Chereads / SALAH PILIH SUAMI / Chapter 5 - BERTEMU WANITA MASA LALU

Chapter 5 - BERTEMU WANITA MASA LALU

BRAK!!!

Misri terlonjak kaget saat mobilnya menubruk mobil orang lain.

"Duh!"

Misri buru-buru turun dari kendaraannya. Peristiwa itu membuat jalanan sedikit terganggu. Begitupun dengan orang yang mobilnya ditabrak dari belakang. Gegas ia turun guna mengecek benda beroda empat tersebut.

"Maaf, saya ga senga- Eh!"

Kalimat Misri terhenti saat melihat sosok mana yang kini berdiri di hadapan. Seorang pria berkulit bersih dan dagu yang ditumbuhi janggut. Misri mengerjapkan matanya berulang kali.

"Dodi?" Misri terperangah.

"Kamu Misri, kan?"

Pria bernama Dodi itu sama terkejutnya. Ia batal melihat kondisi mobilnya yang tertabrak tadi.

THIIN THIIN!!!

Sahut-sahutan klakson kendaraan lain menyadarkan keduanya. Dodi memanjangkan leher dan melihat antrean di belakang sana.

"Ah, iya. Ayo, kita ke café itu dulu!" Dodi menunjuk bangunan di sisi kanannya.

Misri senantiasa terpaku. Ia pun menuruti perkataan Dodi dan memakirkan mobilnya di halaman café. Setelah itu keduanya duduk di meja yang sama.

"Misri, kamu apa kabar?" tanya Dodi antusias.

"Seperti yang kamu lihat," balas Misri gugup.

"Aku gak nyangka kita ketemu lagi,"

Dodi membenakan posisi duduknya. Ia membuang napas kasar, kemudian mengusap dahinya sendiri. Dodi grogi bukan main.

"Kamu sudah menikah?" tanya Dodi sekali lagi.

"Sudah,"

Dodi tersenyum getir. Misri merupakan teman SMA-nya dahulu. Kala itu Dodi benar-benar mencintai Misri meskipun keduanya tidak pernah memiliki hubungan khusus.

"Kamu dari mana?" Misri balik bertanya.

"Aku baru pulang dari memantau kebun. Kamu sendiri?"

"Aku juga baru pulang ngajar,"

"Oh, kamu ngajar sekarang. Di mana?"

"Di SMA kita dulu,"

Dodi tersenyum mendengar penuturan teman lamanya. Tak ayal jika Misri akan kembali ke sana karena dia merupakan siswa tercerdas pada masanya.

Misri menatap paras Dodi lekat-lekat. Pendidikan membuat ia harus berpisah dengan sosok yang kerap membantunya dahulu. Misri tahu bahwa Dodi begitu mencintainya, tapi ia enggan peduli. Kala itu Misri tidak mau memikirkan perkara hati.

"Aku senang banget bisa ketemu kamu lagi. Kamu tinggal di mana sekarang?" Dodi belum puas menyatakan kebahagiannya.

"Gak jauh dari sini. Aku tinggal di jalan Mangga,"

"Sama anak dan suami kamu?"

Misri mematung selama beberapa saat. Ia bersandar di tubuh kursi, menarik udara dalam dan membuangnya kasar.

"Cuma berdua sama suami, karena kami tidak dikaruniai anak,"

"Maaf,"

Dodi merasa iba dengan keadaan Misri. Siapa sangka jika pernikahannya tidak memeroleh keturuan.

Belum puas mengobrol, tiba-tiba saja gawai Misri berbunyi. Ia menjawab telepon yang ternyata berasal dari Morko, suaminya.

"Dodi. Aku pulang duluan, ya." Misri mengenakan tas di bahunya.

"Eh, tunggu! Boleh aku minta kontak kamu?" Dodi melayangkan kelima jarinya.

Misri pun mengangguk seraya membacakan beberapa digit angka. Akibat pertemuan itu, Dodi sampai lupa jika bagian belakang mobilnya ditabrak oleh Misri.

"Misri-Misri. Kecantikanmu tidak berubah," geming Dodi dalam hati.

Perasaan itu memang sudah hilang, tapi bukan berarti Dodi dapat melupakan segala kenangannya bersama Misri.

Sesampainya di rumah, Dodi langsung dicegat oleh istrinya di ambang pintu.

"Mas, Anggi mau pergi ke Bali sama suaminya,"

Degh!

Dodi mematung sejenak sebelum akhirnya ia tertawa lepas.

"Hahahaha. Ngigau kamu!"

Dodi kembali melangkahkan kaki menuju ruang tengah. Ia melepas seluruh kancing kemejanya.

"Anggi yang ngabarin lewat telepon, Mas," titah Dida.

"Mana mungkin si Jaka itu punya uang,"

"Aku juga udah bilang gitu, tapi Anggi tetap ngotot Mas. Katanya Jaka punya tabungan." Dida mencibir. Ia ikut membantu melepas pakaian suaminya.

"Aku capek sama anak kamu itu. Biarkan sajalah dia mau apa. Fyuh." Dodi mengenduskan udara.

Bukannya Dodi tidak peduli dengan Anggi. Pikirannya masih kalut, karena baru saja bertemu dengan Misri. Sosok yang begitu dicintai sebelum ia bertemu dengan Dida.

***

"Aaargh…"

Anggi merasakan perih yang teramat sangat di area bawahnya. Pasalnya, ia baru saja menerjang badai etalase bersama sang suami tadi malam. Anggi bahagia karena pada akhirnya Jakalah yang berhasil merenggut mahkota kesuciannya.

Anggi berjalan perlahan menuju kediaman Misri. Jarak yang tidak terlalu jauh membuat ia tidak perlu repot-repot naik angkutan umum.

"Pagi, Bu," sapa Anggi tatkala melihat Misri di teras rumah.

Wanita setengah abad itu tersenyum. Perhatiannya tertuju pada cara berjalan Anggi yang berbeda dari hari kemarin. Misri paham apa yang baru dilakukan oleh Anggi.

"Misri. Minta uang!"

Seketika suara berat menginterupsi dari belakang sana. Tak lama setelah itu, Morko muncul dengan wajah khas orang bangun tidur.

"Ambil aja di dalam lemari, Mas," jawab Misri.

Morko tak banyak berbicara, karena dia langsung menuju lokasi yang dimaksud. Tak sengaja Misri menangkap ekspresi kecut Anggi.

"Kamu sudah ketemu sama suami Ibu kemarin?" tanyanya.

Anggi mengangguk. "Sudah, Bu. Pak Morko, kan?"

"Iya. Jangan heran, ya. Suami Ibu memang begitu wataknya,"

Anggi merasa ada sesuatu yang selama ini disimpan oleh Misri. Manik matanya direngkuh oleh cairan putih.

"Suami Ibu menjadi pengangguran sejak setahun yang lalu. Selama ini kami hidup dari gaji PNS ibu." Tanpa diminta, Misri malah menceritakan perihal rumah tangganya.

Misri pun menyuruh agar Anggi duduk di sebelahnya. Sebelum berangkat kerja, Misri ingin membagikan kisah singkatnya pada sang asisten rumah tangga. Ia dapat merasakan bahwa Anggi merupakan perempuan berjiwa lembut dan pengertian.

"Kenapa menganggur, Bu?" Anggi mulai tertarik dengan cerita bosnya.

"Morko dipecat dari perusahaan karena menggelapkan uang. Sejak saat itu dia tidak mau lagi bekerja dan selalu minta apa-apa sama Ibu,"

Anggi kaget mendengarnya. Dia baru tahu jika Morko memiliki sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap istri sendiri.

"Morko juga sosok lelaki yang terkadang bersikap kasar," tambah Misri.

Anggi tak dapat berkata banyak, karena ia merasa tidak pantas mencampuri urusan orang lain. Anggi hanya menjadi pendengar yang baik untuk Misri, hingga perempuan itu memutuskan untuk pergi ke gedung sekolah.

Anggi melakukan pekerjaannya dengan baik. Mulai dari mencuci pakaian, memasak hingga membersihkan rumah. Letih bukan main, tapi Anggi tidak mau manja. Dia harus bertahan demi membantu Jaka.

"Kamu mau pulang?" tanya Morko yang mendadak muncul entah dari mana.

"Iya, Pak," jawab Anggi irit bicara.

"Duduk dulu sebentar,"

Anggi menuruti perkataan Morko dan sekarang mereka sedang duduk di kursi beranda rumah. Anggi menjauhkan jarak. Was-was jika ada orang yang berpikiran macam-macam tentang mereka.

"Rumah kamu di mana?" Morko mulai mewawancarai pembantunya.

"Di gang sebelah, Pak,"

"Oh, sudah menikah?"

"Sudah, Pak,"

Morko mengangguk-angguk seraya mengisap rokoknya.

"Sudah punya anak?"

"Belum, Pak. Saya baru menikah beberapa minggu lalu,"

Morko tertawa kecil. Dari sisi kiri, ia dapat melihat dengan jelas hidung elang Anggi dan bibir ranumnya. Hari-hari Morko akan terisi setelah wanita muda itu hadir di kediaman mereka. Sesuatu yang memancing pikiran buruk Morko berlayar.

"Daging empuk," batin Morko.

***

Bersambung