sebelumnya, harganya juga lebih murah.
"Minum dulu, Lin!" Judith menyodorkan sekaleng soda kepada Lina yang membantunya pindahan. Jodi rebahan di kasur sambil main game.
"Ahhh...makasih!" Lina menerima sekaleng soda yang dingin lalu meneguknya.
"Segeerrr!" Katanya sambil selonjoran.
Judith mengangguk, dia juga rebahan di sofa yang letaknya dekat jendela melepas lelah.
"Makasih yah, udah mau bantuin." Judith berkata kepada Lina.
"Woles, deh! Kayak ke siapa aja. Cuma, aku sedih kau pindahnya agak jauhan gini...aku nggak bisa tiap saat nyelonong ke kamarmu." Lina memanyunkan bibirnya.
"Sekali naek angkot doang! Kalau butuh kan bisa tetep nitipin Jodi ke sini." Jawab Judith.
Lina mengamati ruangan kamar Judith yang baru. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu berambut pendek model bob nungging. Lina tidak mau ribet perawatan yang ngejelimet, dia lebih suka yang praktis.
Mungkin, karena di sesuaikan dengan kesehariannya sebagai single parent yang harus bekerja keras menjadi SPG. Wajahnya manis, mungil dan imut. Kulitnya kuning Langsat khas wanita Nusantara.
"Kata aku sih, kostan loe yang dulu lebih bagus dari ini. Kemana-mana dekat, aku juga nggak kejauhan kalo main." Lina memindai ruangan. Anaknya ternyata tidur lelap di kasur Judith.
"Yang dulu agak serem. Gue jiper kalau pulang malam. Udah mah diikutin preman, deket makam pula! Aing kan sieun! (Aku kan takut!)." Judith beralasan.
"Emang sihh, kayak ada aura-aura dinginnya gitu ke bulu kuduk kalau lewat situ. Pernah tuh, Si Jodi sampai sawan, gemetar badannya." Lina mengingat-ingat.
"Ya makanya! Sampai-sampai nggak berani matiin lampu kalau tidur. Takut tiba-tiba ada yang nongol dari kamar mandi." Judith bergidik.
"Ehh, tapi...loe yakin di sini nggak nyeremin?" Tanya Lina sambil menatap lagi sekeliling.
"Menurutku sih enggak! Di sini malah rame, banyak orang. Aktivitas hampir dua puluh empat jam. Namanya juga daerah pinggiran." Sahut Judith.
"Tapi, tuhh lihat! Langit-langitnya udah pada retak, bocor kayaknya tuhh! Ini juga, temboknya rembes. Bisa-bisa loe bronchitis." Mata Lina sangat telik. Dia benar-benar mengutamakan kenyamanan dan keamanan. Bawaan karena udah punya bocil.
"Nanti aku nyuruh tukang buat periksa. Sekalian lapisin dindingnya pakai pelapis anti bocor." Judith mengiyakan, matanya juga sibuk mengamati.
"Yaelaaahhh! Duit lagi, kayak gaji loe nggak di potong-potong aja!" Lina mencibir sambil terus beres-beres lagi biar cepet rapi.
"Habis ini kita makan dulu, Lin! Kasihan Jodi, takut kelaparan. Gue juga laper sihh!" Judith nyengir.
Keduanya membuka dus yang besar. Isinya berbagai macam buku referensi dan novel kesukaan Judith. Koleksi komiknya juga banyak. Dari mulai Detektif Conan, Cardcaptor Sakura sampai Doraemon.
"Loe nggak akan loakin nih komik? Kayaknya umur loe dah ga mantes baca komik bocil kayak ginian, makan tempat juga." Tanya Lina. Tapi dia membereskan juga komiknya sesuai judul dan urutan serinya.
"Jangan lahh! Itu kenang-kenangan gue, belinya nyicil bela-belain nggak jajan. Sapa tau bisa di wariskan sama anak aku nanti." Jawab Judith.
"Kalo anak loe nanti lahir, dia sukanya baca komik digital. Udah kagak jaman komik beginian." Lina menyarankan.
"Biarin laaahhh!" Pemilik komik mempertahankan barang miliknya.
Keduanya masih asyik dengan pekerjaan membereskan rumah. Untungnya dapur sudah paling duluan beres, jadi Judith bisa menggoreng telur dadar, nugget dan menumis bok coy. Menu sederhana biar irit.
"Makan dulu, Yukkk! Itu bocil bangunin, kasihan kelaperan." Judith mengajak Lina Sahabatnya buat istirahat dan makan.
Judith menata makanan di meja lipat tempat dia ngetik kalau sedang bekerja. Meja itu multifungsi, bisa berubah jadi meja makan dadakan. Makannya duduk lesehan seperti kebiasaan anak kost pada umumnya.
"Jodi...bangun, Nak! Mau makan nggak?" Lina membangunkan anaknya.
"Haaahhh! Makan?" Anak kecil itu menguap dan menggosok-gosok matanya.
Lina segera menarik anaknya ke wastafel dan mencuci mukanya. Judith sudah menunggu sambil membuat kecap pedas buat cocolan, lalu menambahkan kerupuk blek.
"Makannya yang betul yahh! Nggak boleh ngeremeh belepetan." Lina menyeduk nasi dan menyimpan lauknya di pinggir piring.
Jodi kedip-kedip masih ngantuk. Tapi nggak lama kemudian, gigi-gigi kecilnya sibuk mengunyah dan menggigit.
Walau dengan menu sederhana, mereka makan dengan lahap. Entah karena lapar, atau memang merasa lelah. Dua-duanya sampai menambah sepiring lagi. Tak heran, badan Judith tetep bohay berisi akibat gagal diet. Kalau Lina sih, bakatnya memang mungil. Sebanyak apapun makanan yang masuk ke mulutnya, badannya tetap mungil dan langsing.
Judith mencuci piring-piring kotor di wastafel. Kostan lama nggak ada wastafelnya. Kegiatan mencuci, semuanya di kamar mandi. Makanya Judith girang banget pas kostan ini memiliki wastafel dan dapur mini.
"Besok wawancara kemana lagi, Ju?" Tanya Lina sambil duduk di sofa sehabis menyapu lantai.
"Besok mau ke galeri seni, di YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan). Ada pelukis muda berbakat yang bakalan di wawancara juga." Jawab Judith.
"Emang loe ngerti seni?" Lina mengangkat kedua alisnya.
"Ya enggak,sih! Mungkin disana bisa menimba ilmu dikit-dikit." Judith ikut selonjoran di sofa kesayangannya.
"Sebenarnya ini wawancara tentang apaan sih?" Lina penasaran.
"Temanya sih, nyari pria yang dianggap mendekati level sempurna. Baik dari pekerjaan, popularitas, kekayaan dan penampilannya. Madam bilang, mereka adalah pria abad ini yang paling didambakan wanita jaman sekarang." Judith menjelaskan.
"Udah ketemu sama yang nyaris sempurna?" Lina bertanya.
"Sejauh ini sih, belum! Biasa aja." Jawab Judith.
"Standar sempurna buat perempuan kan beda-beda. Gimana tadinya mereka bisa dijadikan role model?" Lina heran.
"Naahh, menurut gue juga begitu. Madam bersikeras, kalau ini adalah hasil survey dari beberapa orang wanita." Judith mengangkat bahunya.
"Madam mu itu udah nyurvey wanita yang salah!" Lina mengerutkan keningnya.
"Wawancara terakhir malah berakhir buruk! Orang itu ngambek dan meninggalkan sesi wawancara begitu aja, nyuruh gue buat janji lagi nanti!" Judith menghela nafasnya.
"Kok bisa ngambek? Emang kenapa?" Lina kaget.
"Karena dia bukan orang yang ada dalam daftar!" Jawab Judith.
"Kalo nggak ada dalam daftar, kenapa juga pake di wawancara segala?"
"Ya karena tokoh yang di buat sama dia, yang masuk dalam daftar role model prianya!" Jawab Judith.
"Heh! Apa? Gue jadi ngelag begini!" Lina mengedip-ngedipkan mata.
"Tokoh ciptaannya yang masuk dalam daftar. Namanya Adon Black Student. Tanya tuh sama Jodi! Dia pasti hapal." Judith cemberut.
Lina terdiam sejenak. Kemudian meledak tawanya.
"Itu...Adon yang ada dalam game? Yang di mainkan tiap hari sama anak gue? Itu bukan?" Lina tertawa geli.
"Iya itu dia!" Judith mengangguk.
"Hahahhaa, pantesan ngambek! Duuhh, konyol banget sihh! Ini siapa sih, perempuan yang milihnya? Hahahahah!" Lina tertawa sampai air matanya keluar.
"Emang konyol. Makanya orangnya pundung!" Judith mengerucutkan bibirnya.