"Terlalu banyak dari sifat pria yang tidak bisa kupahami." Sahut Judith, masih dengan kening berkerut.
"Naahh, kau bisa belajar dari mereka mulai sekarang." Madam menyarankan.
Judith mengangkat kedua alisnya.
"Ya, baiklah! Aku akan mengerjakannya. Tapi aku butuh uang makan dan bensin dimuka. Aku tak bisa mengerjakannya dalam keadaan bokek seperti sekarang." Judith menawar. Dia ingat di dalam dompetnya tinggal sepuluh ribu rupiah.
Madam memandangnya tak percaya.
"Mulai bekerja juga belum!" Tatapan mata Madam setajam silet.
"Well, kondisiku begini. Aku minta gaji duluan seperempatnya. Anggap saja uang jalan." Judith balas menatap mata Madam.
"Hmmm, baiklah! Hanya dua puluh lima persen saja, Ok! Kau harus berhemat hingga gajian dan tulisanmu selesai!" Madam memperingatkan sambil menulis ijin kasbon di selembar cek.
Bagian keuangan melongo saat Judith menyerahkan selembar kertas ijin mengambil gaji dimuka.
"Kasbon lagi, Ju?" Tanyanya dengan raut wajah malas.
Judith mengangguk. Bagian keuangan menghembuskan nafas sambil mengambil beberapa lembar kertas yang harus di tanda tangani.
"Cash atau transfer?" Tanyanya.
"Cash!" Jawab Judith sambil mengerutkan bibirnya.
Bagian keuangan yang bernama Ceu Lilis menghitung lima lembar uang seratus ribuan dan selembar uang limapuluh ribu, plus receh seribuan lima buah
"Lima ratus lima puluh dua ribu lima ratus." Katanya setelah selesai menghitung.
"Iyah!" Judith mengangguk sambil menerima uangnya.
"Kasbon terus, lama-lama tiap gajian zonx terus, loh!" Kata Ceu Lilis.
"Yahhh, namanya juga butuh. Mau gimana lagi!' Judith mengangkat bahunya.
Ceu Lilis cuma mengangguk-angguk kayak burung hantu. Seakan-akan mengerti.
"Ya sudah, makasih Ceu!" Judith pamitan. Hatinya agak lega karena sekarang dompetnya mulai berisi.
Judith kembali berkendara dengan motor matic kesayangannya. Masih enam bulan lagi cicilan biar lunas. Sebelum sampai di tempat kostnya, Judith mampir dulu beli sembako dan ayam goreng Krispy dua buah.
"Sisa tiga ratus dua puluh lima ribu lagi, huftt! Cepet amat habisnya ni duit." Judith menepuk jidat.
Setelah berganti pakaian dengan daster tanpa lengan yang adem, Judith masak nasi dengan magic com mungilnya. Sambil menunggu nasinya matang, Judith mempelajari lagi daftar nama orang-orang yang harus di wawancarainya.
"Benar-benar deh! Ga habis pikir aku!" Kembali Judith mengurut keningnya.
"Harus bikin Jadwal dulu, mana yang bisa di wawancarai dalam waktu dekat, sama yang harus bikin janji bertemu dulu. Arrghhh, kenapa sih harus ngadain interview segala? Apa ga bisa pake beberapa role model saja? Minimal aku kan bisa mengolah materi menurut standar wanita pada umumnya." Judith berpikir.
"Aarghhh, serius! Kalo bukan karena banyak yang harus di bayar. Mending nulis artikel fashion sama make-up style." Judith merebahkan diri di kasur busanya yang menghampar di atas lantai.
Trrekk! Nasi yang dimasak sudah matang. Judith menoleh.
"Lima menit lagi, baru bisa makan." Judith mengaduk nasi, lalu membuat segelas kopi.
Judith menghubungi pria-pria dalam daftar. Baru dua orang dari dua puluh yang bersedia di wawancara esok harinya. Mereka sudah menentukan tempat dan waktunya juga.
"Huftt, masih banyak!" Judith meninggalkan catatannya di meja.
Judith akhirnya makan dulu, karena cacing-caring di perutnya sudah ramai berdemo minta diisi.
"Bukan makanan sehat. Seret tanpa sayuran. Tapi nggak apa-apa deh, setidaknya makanan kayak gini bisa membuatku tetap hidup." Pikir Judith sambil mencocol ayam ke dalam saus cabe pedas.
Baru saja selesai makan dan menyalakan sebatang rokok. Ponselnya berdering.
"Halo, Lin!" Judith menyapa sambil menghisap rokoknya.
"Ehhh, Ju! Kemana aja loe? Ga ada kabarnya seharian ini?" Tanya Lina langsung nyerocos.
"Habis dari kantor. Ada tugas baru, nih!" Jawab Judith.
"Wahhh sibuk dong!" Nada suara Lina terdengar kecewa.
"Belum sih, baru nyiapin aja buat keperluan wawancara besok!" Jawab Judith.
"Ju, besok loe jam berapa wawancaranya?"
"Dua-duanya pagi-pagi, Lin! Yang satu di kampus, satunya lagi di Gedung Kesenian. Kenapa?"
"Gue mau titip Jodi sorenya, bisa nggak? Aku sama rombongan mau nengokin atasan yang lagi di ICU. Ga boleh bawa anak kecil ke rumah sakit katanya." Lina menjelaskan.
"Hmmm, kalau sore kayaknya bisa deh. Aku usahain jam dua siang udah nyampe kostan, Ya. Telepon aja dulu." Jawab Judith.
"Wahhhh! Thank You Juju! Pokonya loe bener-bener sohib ter-the best, deh!" Terdengar suara Lina yang lega.
"Hooh sama-sama. Pulangnya bawaain gue rokok sama martabak keju kismis yahh! Heheheh!" Jawab Judith.
"Ahhh, mampus gue! Di japrem melulu." Lina merengut.
"Oke deh! Sampe besok yahh!" Lina menutup teleponnya.
"Panggil gue Judith, kenapa? Juju...Juju melulu." Judith menggerutu.
Bertahun-tahun berkawan baik, Judith nggak pernah berhasil membuat Lina memanggil nama aslinya. Katanya biar gampang.
Judith tidak tega kalau menolak di titipin Jodi, anaknya Lina saat keadaan darurat. Lina sama-sama merantau di Kota ini. Lina hidup berdua bersama anak laki-lakinya, setelah kabur dan bercerai dari suaminya yang tukang main perempuan.
"Apa gunanya bikin daftar 'Pria yang paling diinginkan Abad ini'? Pria tetaplah Pria, sulit memahami mereka." Pikir Judith.
Bagi Judith, satu-satunya pria yang mendekati standar sempurna, adalah Almarhum Ayahnya sendiri.
Ayahnya seorang pria yang kuat, rajin bekerja, ramah, baik hati, selalu rapi dan sopan.
Seingatnya, tak sekalipun Ayahnya itu pernah membentak Ibunya, apalagi melakukan KDRT seperti yang sering di beritakan akhir-akhir ini.
"Pria seperti itu sudah langka. Aku tidak tahu, apakah masih tersisa pria baik seperti Ayahku di jaman sekarang? Kalau mengerikan sih, Iya!" Pikir Judith.
Judith sudah mendekati usia tiga puluh, tepatnya dua puluh enam tahun. Uniknya, dia masih betah menjomblo. Lina bilang, standarnya tentang pria terlalu tinggi,
hampir menyamai tingginya Monas. Padahal Judith hanya ingin seseorang yang terbaik saja.
"Ahhh, biarlah telat merid, daripada pas waktunya udah merid banyak keluhan. Nggak banget dehh!" Katanya menghibur diri.
Judith kembali menelusuri daftar dan meneleponnya satu-persatu. Setelah mencatat, Judith beralih kepada laptop yang baru saja di cicilnya sebanyak empat kali.
Judith membuat tabel jadwal wawancara, memisahkan antara yang bersedia dalam waktu dekat, sisanya yang minta di jadwal ulang.
"Nneeengg Jujuuu! Udah gelap! Lampunya nyalain, sereemm tahu!" Terdengar teriakan tetangga sebelahnya yang nyaring cempreng, seperti suara panci yang jatuh.
"Iyaaa, bentar Ceu Popon! Tadi lagi nanggung!" Judith balas berteriak sambil menyalakan lampu teras.
"Emang, Yah! Di sini kalau udah gelap suasananya agak serem." Judith cepat-cepat mengunci jendela dan menutup gorden.
Bahkan lubang sekecil apapun di tutupinya dengan kertas. Judith ga mau ambil resiko ada orang mengintip. Hanya Luster di bagian atas yang dibiarkan tanpa penutup, kalau enggak, dia bakalan mati kehabisan udara.
"Kalau inget serem begini pas malem, pengen banget pindah kostan." Judith menggaruk-garuk kepalanya.