Pernikahan Hari ke 5
"Aku benci Ananta!" teriakku daam hati.
Sesekali aku mengusap air mata di pipi. Membuatku muak dengan semua omong kosong pernikahan antara aku dan Ananta. Rasanya sangat sial dalam permainan ini. Aku pikir dengan menikahi Ananta aku akan baik-baik saja ternyata dugaanku salah besar. Ananta sangat menyiksa diriku.
Beberapa kali berpikir dengan menikah dengan Ananta aku akan baik-baik saja ternyata keliru, Ananta kini semakin memaksa aku untuk melayaninya setiap saat. Siapa dirinya itu yang beraninya memaksa aku untuk melayaninya. Meskipun ia adalah suamiku. Tetapi aku tak pernah sudi mau jadi istrinya. Sedikitpun tidak sama sekali.
Membayangkan bagaimana Ananta menyentuhku, membuat aku tidak suka bercermin, rasanya sangat menjijikan. Aku sangat menyesal sekali sudah menikahi Ananta yang aku pikir adalah lelaki yang baik ternyata dugaanku salah besar. Ananta hanya memanfaatkan saja. Hanya ingin hartaku dan juga tubuhku.
"Kamu ngapain di sana Kalila?" tanya seseorang dari arah belakang.
Sontak saja aku langsung membalikkan tubuhku untuk melihat siapa yang sedang berbicara padaku. Dan ternyata itu adalah Mamaku. Aku langsung menghapus air mataku dan berusaha bersikap baik-baik saja di depan Mama. Agar tidak terlihat sedang sedih atau memikirkan masalah yang sangat besar.
"Ananta mana Kalila?" tanya Mamaku lagi.
"Oh Ananta, sedang siap-siapa berangkat ke kantornya Ma." Jawabku dengan gugup.
"Kamu kenapa sedih sekali Kalila? Apa kamu habis menangis?" tanya Mamaku lagi penasaran.
"Tidak Ma, aku baik-baik saja. Tidak ada masalah apapun. Oh ya, kenapa nggak bilang dulu sama Kalila kalau mau ke rumahku. Jadi aku bisa siapin makanan yang enak untuk Mama." Sahutku dengan suara yang sedikit bergetar.
"Kamar kamu kenapa terlihat sepi begini ya? Katanya Ananta siap-siap mau berangkat mau ke kantor. Tapi kok nggak ada di kamar kamu?" tanya Mama lagi sambil mencari-cari keberadaan Ananta yang entah ada di mana.
"Begini Ma, Ananta ada di kamar lain. Maklumlah Ma, Kalila belum sempat beli lemari lagi. Soalnya baju Kalila itu banyak jadi mau kasih tempat untuk Ananta di kamarku rasanya agak sulit, itu sebabnya aku suruh Ananta taruh baju dan pakaiannya yang lain di kamar bawah aja Ma." Ucapku seraya menepis kegelisahanku.
"Ananta pasti sedang bersiap-siapa. Oke, Mama tunggu di lantai bawah aja. Ayo kamu juga ikut turun. Jangan diam dalam kamar terus. Pengantin baru harus sering-sering jalan-jalan bareng sama suaminya." Tutur Mamaku sambil sedikit menggoda.
"Ma, aku mau beres-beres kamar aja bentar. Jadi kalau Mama mau turun duluan juga nggak apa-apa kok. Silakan saja. nanti pasti ada Ananta di lantai bawah. Panggil aja namanya dia pasti langsung keluar untuk menemui Mama." Ujarku sambil melebarkan senyum di wajahku yang sebenarnya sangat sedih dalam hatiku.
"Ya sudah, Mama akan turun duluan. Jaga hubungan kamu dengan Ananta, jangan sampai sering bertengkar. Harus rukun jangan sering marah-marah." Ceramah Mama padaku.
Aku hanya bisa mengangguk saja sambil langsung mempersilakan Mamaku untuk turun meninggalkan kamarku di lantai atas. Perasaan yang kini sudah bercampur aduk antara senang dan juga sedih membuat aku tak habis pikir lagi harus berbuat apa pada Ananta itu.
Kini aku hanya seorang diri di lantai atas tepatnya di dalam kamar. Aku segera menutup kamarku dan juga menangis. Rasanya sedih sekali saat harus tahu bahwa Ananta bukan laki-laki yang baik untuk aku nikahi. Aku terjebak di permainanku sendiri, siapa yang akan menolong aku? Rasanya tidak akan pernah ada orang yang bisa membantu aku untuk menceraikan Ananta, lelaki bajingan itu yang hanya ingin uangku dan juga segala fasilitas yang aku miliki.
"Ananta!" panggil Mamaku yang sudah ada di lantai bawah.
Tak lama kemudian Ananta keluar dari kamarnya dengan senyum-senyum pada Mamaku. Lagaknya yang sok baik di depan Mama supaya terlihat bahwa ia adalah menantu yang terbaik untukku. Padahal dia adalah lelaki yang hanya ingin memanfaatkan diriku saja.
"Ada apa Tante!" sahut Ananta pada Mamaku dengan lembut.
"Eh, kok manggil Tante. Harusnya panggil Mama dong. Jangan bikin malu ah!" ujar Mamaku dengan suara halus.
"Astaga, iya Tante. Eh maksudnya Mama. Aku kebiasaan manggil dengan sebutan Tante jadi agak kagok aja mau manggil dengan sebutan Mama." Sahut Ananta yang mengeluarkan jurus sok baik di depan Mamaku.
"Iya sudah, nggak apa-apa yang penting ingat sekarang panggil aja Mama. Jangan sampai lupa lagi. Harus ingat panggil Mama aja jangan Tante. Malu kalau di dengar orang. Masa menantu Tante manggilnya." Ujar Mamaku dengan suara yang lembut.
Tak berapa lama aku turun dari lantai atas tepatnya dari dalam kamarku. Sambil mendehem aku mulai memasuki perbincangan mereka berdua. Rasanya sangat jengkel saat lihat Ananta sok baik di depan Mamaku itu, sungguh sangat menyebalkan sekali.
"Ma, ngapain lama-lama ngobrol sama Ananta. Sini deh, temani aku aja di meja makan. Kita nunggu Bik Inah buatkan sarapan untuk kita berdua." Ucapku.
"Eh sayangku, udah turun aja dari atas kamarnya. Sudah lapar ya. Kalau begitu aku suruh Bik Inah untuk cepat masakin makanan kesukaan kamu ya sayangku." Tutur Ananta padaku sok baik dan manis kata-katanya itu.
"Ananat, bisa nggak biasa aja sikapnya sama aku. Males tahu dengar kamu pura-pura baik sama aku yang jelas-jelas Cuma sandiwara aja." Tuturku dengan ketus.
"Kalian berdua lagi ribut ya? Makanya saling judes begitu ngomongnya? Kalila jangan suka marah sama Ananta. Kasihan diakan suami kamu. Jangan di perlakukan seperti itu." nasehat Mamaku.
"Sudah Ma, aku lagi bete sekarang ini. Jadi jangan buat aku semakin kesel sama Ananta." Pungkasku.
"Aku minta maaf ya, kalau udah bikin kamu marah sama aku. Tolong jangan marah terus sayangku. Ayo kita baikan aja, masa pagi-pagi cemberut begitu. Tunjukan sikap manis kamu dong sama Mama yang udah capek-capek datang ke rumah kita. Di sambut dengan baik Mama kamu." Pungkasku.
"Ma, aku benar-benar lagi emosi hari ini. Jadi tolong ya, jangan bahas apapun dengan Ananta di depanku. Kita makan aja dan secepatnya Mama pulang. suasana hatiku lagi nggak karuan pagi ini." Jelasku.
"Pagi semua! Makanannya udah jadi. Bik Inah masakin sayur lodeh, dan juga makanan yang Non Kalila suka pagi ini. Mumpung masakannya masih anget, ayo di makan dulu." Tutur Bik Inah.
"Makasih Bik Inah." Sahutku.
"Ayo Nyonya besar. Ikut cicipi masakan Bik Inah. Tumben datang ke rumah Nyonya. Tuan besar nggak ikut datang juga?" tanya Bik Inah.
"Nggak Bik, Cuma saya aja yang datang sekalian mampir lihat Kalila dan menantu. Mumpung sekalian lewat tadi." Sahut Mamaku.
"Iya sudah, kalau begitu ayo di cicipi masakan saya ini Tuan Ananta dan Nyonya Rosa. Saya yakin pasti ketagihan." Ujar Bik Inah.
Kami akhirnya makan pagi ini dengan santai di meja makan. Namun tetap saja hatiku sangat gundah gulana. Rasa benci di hatiku membuat aku tak bisa menikmati menu masakan di pagi ini, meskipun sebenarnya rasanya sangat enak sekali. Benci lihat Ananta yang kini duduk di dekatku. Berpura-pura panggil aku dengan sebutan sayangku. Padahal nyata-nyata Ananta itu hanya ingin uangku, hartaku dan juga semua fasilitas mewah yang aku punya.
"Dasar tampang penjilat!" gumamku dalam hati.
"Ayo, dimakan yang banyak sayur lodehnya sayangku. Kamu suka itukan!" sahut Ananta padaku dengan nada suara yang sok manis.
"Kalian berdua ini sangat lucu ya, dikit-dikit berantem. Kadang akur, kadang juga ribut. Memang kalau pengantin baru itu selalu ada aja yang di ributin. Tapi nggak apa-apa anggap aja itu hanya bumbu rumah tangga. Jangan di ambil hati ya sayangku Kalila." Tutur Mamaku.
"Ma, kita fokus makan aja. Kasihan Bik Inah udah masakin banyak untuk kita bertiga terus makanannya nggak di makan. Ayo fokus aja sekarang." Tuturku dengan muka jutek.