MALAM PERTAMA KELABU
Aku duduk di pojokan sembari menatap langit-langit malam. hari ini aku sudah resmi menikah dengan Ananta. Lelaki yang tak pernah aku harapkan menjadi suamiku. Semua yang terjadi begitu saja di luar dugaanku sebagai seorang wanita biasa.
Seharusnya aku senang dan bahagia karena akan mendapatkan suami yang akan menjagaku untuk selamanya tapi aku berpikir keras juga bahwa semua yang terjadi hanya sementara saja. cepat atau lambat aku akan berpisah dengan Ananta. Meski sebenarnya aku sendiri merasa terjebak di permainanku yang tak tahu harus melangkah ke arah mana.
Rasanya sangat menyesal sudah memilih keputusan sebodoh ini untuk mau menyenangkan hati Papa dan juga Mamaku. Aku sendiri mengorbankan segalanya untuk mereka. Kini aku sendiri merasa sangat hancur sekali. Melihat Papa dan juga Mama sangat bahagia aku juga ikut bahagia tapi di satu sisi aku sangat sedih karena hidupku terjebak di pusaran kehancuran. Sebuah pernikahan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya terjadi secara nyata di hidupku.
"Kamu ngapain di sana Kalila?" tanya Ananta yang berusaha untuk mendekati diriku yang duduk di atas balkon rumah sambil menatap langit-langit malam.
"Bukan urusan kamu Ananta. Lebih baik kamu pergi tidur saja sana. Aku mau duduk di sini sampai aku merasa tenang." Ucapku pada Ananta.
"Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah kamu bisa ceritakan sama aku. Lagi pula sekarang ini aku sudah sah sebagai suami kamu. Jadi tanggung jawabku untuk membuat kamu bahagia Kalila." Tutur Ananta yang berusaha mendekati aku dengan sikapnya yang tenang.
"AKU SUDAH BILANG PERGI!!!" Teriakku pada Ananta dengan ketus. Rasanya sesak di hatiku sangat membuat aku stress malam ini sangat berat bagiku. Seharusnya aku bahagia tapi justru aku tertekan dengan pernikahan sandiwara ini.
"Kamu membentak diriku Kalila. Tak sepantasnya seorang istri memperlakukan suaminya dengan kasar. Apa salah aku sama kamu? Sampai segitunya tega berbicara kasar sama aku. Aku benar-benar kecewa sama kamu Kalila. Sudahlah terserah kamu mau ngapain aja aku tidak akan tanya ataupun peduli lagi." Ujar Ananta yang segera berlalu meninggalkan balkon dan pergi ke dalam kamar untuk tidur.
Aku hanya bisa terdiam sambil mematung menahan air mataku yang sangat berat. Rasanya aku sendiri tak sanggup menahan kesedihan diriku ini. Aku yakin jika rumah tangga seperti ini tak akan bertahan lama. Aku merasa bahwa suatu saat Ananta akan benar-benar jenuh dengan sikap kasarku. Dan aku tak perlu merasa sungkan untuk meminta cerai padanya. Karena di antara kami berdua tak ada yang namanya cinta hanya pernikahan sebelas hari yang sudah di tetapkan akan berpisah.
Air mataku jatuh membasahi pipiku, aku sangat sedih dan tak mampu untuk menahan segala gelisah yang sedang aku rasakan. Rasanya kepalaku mau pecah memikirkan masalah hidup yang rumit sekali tak mampu aku bayangkan harus berkata apa lagi. Ananta sangat baik sikapnya padaku. Dia juga berusaha bersikap selayaknya sebagai suami yang sebenarnya tapi entah mengapa aku sangat tertekan dengan segala keputusan untuk menikah dengan Ananta karena aku tahu bahwa akhirnya aku sendiri akan meminta cerai pada Ananta.
Jadi untuk apa menikmati pernikahan palsu ini yang semuanya hanya sandiwara saja tak ada yang nyata atau yang pantas untuk aku nikmati atau syukuri. Karena kehancuran sudah pasti akan terjadi pada hidupku. Aku seperti sedang menelan pil pahit yang sebenarnya aku sudah tahu jika pil itu pahit tapi aku tetap memaksa untuk meminumnya tapi pada akhirnya pil pahit itu akan termuntahkan lagi karena aku tidak sanggup. Ibarat pil pahit itulah kini hidupku.
Aku akan melihat kehancuran yang sudah ada di depan mataku. Rasanya segalanya begitu pahit. Dan menyedihkan sekali untuk aku bayangkan. Namun inilah yang harus aku terima sebagai konsekuensinya menikah dengan lelaki yang aku bayar.
Aku segera berdiri dan menuju ke arah kamar di mana dalam kamar itu ada Ananta yang sedang menungguku atau mungkin ia sudah tertidur lelap karena marah dengan cara aku bicara kasar padanya. Aku sangat sungkan dengan Ananta harus memulai darimana harus berbicara pada lelaki yang sudah aku teriaki dengan nada suara yang keras. Pasti hatinya Ananta sangat hancur dan juga kecewa saat tahu jika istri yang seharusnya bersikap manis malah meneriaki dirinya di saat itulah hatiku sedikit merasa bersalah pada Ananta.
"Ananta..." ucapku pelan.
Namun tak seperti biasanya Ananta justru hanya diam saja dan tak berkata apapun lagi, ia hanya diam seribu bahasa. Aku berusaha untuk bersikap baik padanya tapi justru Ananta malah ngambek sama aku. Aku tahu jika setiap yang aku lakukan sangat menyakiti hati Ananta. Dan itu sebabnya aku tak mau banyak bicara lagi pada Ananta, takut jika kami justru tambah berdebat dan membuat malam pertama ini sangat kelabu sekali tak ada indahnya.
"Tadi kamu meneriakku dengan kata-kata kasar. Sekarang untuk apa bersikap sok baik padaku Kalila? Aku tahu di matamu aku ini hanya suami palsu untuk kamu. Bukan suami yang kamu harapkan selama ini. Tenang saja, aku tidak akan meminta hakku sebagai suami padamu. Kamu segeralah untuk tidur. Karena ini sudah malam. Kasihan jika kamu nanti banyak pikiran." Tutur Ananta padaku.
Sontak saja ucapan Ananta membuat aku tersadar betul bahwa tidak pantas aku bersikap seperti itu pada lelaki yang kini menjadi suamiku, meski kenyataanya lelaki itu aku sewa dan aku bayar untuk mau menikahi diriku. Aku sudah menikah tetapi pernikahan ini hanya kepura-puraan saja tak ada istimewanya untuk aku kenang. Sangat menyedihkan untuk hidupku.
"Maafkan aku Ananta. Aku harap kamu tidak marah lagi sama aku. Please, jangan membuat aku merasa bersalah lagi sama kamu. Aku tahu ucapanku tadi sangat kasar dan tak pantas untuk aku lakukan pada kamu. Maaf!" tuturku memohon maaf pada Ananta. Yang terlihat masih sangat marah sama Kalila.
"Aku capek hari ini, jadi tidur saja. Lagi pula aku hanya suami sewaan bukan kewajiban aku untuk marah sama kamu. Dan mulai sekarang aku akan tidur di lantai bawah saja. silakan kamu tidur di dalam kamar ini sendiri dan aku tidur di kamar lainnya." Ucap Ananta yang segera berdiri dan meninggalkan kamarku.
"Kamu mau kemana Ananta?" tanya dengan sangat bingung.
"Hmm, jangan sok peduli sama aku Kalila. Bukannya tadi kamu meneriaki aku seakan aku bukan siapa-siapa yang penting untuk kamu. Jadi untuk apa kamu tanya aku mau kemana. Toh juga, rencana kamu sudah berhasil sekarang. Kamu hanya ingin menikah supaya Papa dan juga Mama kamu bahagia dan tidak akan memaksa kamu untuk segera nikah sama cowok yang kamu nggak suka. Jadi ayolah Kalila pikirkan sedikit siapa yang sudah jadi korban di sini. Bukan hanya kamu saja yang tertekan dengan pernikahan sandiwara kita. Tapi aku juga. Pikirkan masa depan aku bagaimana. Di usia yang muda aku harus rela jadi duda hanya karena bercerai dengan kamu setelah 11 hari pernikahan." Pungkas Ananta sangat emosi.
"Tapi aku membayar kamu untuk bersedia menikahi aku. Jadi uang yang aku berikan rasanya sepadan dengan masa muda kamu yang bakalan cerah dengan harta yang melimpah. Jadi apa yang harus kamu khawatirkan?" tanyaku dengan wajah jengkel.
"Sudahlah, berbicara dengan perempuan egois seperti kamu Kalila hanya akan membuat aku tambah tua sama seperti kamu yang umurnya lebih tua dariku 7 tahun. Seharusnya sebagai perempuan yang usianya lebih dewasa dari aku kamu bisa dong kasih contoh sama anak muda seperti aku. Ini malah kasih contoh yang buruk. Percuma kamu lebih dewasa dari aku tapi sikap kamu lebih bodoh dari aku." Tutur Ananta dengan tegas. Sambil berlalu meninggalkan aku sendiri di dalam kamar.
Seakan malam pertamaku penuh dengan pertikaian dan juga kelabu. Sangat menyedihkan sekali. Aku sangat bingung harus berkata apa lagi pada Ananta. Seakan ucapan yang keluar dari mulut Ananta itu ada benarnya juga. Aku sangat sedih tapi di satu sisi aku sangat kecewa.