Hari Ketiga Setelah Pernikahan
"Ananta mundur dariku!!!" hardikku dengan kasar.
"Kenapa?" tanya Ananta dengan heran.
"Aku hanya ingin mendekat ke arah kamu. Apa ada yang salah?" ucapnya lagi sambil menatap ke arahku dengan liar.
Jujur saja tatapan itu sangat membuat aku jenuh dan jijik. Ia melihatku seperti sedang memikirkan sesuatu yang liar saja di pikiran mereka. Darahku mulai mendidih di buatnya. Karena Ananta semakin kurang ajar sikapnya padaku.
"Aku sudah billang padamu, untuk menjauh dariku. Karena jujur saja tatapan liar itu membuat aku sangat jijik. Aku tidak suka cara kamu menyentuh aku semalam. Dan seharusnya kita tidak melakukan hal itu. sudah kukatakan pernikahan kita hanya sandiwara. Tidak sungguhan! Mengertilah sedikit jangan membuat aku semakin jijik dengan diriku yang sudah kamu sentuh semalam." Tuturku dengan menitikan air mata.
"Percuma saja jika kamu menangis Kalila. Karena aku sudah terlanjur menyukai aroma tubuh kamu itu. Dan aku harap kamu jangan membuat aku semakin jatuh cinta dengan kamu. Terserah kita punya perjanjian apa. Tapi selagi aku masih jadi suami kamu, kamu tetap milikku dan aku berhak untuk menyentuh kamu kapanpun juga." Jelas Ananta padaku.
Aku pun di buat semakin kesal saja dengan Ananta. Beraninya ia bicara seperti itu padaku. Tatapan mata Ananta padaku semakin tak karuan. Aku kira Ananta akan berubah menjadi lelaki yang lebih baik setelah menikah dengan ku ternyata dugaan aku salah total. Ananta semakin menunjukkan sikapnya yang asli. Menyebalkan sekali.
"Aku hanya ingin katakan pada kamu Kalila. Semakin hari kita akan semakin dekat dan kamu akan semakin mencintaiku. Aku berani bertaruh kamu akan punya anak dariku. Aku tahu bahwa kamu juga suka dengan sentuhan dariku. Jangan memungkiri itu semua Kalila. Jujur saja, aku pasti akan tahu hal itu." ucap Ananta padaku.
"Sudah cukup Ananta. Selama ini aku diam saja jika kamu berbicara sesuatu padaku, tapi kali ini aku sangat muak dengan ulah kamu Ananta. Malam itu tidak akan pernah terjadi lagi di antara kita, sampai kapan pun aku tidak sudi punya suami seperti kamu, dan aku tidak sudi punya anak dari kamu. Sangat nakjis!" hardikku dengan kasar pada Ananta.
"Terserah kamu mau berkata apa tentang aku Kalila. Mau kamu manangis darah sekalipun aku tidak peduli. Yang jelas setiap aku menginginkan hak ku sebagai suami sah kamu. Maka kamu harus melayani aku. Tidak ada penolakan apapun. Jika kamu sampai menolak keinginan aku itu maka lihat saja nanti, akan aku sampaikan pada Papa dan juga Mama kamu. Bahwa sebenarnya pernikahan kita hanya sandiwara saja." ancam Ananta padaku.
"KURANG AJAR!!!" teriakku pada Ananta. Sambil menangis.
Aku tak sanggup lagi menjalani pernikahan sandiwara ini dengan Ananta. Ia seperti ingin menghancurkan mental dan juga hidupku. Apa yang aku sudah lakukan pada diriku sendiri sungguh salah. Memilih membahagiakan Papa dan juga Mamaku tapi akhirnya aku terjebak di sebuah permainanku sendiri.
Rasanya sangat menjijikan sekali jika aku harus ingat bagaimana Ananta menyentuh tubuhku, memainkan lidahnya di setiap senti kulitku. Merasakan desahannya dan juga aroma tubuhnya yang masih terbayang-bayang di pikiranku. Rasanya aku tak sanggup jika Ananta terus menerus menjadikan aku budak seksnya.
Meskipun aku adalah istri sahnya Ananta. Tetap saja bagiku Ananta bukanlah suami tetapi lelaki bajingan yang aku telah nikahi. Menikah dengannya membuatku semakin menderita, bukannya bahagia justru yang aku dapatkan adalah perderitaan. Histeris karena hatiku benar-benar hancur. Dihancurkan dari dalam hingga rasanya aku sangat frustasi.
Ananta pergi meninggalkan diriku pagi ini ia seperti biasa berangkat bekerja ke toko bukunya sebagai manager toko. Dan aku di tinggalkan seorang diri tanpa siapapun. Tanpa sedikitpun rasa kasihan padaku telah menyentuh semalam, justru Ananta pergi begitu saja. berangkat kerja tanpa mengucapkan sepatah katapun yang meminta maaf padaku.
Hatiku semakin hancur, sangat hancur rasanya. Ananta sungguh-sungguh kelewatan kali ini. Ia benar-benar berubah drastis. Aku seperti tak mengenalnya saja. semakin bertambah hari hingga kini sudah hari ketiga pernikahan aku dengan Ananta, rasanya waktu sangat lama aku jalanani dengannya. Begitu berat beban hidupku semenjak pernikahan itu terjadi.
"Non Kalila jangan menangis seperti itu. Bibik sedih lihatnya Non!" Ucap Bik Inah padaku.
Aku masih saja diam seribu bahasa. Karena jujur saja hatiku sangat sedih sekali. Memikirkan tentang Ananta. Aku sangat hancur sekali. Hidupku benar-benar di ambang kehancuran.
"Non, ayo bibik bantu kembali ke kamarnya. Jangan bersedih lagi. Non Kalila harus kuat. Anggap saja ini cobaan dari Tuhan. Non Kalila harus semangat seperti dulu," ucap Ananta.
"Bik, aku ini benar-benar bodoh sekali sama cara berpikirku. Tak seharusnya aku memilih menikah dengan orang bajingan seperti Ananta. Ia hanya ingin uangku saja dan hanya ingin tubuhku saja. Aku menyewanya sebagai pacar sandiwara dan kemudian menikahi dirinya untuk sebelas hari saja. Tapi lihat hidupku ini Bik. Sangat menyedihkan sekali." ucapku.
"Ananta sudah jadi suami Non Kalila. Bibik harap Non Kalila jangan mudah menyerah. Semangat Non, berdoa sama Tuhan. Semoga hidup Non Kalila akan berubah lebih baik lagi." Ucapnya.
"Bik, aku itu merasa sangat hina sekali. Aku perlu ketenangan tapi justru aku terjebak oleh pernikahan pura-pura ini. Aku sangat menyesal sekali pernah menikah dengan Ananta. Aku ingin mengubah segalanya Bik. Hidupku sudah sangat hancur sekarang." Tutur Kalila pada pembantunya.
"Bik Inah harap Non Kalila bertahan dulu sampai semuanya tenang. Kalau Non Kalila merasa pernikahan ini tidak bahagia, lebih baik Non Kalila bepisah saja. Dari pada menikah tapi tidak tenang sama sekali." tutur Bik Inah padaku.
"Bik, aku sangat hancur sekali rasanya. Jenuh hidupku ini. Aku pikir dengan memilih Ananta jadi suami aku. Akan membuatku bahagia dugaanku salah. Aku terjerumus kepermainan ku sendiri. Aku yang membayarnya dengan uangku tapi justru dirinya yang menguasai aku. Bahkan beraninya mengancam aku Bik." Jelasku pada Bik Inah sambil menangis.
"Non, menurut Bibi. Lelbih baik jangan lemah di depan Tuan Ananta. Bik Inah yakin Non Kalila itu kuat orangnya. Jangan biarkan di tindas oleh orang lain. Ayo Non Kalila kembali dulu ke kamar. Renungkan baik-baik segala masalah yang terjadi pasti ada jalan keluarnya. Jangan menangis terus. Karena tidak ada gunanya jika menangis." Ujar Bik Inah padaku.
"Baik Bik. Kalila akan renungkan segalanya. Aku akan bertindak tegas pada Ananta agar ia tak bisa seenaknya padaku." Jawabku pada Bik Inah dan kemudian pergi ke dalam kamar untuk merenung.
Merasa tak suka dengan cara Ananta memperlakukan aku. Rasanya muak sekali. aku sungguh benci dengan Ananta. Melihatnya rasanya tidak sanggup lagi. Masih saja bayang-bayang aroma tubuh Ananta terbesit di benakku. Aroma itu tak sanggup aku lupakan. Masih tampak jelas bagaimana ia menyentuh tubuhku.
Rasanya dilema, satu sisi sebagai wanita dewasa aku suka dengan sentuhan itu namun di sisi lain aku sangat tidak suka di sentuh oleh Ananta karena jujur saja, aku benci dengan sikapnya yang arogan dan mulai mengancamku.