"Jaka, sini!"
Jaka menghentikan langkahnya saat melihat Bik Nem melambaikan tangan. Ia menghampiri wanita yang tak lain merupakan tetangganya sendiri.
"Kenapa, Bik?" tanya Jaka.
Wanita bersanggul itu menelengkan kepalanya. Bibirnya ia dekatkan pada telinga Jaka.
"Kemarin si Susi tanya-tanya soal kamu," titahnya.
Jaka menekuk alis. "Siapa Susi itu, Bu?" tanyanya bingung. Ia tidak memiliki teman maupun keluarga yang bernama Susi.
"His, kamu ini!" Bik Nem memukul bahu Jaka. "Itu loh. Tetangga barumu," sambungnya seraya menunjuk rumah yang baru saja diisi oleh seorang wanita bertubuh mungil.
Jaka ber oh ria di dalam hati. Ternyata dara yang kemarin tersenyum padanya bernama Susi.
"Tanya soal apa?" Jaka jadi penasaran.
Untungnya Anggi sudah pergi bekerja terlebih dahulu, sehingga membuat Jaka bebas mengobrol tentang perempuan lain dengan Bik Nem. Bukannya Jaka bermaksud untuk merahasiakan sesuatu, melainkan ia hanya melindungi hati Anggi dari prasangka buruk dan rasa cemburu.
"Susi tanya-tanya tentang identitas kamu. Dia juga tahu kamu baru menikah,"
"Oh, ya?"
"He em,"
Bik Nem mengangguk mantap. Sesekali ia melirik rumah yang pernah kosong selama dua bulan tersebut.
"Susi ngontrak di sini. Denger-denger sih dia kerja jadi pelayan café,"
Jaka bertanya dalam benak. Apakah senyum Susi kemarin mengandung makna? Jika memang iya, dapat dipastikan bahwa Susi bukanlah wanita baik-baik karena ia sudah mengetahui kalau Jaka memiliki istri.
Jaka tidak memberitahu pada Bik Nem kalau sebenarnya Susi sudah memberikan ia makan siang kemarin. Bahaya jika wanita itu tahu. Bisa-bisa Bik Nem menceritakan semuanya dan terdengar oleh telinga Anggi.
"Ya, sudah, Bik. Kalau gitu aku pergi duluan, ya," ujar Jaka yang tak ingin memperpanjang obrolan.
Hatinya lega karena sudah mengetahui dari mana Susi mengerti tentang dirinya. Jaka pun melanjutkan perjalanan untuk pergi ke lokasi kerja.
Jaka menjadi kuli bangunan yang tak jauh dari rumahnya. Sama seperti Anggi, Jaka pun hanya menempuh perjalanan menggunakan kaki alias tidak perlu naik angkutan umum.
Sesampainya di lokasi kerja, Jaka langsung dihampiri oleh mandornya.
"Jaka, ada yang mau saya sampaikan," titah pria berkulit gelap itu.
"Ada apa, Pak Mandor?"
Orang yang kerap disapa dengan Pak Mandor itu mengeluarkan sebuah amplop kuning. Ia menyerahkannya pada Jaka.
"Ini upah kamu selama bekerja di sini. Mulai sekarang kamu saya pecat,"
"APA?"
Jaka merasa seluruh organnya berhenti bekerja. Tubuhnya menegang mendengar penuturan tidak enak tersebut. Jaka tidak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa dia bisa dipecat dari pekerjaan.
"Kenapa, Pak?" tanya Jaka tidak terima.
"Tenaga kerja di sini sudah terlalu penuh dan harus ada karyawan yang dikeluarkan,"
"Kenapa mendadak? Bapak gak pernah memberikan informasi." Jaka masih tidak terima dengan alasan mandornya.
"Sudahlah, Jaka. Kamu jangan banyak bicara. Ambil aja upahmu dan pergi dari sini!"
Pria itu setengah berlari meninggalkan Jaka. Sementara itu, beberapa pekerja yang melihat langsung menghampiri Jaka.
"Pak Mandor masukin keponakannya di sini, makanya kamu dipecat," ujar seorang teman Jaka.
"Apa hanya aku sendiri?"
"Tadi ada satu karyawan juga yang dipecat. Kebetulan keponakan Pak Mandor ada dua di sini,"
Jaka menggerutu dalam hati. Sejak awal dia memang tidak percaya dengan alasan mandornya tersebut. Jaka pusing tujuh keliling. Bingung harus berkata apa pada istri serta ibunya.
"Aku harus kerja di mana lagi?" geming Jaka. Dunianya seakan hancur.
Jaka pulang dengan perasaan kecewa yang teramat sangat. Laki-laki itu sampai tidak fokus memerhatikan jalanan. Hingga tanpa sadar, sebuah sepeda motor yang ditumpangi oleh dua orang asing melaju tepat di sisinya. Pria itu merampas amplop yang dipegang oleh Jaka.
Tentu saja Jaka terlonjak kaget dan langsung berteriak. Dia berlari untuk mengejar rampok tersebut.
"Berhenti! Copet!"
Jantung Jaka berdebar tak karuan. Sialnya keadaan sedang sepi sehingga tak ada satu orang pun yang mengetahui kejadian ini. Percuma jika Jaka melaungkan suara bahkan sampai urat lehernya menjegul, karena kedua jambret itu bergerak jauh lebih cepat. Akhirnya Jaka terduduk di jalanan.
"Aaaaargh!" Jaka mengepalkan kedua tangan menuju udara.
Pagi ini dia benar-benar ditimpa oleh kesialan. Tak hanya satu, Jaka mengalami masalah yang bertubi-tubi. Dia kehilangan pekerjaan dan uang sekaligus. Sebuah peristiwa yang mengundang kecemasan di hatinya.
Jaka pun beranjak ke rumah dibaluti kekesalan dan amarah. Dia tidak berani masuk rumah untuk bertemu Jamilah. Jaka menanti kepulangan istrinya di beranda.
***
"Loh, Mas. Kenapa tidur di sini?"
Baru saja Anggi sampai di rumah, tapi dia sudah dikagetkan oleh kemunculan Jaka. Tidak biasanya pria itu pulang cepat dan tertidur di kursi depan.
Anggi mengguncang tubuh suaminya. Berharap pria itu akan terbangun. Benar saja. Tak lama setelah itu, Jaka membuka kedua matanya.
"Sayang, sudah pulang?" tanya Jaka, kemudian mengusap kawasan bibir.
"Mas, kenapa di sini?"
Mau tak mau Jaka harus menceritakan semuanya pada Anggi. Jika setelah ini istrinya itu akan mundur, maka Jaka sudah ikhlas. Jaka sadar bahwa dia bukanlah suami yang baik.
"Duduk dulu, sini!" Jaka menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya.
"Ada yang mau Mas bilang sama kamu,"
"Iya, Mas. Apa itu?" Anggi menyilangkan kedua kaki dan menghadap ke arah suaminya.
"Mas dipecat dari kerjaan,"
Degh!
Jantung Anggi terpompa kencang mendengarnya.
"Kenapa bisa, Mas?"
"Mandor di sana masukin dua ponakannya, Sayang. Jadi Mas sama temen satu lagi yang jadi korban,"
Netra Anggi membulat kunci. Ia menggelengkan kepala tanda tak setuju. Siapapun orangnya, bagi Anggi sosok itu sangat tidak prosefional. Ia rela memutus rezeki seseorang demi kerabat dekat.
"Gak bisa begitu, Mas! Selagi Mas gak berbuat kesalahan, ya gak boleh dipecat,"
"Itu kan kata kita, Sayang. Mas gak bisa memaksakan diri,"
"Upah kerjanya gimana?" Anggi melontarkan sebuah pertanyaan maut.
"Itu yang jadi masalah. Mas sudah menerima upah, tapi di perjalanan Mas dirampok,"
"Hah, rampok? Mas diapain sama mereka? Ada yang luka?"
Anggi spontan berdiri dan mengecek setiap detail tubuh suaminya. Kata rampok begitu menyeramkan di telinga wanita itu.
"Mas gak kenapa-napa, tapi uang kita sudah lenyap," balas Jaka kemudian membimbing istrinya untuk kembali duduk.
Tiba-tiba saja kantung mata Anggi mengembun. Ia meratapi nasib mereka yang terlampau sial. Anggi memberikan kalimat semangat untuk dirinya sendiri. Jangan sampai pikiran buruk menyerangnya.
"Kamu menyesal nikah sama Mas, ya?" tanya Jaka patah semangat.
Buru-buru Anggi menghapus air matanya dan mencoba tersenyum. Ia menyandarkan kepala di bahu kokoh Jaka.
"Enggak, Mas. Aku cuma khawatir kalau Mas Jaka kenapa-napa di jalanan. Masalah kerjaan, nanti kan bisa dicari lagi," dusta Anggi. Padahal dia sangat takut mati karena kelaparan.
***
Bersambung