"Eggi, kau ada jadwal Interview Minggu depan, bro!" Seorang Pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun, menepuk pundak seorang pemuda yang sedang sibuk dengan perangkat hardwarenya.
"Dengan siapa?" Pemuda tampan yang berusia lebih muda empat tahun itu bertanya.
"Majalah wanita, 'Ladies Dignity'. Kau pernah dengar?" Tanya teman merangkap manajernya itu.
"Tidak!" Jawab Eggi. Lengkapnya, Eggi Hamdani Atmaja. Seorang programmer yang sedang di puncak kesuksesan, karena game yang baru di rilisnya dua bulan lalu mendapat sambutan hangat. Tepatnya, laku keras.
"Untuk seorang pencipta game yang sedang terkenal. Kau ini kurang gaul." Sahut Manajernya.
"Nggak usah bertele-tele begitu kalau masih betah jadi Manajerku, Luki!" Eggi cemberut.
"Kasih dulu aku kopi, baru lanjut bicaranya." Jawab Luki Hamdan, Managernya.
"Bikin sendiri. Aku capek!" Eggi menjawab sambil melepas headset yang bertengger di kepalanya.
Luki mengerucutkan bibirnya. Dia mendekati meja dispenser yang dilengkapi gelas-gelas cantik, juga aneka macam teh, gula dan kopi sachetan.
"Aku udah nyatet jadwalnya. Minggu depan, hari Selasa jam sebelas siang. Aku reservasi di kafe Moonlight saja, biar kau tidak kejauhan pulangnya." Kata Luki.
"Memangnya wawancara apa? Kok majalah wanita?" Eggi mengerutkan keningnya.
"Mereka sedang membahas seratus orang pria yang jadi role model dan idaman wanita masa kini." Jawab Luki sambil nyemil pisang bolen.
"Jadi aku masuk daftar ya?" Eggi agak senang mendengarnya.
"Makanya mau di wawancara juga." Jawab Luki.
"Kalau begitu, baiklah. Nanti ingatkan aku lagi." Eggi mulai bersemangat.
"Yang ngewawancaranya perempuan. Kalau tidak salah, Juju deh namanya." Luki mengingat-ingat.
"Hmmm, kayak orang Cileunyi!" Eggi nyengir.
"Laahh, aing juga kan orang Rancaekek!" Luki ngegas sambil menjaga citra wilayah Bandung Timur yang ketika habis hujan terbitlah macet dan banjir.
"Nggak usah ngegas kali bro! Itu kan wilayah yang paling mendebarkan hati! Ga nahan macetnya ihkk!" Eggi bergidik.
"Dimana-mana kali, udah macet sekarang." Luki keukeuh.
"Loe nggak usah ragukan kesabaran orang Rancaekek deh!" Kata Luki sambil menyuapkan potongan besar pisang bolen yang masih tersisa.
"Iya, aing juga tahu! Ehh, makannya rakus amat sih? Kayak setahun puasa aja!" Eggi membelalakan mata saat kotak pisang bolennya sudah habis setengahnya.
"Iya, lapar euuyy! Ada mie instan nggak?" Luki mengacak-acak isi lemari tempat Eggi menyimpan persediaan makanan.
"Abis, bro. Aku belum belanja. Keluar yookk! Nyari makan, sekalian belanja." Eggi menyambar jaketnya.
"Asyikkk, Nasi goreng patut yahhh? Yang baru buka itu. Katanya enak tuhhh, penasaran pengen nyobain!" Luki sumringah.
"Iyahh hayuuk! Loe yang nyetir! Gue lagi males." Eggi melempar dompet kulit tempat menggantung kunci kepada Luki.
"Jangan lupa, kunci rumah yang teliti. Lagi banyak maling!" Ujar Luki.
"Bukannya itu tugas loe?" Eggi bengong.
"Yeeehhh, emangnya gue pembokat loe? Ogahhh!" Luki udah bertengger di balik kemudi.
"Sialan! Manajer kok ngerjain gue." Eggi menggerutu sambil mengunci lagi pintu dan jendela rumahnya.
Kalau nggak di kunci baik-baik, bisa-bisa rumahnya di bobol maling. Itu bakal jadi kiamat kubro buat Eggi. Karena rumah merangkap tempat kerjanya itu, berisi peralatan yang harganya bisa bikin dikejar-kejar debt collector sampai liang kubur. Maklum, lokasi rumahnya berada di kawasan rawan. Terkenal dengan sebutan 'Negara Beling'.
"Cepetan!" Luki udah nggak sabar.
"Iya udah. Bawel amat sih!" Eggi menggerutu.
Eggi masuk ke mobil Brio hitam miliknya. Mobil yang di belinya dengan hasil susah payah, walau Eggi kalau kemana-mana lebih seneng naik Damri sama ojek online, terus mobilnya dipakai oleh Luki jemput cewe-cewe incarannya.
"Dimana sih, tempat orang jual nasi gorengnya? Dari tadi muter-muter terus. Aing kan udah kelaparan!" Eggi protes.
"Tuhh, di tikungan depan. Sabar kenapa sihh?" Luki bersungut-sungut sambil nyari parkiran.
Ternyata, tempat itu ramai. Banyak pelancong berjalan kaki sambil wisata kuliner walau bukan malam Minggu.
Kawasan ini letaknya di daerah Lengkong Kecil, tempat yang sedang ramai oleh orang-orang berjualan makanan kaki lima, atau bahasa kerennya street food.
"Kang, dua porsi jumbo nasgor spesial yahh! Pedesnya pisah aja." Luki memesan.
"Baik, Ang! Minumnya mau apa?" Tanya asisten pedagang yang tugasnya mencatat dan mengantarkan pesanan.
"Es jeruk boleh deh! Dua yahh!" Luki terlihat sumringah.
Eggi mengamati keadaan sekitar, pedagang masing-masing sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. Aneka macam makanan di jual di kawasan ini. Mulai dari makanan ala anak SD sampai makanan ala Korea yang rasanya mirip dengan cilok dan seblak.
Dua piring nasi goreng spesial pakai telur, lalu baso dan sosis disajikan. Pedagang memberi topping suwir ayam dan taburan bawang goreng. Tak lupa pinggirannya diberi selada, irisan tomat dan mentimun.
Sedangkan kerupuknya sudah di sediakan dalam toples plastik besar dan di bungkus oleh plastik satu-satu. Bedanya, kerupuk di sini tidak gratis seperti air teh yang hambar, pelanggan harus bayar terpisah untuk kerupuk udang dan emping melinjonya.
"Belum ngerti, dimana spesialnya? Perasaan sama aja deh, sama nasgor yang suka lewat depan rumah!" Eggi berkomentar dengan suara berbisik. Takut kedengeran sama tukang nasgor yang bakalan menyebabkan mereka diusir.
"Bedanya, di sini lebih meriah. Bisa cuci mata dan ngincer cewe cantik." Luki nyengir.
"Dasar Playboy cap gajah jingkrak! Pantesan aja istri loe kabur." Eggi menggerutu.
"Gue kan masih normal. Seneng lihat cewe cantik!" Jawab Luki. Mulutnya sibuk mengunyah nasi goreng, sedangkan matanya muter-muter sampe juling, ngincer cewek-cewek cantik mencrang nan bahenol nerkom yang sibuk berlenggak-lenggok milih jajanan.
"Trus gue gak normal begitu?" Tanya Eggi.
"Harusnya sih! Dengan reputasi sekarang, minimal harus ada perempuan-perempuan cantik yang ngantri pengen ngedate sama elu!" Jawab Luki.
"Lagi males. Ga Nemu yang cocok." Jawab Eggi cuek.
"Emangnya mau cari perempuan kayak apaan, sihh? Standar loe yang ketinggian kali ahh! Terlalu banyak milih-milih." Kata Luki sambil tetap sibuk mengunyah. Nasi goreng porsi jumbo ludes dalam sekejap.
"Ga milih-milih. Cuma gue cepet bosen aja. Habisnya, cewe ya gitu-gitu aja! Satupun nggak ada yang bikin gue berhasrat pengen ketemu lagi atau menjalin hubungan yang lebih serius." Jawab Eggi.
"Naahh, kalau gitu siap-siap aja jadi Jones! Jomblo ngenes." Luki mengangkat kedua bahunya.
"Gue bukan jones, tapi eksklusif! You know!" Eggi agak kesal mendengar pendapat Luki, Sang Manajer sekaligus tukang japrem makanannya.
"Bayar dulu gih! Dah ini gue mau belanja makanan buat ngisi kulkas, takut keburu malem. Gue masih banyak kerjaan." Eggi memberikan dua lembar uang berwarna merah.
"Siiap, Boss!" Luki membayar nasi gorengnya ke kasir.
Eggi sudah beranjak duluan dari tempat duduknya, saat melihat sepasang perempuan centil membawa ukulele dan tutup panci, masuk ke tenda tukang nasi goreng.
"Haaayyy, ganteeeengg!" Perempuan centil yang ngamen ke tenda nasi goreng mencubit pipi Luki tanpa Tedeng aling-aling.
Seketika wajah Luki berubah pucat, keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Secepat kilat Luki lari tunggang langgang nyusul Eggi.
"Bencoongg, Njiirrrr! Sialan!" Luki ketakutan.