Chereads / PERNIKAHAN 11 HARI / Chapter 5 - Kebingungan Kalila

Chapter 5 - Kebingungan Kalila

Kebingungan Kalila

8 Mei 2021

"Kalila, sekarang ini sudah pagi. Apa pacar kamu nggak di hubungi untuk sarapan di rumah kamu saja. Apalagi kamu habis mengalami kecelakaan, ayo dong di hubungi pacar kamu itu untuk ketemu kami berdua sebagai orang tua kamu Kalila. Mama sudah sangat penasaran sekali. Nggak sabar baget untuk ketemu calon mantu. Rasanya ini adalah kabar paling menyenangkan yang pernah Mama dengar. Hampir 35 tahun lamanya kami sebagai orang tua tidak pernah dengar kabar kalau kamu punya pacar." Ucap Mamaku sambil mengoleskan selai nanas di roti untuk sarapan kami bertiga.

"Ma, baru saja anak kita mengalami kecelakaan. Nanti saja di suruh hubungi pacarnya itu. Sudah kita sarapan saja sekarang. Masalah yang lainnya nanti saja kita bahas." Celoteh Papaku seakan sedang membela diriku saja.

"Hmm, bisa tidak kalau sarapannya jangan ngobrol terus yang bikin Kalila emosi. Aku heran sama Papa dan Mama, Cuma aku aja mungkin yang punya orang tua super kepo seperti kalian berdua. Malas banget di suruh cepat nikah. Orang pacar Kalila aja masih sibuk bagaimana mau buru-buru nikahnya. Sabar Pa sama Mama juga." Aku sedikit mengomel pada kedua orang tuaku itu.

"Kalila, kamu tahukan kami berdua ini sangat sabar sama kamu. Nggak pernah maksa kamu untuk cepat nikah. Tapi karena usia kamu sudah sangat dewasa itu sebabnya Mama dan Papa sangat was-was. Kalau sampai kamu nggak nikah-nikah. Apa kata teman-teman Mama coba, masa anak Jeng Rosa cantik tapi nggak laku sih! Sakit hati Mama dengar mereka ngomong seperti itu." jelas Mamaku sambil mengaduk-aduk selai nanas dengan garpu.

"Ma, kalau teman-teman Mama yang suka bergosip itu bicara seperti itu ya, biarkan saja! nggak perlu Mama ladeni. Sudah ah! Aku jadi bingung harus jelaskan apa lagi sama Papa dan juga Mama. Masalah percintaan Kalila biarkan aku yang mengurus sendiri. Mama dan Papa nggak perlu khawatir masalah itu. Kalau ada yang bergosip biarkan saja. Tidak perlu diambil hati." Sahut Kalila sambil memakan rotinya.

"Sudah, jangan berdebat lagi. Papa percayakan semuanya sama kamu Kalila sayang. Yang penting sekarang anak Papa sudah punya calon suami sendiri. Ajdi Papa nggak bingung lagi harus carikan kamu jodoh yang tepat untu kamu. Mama juga jangan di paksa Kalila untuk cepat-cepat bawa pacarnya ke rumah. Berikan Kalila waktu untuk berpikir sebentar saja." ucap Papaku sambil menyantap sarapan rotinya.

Aku termenung sambil berpikir tentang ucapan kedua orang tuaku yang menginginkan aku membawa pacarku ke rumah. Tapi dalam hatiku aku sangat bingung, bagaimana tidak bingung. Jika yang sebenarnya aku tak punya pacaran sungguhan melainkan yang ada itu pacar sewaan. Rasanya aku semakin bingung harus memulai sandiwara ini dengan cara apa atau bagaimana? Batinkan bertanya-tanya seorang diri sambil aku terus saja mengunyah setiap potongan roti yang masuk ke dalam mulutku. Pikiranku mulai kacau.

"Pa, aku mau ke kamar dulu. Rasanya perut aku sudah kenyang. Jadi nggak pingin lama-lama di sini." Celotehku sambil menuju ke arah kamar dengan kaki yang masih sedikit sakit.

"Biar Papa bantu kamu Kalila. Sini Papa yang gendong." Ucap Papaku.

"Tidak, Kalila bisa sendiri kok Pa. Lagi pula usia Kalila sudah 35 tahun. Bukan lagi anak kecil yang perlu di gendong. Jadi nggak perlu. Kalila bisa jalan naik tangga sendiri tanpa bantuan siapapun. Terima kasih sudah perhatian sama aku." Sambungku dengan nada suara yang kecewa.

Aku segera menuju arah kamarku yang berada di lantai dua. Meski masih sakit rasanya. Aku tak ingin membuat diriku selalu saja di pojokkan tentang masalah yang sama yaitu bawa pacar kamu segera ke rumah. Kenalkan pada kamu berdua. Rasanya aku ingin mati saja kalau begini terus. Pikiran mulai kacau. Mana sakit di kakiku karena kecelakaan belum sembuh total. Bukannya simpati sama kondisi anaknya ini malah maksa buat aku cepat bawa calon suami ke rumah.

Saat satu persatu kaki ini aku langkahkan menuju ke atas anak tangga. Rasanya sangat sakit dan juga nyilu. Tapi aku harus menahan semuanya ini, jika tidak harga diriku bisa jatuh di mata Papa dan juga Mamaku. Mereka masih tampak melihat diriku yang berjalan menuju ke arah kamarku dengan tertatih-tatih.

"Kalila, kamu masih marah sama Mama?" tanya Mamaku sambil menuju ke arahku.

"Sudahlah Ma, nggak perlu bantu aku. Kalila bisa sendiri. Lagi pula usia Kalila sudah 35 tahun. Bukannya kata Papa dan Mama kalau aku ini sudah sangat cukup usia buat nikah. Bukan ABG lagi. Jadi Kalila rasa aku bisa sendiri tanpa bantuan Papa atau Mama." Celetukku dengan nada suara yang kesal.

"Jangan marah seperti itu Kalila sayangnya Mama. Kamu tahukan kalau kami berdua ini sangat sayang sama kamu. Kami berdua tidak pernah berniat untuk menyakiti hati kamu. Semua yang Mama lakukan untuk kebaikan kamu Kalila. Tidak ada niat untuk memaksa sebenarnya, tapi karena kamu itu sangat cuek makanya kami berdua tanya terus kapan mau nikahnya?" jelas Mamaku yang membantu aku untuk berjalan menuju kamar menaiki anak tangga.

"Aduh Ma, Kalila stress tahu. Kalau terus menerus di tanya kapan nikah? Sudah Kalila kasih tahukan kalau pacar Kalila itu sibuk. Sangat sibuk sama bisnisnya makanya nggak bisa aku ajak ketemu sama Mama dan Papa dalam waktu dekat ini. Nanti kalau sudah Kalila sehat pasti aku akan bawa pacarku itu ke rumah. Janji." Pungkasku pada Mama.

"Baiklah, Mama percaya sama kamu Kalila. Kalau kamu akan bawa pacarmu itu ke rumah. Jadi marahnya sudah selesai ya. Jangan cemberut terus. Nanti cantiknya hilang. Terus tambah tua." Ledek Mamaku sambil memapah diriku untuk menuju kamar.

Tak lama kemudian aku sampai juga di dalam kamar. Karena rasa kesal yang teramat dalam, membuat aku ingin katakan pada Mamaku untuk segera pergi dari dalam kamar ini.

"Ma, Kalila sudah di dalam kamar dan sekarang waktunya untuk Kalila minum obat. Jadi tolong Mama tutup pintunya sebentar. Kalila mau istirahat. Jangan di ganggu untuk beberapa jam kedepan." Pungkas Kalila pada Mamanya.

"Iya sudahlah, kalau Kalila memang nggak mau Mama di sini menemani tidak apa-apa. Mama maklum itu. Jangan lupa minum obatnya." Celoteh Mamaku yang segera menuju keluar kamarku.

"Jangan lupa di tutup yang rapat pintu kamarku itu Ma. Jangan sampai terbuka lagi." Teriakku pada Mama sambil memasang wajah yang kesal sekali.

Kini suasana hatiku benar-benar bingung harus apa. Mana Ananta Cuma kasih aku alamat toko tempat ia bekerja. Bukannya kasih aku nomor ponsel supaya gampang di hubungi ini malah kasih aku alamat tempat ia kerja. Jadi tambah susahkan buat menghubunginya.

Kalila berbaring di atas ranjang kamarnya berpikir tentang rencana untuk menjadikan Ananta sebagai pacar sewaanya. Tapi akankah rencana ini berhasil atau justru bakal ketahuan sama Papa dan juga Mamaku. Merekakan sangat kepo tentang hidupku selama ini.

"Aduh, jadi bingung harus apa?" gumam Kalila dalam hatinya.