Sentuhan Liar
Aku yang sebagai wanita dewasa tak munafik jika tubuhku butuh sentuhan dari seseorang. Seharian menunggu Ananta pulang kerja dengan raut wajah kesalku yang sebenarnya benci sekali dengan Ananta karena ia sudah menyuruhku membuatkannya sarapan dan malah mengatakan makananku tidak lezat.
Tapi mau tidak mau, inilah pernikahan. Yang memang, terkadang tak menyenangkan sekali. Aku ingin menikah karena Papa dan juga Mamaku yang meminta. Tapi karena Papa dan juga Mamaku tidak pernah tahu bahwa sebenarnya aku itu tidak suka pernikahan. Aku tidak percaya yang namanya pernikahan, karena manusia itu seperti munafik sekali dan mungkin tidak akan pernah sungguh-sungguh mencintaiku. Apalagi kini aku terjebak dengan pernikahan palsuku dengan Ananta.
"Buka pintunya!" suara itu sedikit keras untuk aku dengar. Sambil mengetuk pintu rumah dengan sedikit arogan.
Rasanya aku sedikit takut karena ini sudah mau malam. Dan siapa yang datang dengan mengetuk pintu berbicara kasar padaku. Aku menerka-nerka seorang diri. Dan ternyata suara itu semakin jelas aku dengar.
"Kalila, ini aku Ananta! Buka pintu rumahnya. Kenapa lama sekali sih? Aku capek pulang kerja mau istirahat." Pekik suara Ananta dari balik pintu rumahku.
"Iya tunggu!" sahutku sambil berjalan menuju pintu rumah.
Tiba-tiba, pembantuku yang bernama Bik Inah datang.
"Non, biarkan bibik saja yang bukakan pintunya. Non kembali saja ke kamar. Istirahat saja." pungkasnya dengan sopan.
"Nggak apa-apa bik! Lagi pula yang ada di balik pintu itu adalah suami aku. Jadi mau tidak mau biarkan saja aku yang membukakan pintunya. Daripada nanti Ananta marah-marah sama bibik. Kasihankan!" ucapku.
"Tidak apa-apa jika Tuan Ananta marah sama bibik. Daripada Non Kalila yang di marahin. Bibik lebih sedih dengarnya." Tuturnya dengan lembut. Tampak ada ketulusan yang terpancar di wajah Bik Inah padaku. Mungkin karena aku sudah mempekerjakannya terlalu lama di rumahku sehingga menganggap aku seperti anaknya sendiri.
Akhirnya aku menurut saja dan kembali ke kamarku ruangan di lantai bawah. Iya, pintu rumahku di bukakan oleh Bik Inah. Dan seperti biasanya Ananta akan berulah lagi. Menunjukkan sikapnya yang sebenarnya.
"Bik, kenapa bibik sih yang bukakan aku pintu. Mana Kalila. Dia itu istriku. Sudah seharusnya yang bukakan aku pintu itu Kalila sebagai istriku yang sah. Ini malah yang bukakan orang lain. Mana pembantu lagi yang bukakan aku pintu yang jelas-jelas tidak sebanding dengan derajatku." Pungkas Ananta yang sangat sombong sikapnya.
Merasa sudah menjadi suami dari orang kaya raya sikap Ananta sangat berubah drastis. Kelakuannya semakin membuatku sangat jengkel dan sebal. Tak habis pikir dengan ulahnya. Menyebalkan.
"Maaf, Tuan Ananta tapi Non Kalila sedang istirahat di kamarnya. Kasihan jika Non Kalila di suruh turun untuk membukakan pintu rumah. Jadi biarkan bibik saja yang bukakan." Tutur Bik Inah.
"Ah, sudah! Memang pembantu tak ada otaknya. Percuma saya ngomong sama Bik Inah nggak akan ada gunanya." Ujar Ananta yang kemudian pergi meninggalkan Bik Inah.
Aku yang masih mandi saat menjelang malam terbiasa membasuh tubuhku dengan air hangat. Dan tiba-tiba pintu kamarku di dobrak dengan keras oleh seseorang seperti sedang mengamuk saja. Aku pun ketakutan di buatnya. Alih-alih berlama-lama di dalam kamar mandi. Aku langsung menuju luar kamar mandi dan tak lupa mengenakan handuk di tubuhku.
"Kamu ngapain sih Ananta!" pekikku dengan marah.
"Aku pulang kerja bukannya di sambut sama istriku tapi malah di bukakan pintu sama pembantu. Kamu ngapain aja tugasnya di rumah?" tanya Ananta dengan raut wajahnya yang memerah.
Aku sedikit takut dan juga gemetar. Keringat mulai berkucuran di dahiku membayangkan Ananta semarah ini padaku, sampai-sampai mendobrak pintuku segala. Rasanya sikap arogan dan kurang ajar Ananta padaku semakin menjadi-jadi liarnya, sudah tidak bisa aku tolerin lagi rupanya.
"Ananta, aku masih mandi. Jadi lebih baik kamu pergi ke kamar kamu saja sana. Jangan mengumpat di sini. Lagi pula apa kamu lupa siapa kamu dan aku? Kita menikah hanya sebatas kertas. Dan di antara kita tak ada cinta sama sekali. jadi apa hak kamu berbicara masalah kewajiban aku dengan kamu." Sahutku pada Ananta.
Ananta hanya diam memandang ke arahku. Seakan sedang memikirkan sesuatu yang entah itu apa? Aku jadi sedikit takut di buatnya. Tapi Ananta tetap saja memandangku dengan liar. Tatapan yang penuh hasrat, gairah yang belum pernah aku lihat di mata Ananta. Atau jangan-jangan itu karena aku hanya pakai handuk saja di depannya. Membuat kejantanan Ananta mulai bangun dari tidurnya.
Ananta mulai berdiri menutup pintu kamarku dan menguncinya. Seketika ketakutanku semakin menjadi-jadi. Ananta mendekat ke arahku. Menyudutkan tubuhku di dinding. Menjamah setiap senti wajahku dan juga leher. Aku berusaha menepisnya mendorong tubuh Ananta agar menjauh dariku.
Namun kekuatan aku kalah kuat dari Ananta. Aku terjebak lagi dan Ananta menguasai diriku, aku tak mampu berpaling darinya. Ia menjelajahi setiap senti tubuhku dan aku sangat kecewa dengan diriku sendiri yang mengapa bisa menyerah dan membiarkan diriku di lucuti seperti ini oleh Ananta. Meski pun ia adalah suami sahku, tetap saja aku tidak mencintainya dari hatiku. Jadi rasanya tak sudi jika di sentuh oleh Ananta.
Malam kedua setelah pernikahan ini membuatku sangat kecewa karena menyerahkan tubuhku pada lelaki seperti Ananta yang licik. Tak ku sangka malam ini aku bercinta dengan Ananta. Menikmati setiap permainan kami di ranjang kamarku. Sesekali, aku tanpa sadar memainkan lidahku di bibirnya Ananta atau aku mengerang kenikmatan. Rasanya ingin menghentikan malam ini, tapi aku tak mampu membohongi hasratku sebagai manusia biasa yang membutuhkan sentuhan liar dari seorang lelaki yang kini memberikan aku nafkah batin secara nyata di dalam kamarku yang nikmat. Aku mendesah, dan sesekali memejamkan mata.
"Aku tidak ingin, melakukan ini lagi Ananta" ucapku sambil menahan nikmat di bawah tindihan tubuh Ananta yang kuat.
"Tapi aku masih ingin melakukan kewajiban ku sebagai seorang suami pada kamu Kalila. Jadi aku harap jangan membantahku. Nikamti saja malam ini. Malam pertama yang terlewat karena perjanjian kita. Tapi aku tidak akan mengingat perjanjian kita untuk malam ini. Karena aku ingin menikmati tubuhmu." Tutur Ananta padaku. Sambil terus saja memainkan pinggangnya di atas pinggangku.
Aku sesekali menitikan air mata, karena sedih dengan diriku sendiri yang tak mampu mengatakan tidak pada Ananta. Namun aku sendiri malah pasrah dan menimatinya, sentuhan itu begitu nikmat dan aku merasa nyaman di dekapan Ananta. Seperti wanita dewasa pada umumnya aku pun ingin di sentuh seperti ini setiap saat oleh lelaki yang aku cintai.
Tapi malah yang terjadi padaku, aku di sentuh oleh lelaki yang statusnya adalah suamiku tapi hatiku tak seutuhnya mencintainya. Aku sangat merintih kecewa pada diriku sendiri. Membuatku muak dengan ketulusan cinta yang aku punya. Rasanya aku di permainkan oleh rencanaku sendiri.
Bermaksud hanya ingin menikah settingan tapi justru aku sungguh-sungguh di sentuh oleh Ananta dengan sangat liarnya. Kecupan demi kecupan dari bibir kami dan sesekali aku mengerang kenikmatan. Namun jujur hatiku merasa "Tak seharusnya aku melakukan ini." Ucapku dalam hati sambil pasrah.
"AHHHH!!!!!!" erang Ananta, sambil menikmati tubuhku.