Jaka terbangun saat mendengar suara-suara dari buntut rumah. Ia juga terkejut ketika mendapati bahwa Anggi tiada di sisinya. Buru-buru Jaka keluar kamar guna mencari keberadaan wanita tersebut.
"Sayang?" Jaka terhenyak melihat Anggi berkutat di dapur.
Perempuan berkulit putih itu sibuk mengaduk-aduk sup di kuali. Sementara itu, sesekali ia berusaha menghidupkan api di tungku lainnya.
Anggi menoleh ke belakang, lalu tersenyum.
"Kenapa sudah bangun?" tanya Jaka sesaat setelah ia membidik jam yang tercantel di dinding.
Pukul empat subuh dan Anggi sudah beranjak dari pembaringannya. Bahkan ia tidak meminta bantuan pada Jaka untuk memasak.
"Mulai sekarang aku akan bangun pagi terus, Mas," balasnya sambil melanjutkan acara masak-memasak.
Jaka mengeritingkan sepasang alis kemudian duduk di meja makan. Ia mengucek matanya yang belum terlalu jernih memandang. Penuturan Anggi membuat tanda tanya di benak.
"Kenapa?" Jaka heran.
"Aku bekerja, Mas,"
"APA?"
Tiba-tiba saja Jaka bangkit dari duduknya dan berdiri persis di sebelah Anggi. Kedua bola matanya menjegul. Seakan tak terima dengan kalimat istrinya.
"Bekerja di mana dan kenapa?" tanya Jaka penasaran.
Sejenak Anggi menghentikan aktivitasnya guna mengobrol dengan sang suami. Dia memang belum menceritakan keputusannya pada Jaka. Niat hati Anggi akan memberitahu pagi ini, tapi ternyata Jaka sudah bertanya lebih dahulu.
"Aku jadi pembantu di komplek sebelah. Hitung-hitung bantu pemasukan kitalah, Mas," balasnya enteng. Anggi mendongakkan wajah menatap Jaka.
Seketika dada Jaka bergemuruh. Ia merasa ditimpa oleh beban berat. Anggi, istrinya yang berasal dari keluarga kaya mendadak jadi pembantu setelah menikah dengan dirinya. Jaka merasa sangat berdosa. Hatinya perih mengetahui keputusan Anggi.
"Untuk apa, Anggi? Kamu di rumah aja," balasnya frustasi.
"Aku bosan di rumah terus, Mas. Apa salahnya sih kalau aku kerja? Toh, aku juga gak merasa keberatan,"
Anggi terpaksa berbohong demi mendapatkan izin dari Jaka. Sebenarnya perempuan itu tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan hanya untuk mencuci pakaian pun tangannya lecet-lecet. Namun, Anggi tidak ingin manja. Ia tak tega melihat Jaka banting tulang sementara dirinya hanya menikmati hasil.
"Kalau Papa dan Mama kamu tahu gimana? Pasti kamu langsung dibawa pulang, Sayang," cercah Jaka khawatir.
"Mas. Papa dan Mamaku gak tahu di mana kita tinggal. Jadi, mustahil mereka tahu kalau aku juga bekerja. Tenang aja, ya." Anggi mencengkram kedua pundak Jaka. Menaruh keyakinan pada pria itu tentang dirinya.
"Kamu di rumah aja, ya. Biar Mas yang kerja,"
"Gak! Aku bisa marah kalau Mas larang aku,"
Anggi menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia membuang wajah seraya mencebikkan bibir.
Sedangkan itu, Jaka meremas rambutnya sendiri. Ia menyesalkan perekonomiannya sejak dahulu hingga sekarang. Jaka terlampau mencintai Anggi. Tak dapat dibayangkan bagaimana ia diratukan oleh Dodi dan Dida pada waktu itu.
"Jangan khawatir ya, Mas. Aku janji gak bakal kelelahan kok." Anggi kembali berusaha menenangkan suaminya.
Keadaan hening selama beberapa saat. Jaka membiarkan sang istri melanjutkan pekerjaan dan dia hanya menonton dari meja makan. Bukannya Jaka tak berniat untuk membantu, melainkan pikirannya tengah kalut. Jaka tak sampai hati membiarkan istrinya menjadi babu.
Jaka diambang kebingungan. Ia juga tak mau egois dengan mengurung istrinya di rumah. Oleh karena itu, akhirnya Jaka memutuskan untuk menuruti kemauan Anggi dengan sebuah syarat.
"Ya, sudah. Mas izinkan kamu bekerja, tapi kalau kamu gak tahan silahkan keluar. Jangan memaksakan diri," titahnya.
Kedua sudut bibir Anggi melengkung. Ia jadi lega karena bisa membantu perekonomian suaminya. Buru-buru Anggi ke kamar mertuanya dan menceritakan kejadian ini pada perempuan tua tersebut. Tak lupa Anggi memberi wanti-wanti agar Jamilah tetap anteng di rumah. Semua sudah tersedia termasuk makan dan minum.
Anggi beringsut setelah jarum jam membidik angka enam pagi. Meskipun hanya menjabat sebagai seorang pembantu rumah tangga, tapi Anggi tetap harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Anggi tidak boleh membuat Misri kecewa dengan dirinya, karena ia tahu betul mencari pekerjaan tidaklah mudah. Jangan sampai Anggi dipecat oleh bosnya tersebut.
Sesampainya di rumah Misri, Anggi langsung diajak berkeliling rumah perempuan itu. Misri menjelaskan apa-apa saja yang harus dikerjakan oleh Anggi setiap harinya.
"Kamu paham, Anggi?" tanya Misri ramah.
"Paham, Bu,"
"Ya, sudah. Sekarang kamu boleh bekerja. Ibu pergi dulu, ya,"
Anggi mengangguk mantap dan ikut mengantar kepergian Misri. Misri adalah guru di sebuah sekolah menengah pertama.
"Hati-hati di jalan, Bu," tukas Anggi seraya melambaikan tangan.
Tak lama setelah itu, Anggi kembali masuk ke rumah dan menuju arena dapur. Saat ia hendak menggosok piring-piring kotor, mendadak seorang pria menyambanginya. Anggi terkejut bukan kepalang. Terlebih lelaki paruh abad itu hanya menggunakan celana puntung saja.
"Bapak siapa?" Anggi ketakutan.
"Seharusnya saya yang nanya, kamu siapa dan ngapain di rumah saya?"
Kedua bahu Anggi longsor. Nyaris saja ia teriak karena melihat sosok asing. Rupanya pria yang berada di depannya adalah pemilik rumah ini.
"Saya Anggi, Pak. Pembantu baru di sini," terangnya.
"Oh, kamu yang diceritakan istriku kemarin. Panggil saya Pak Morko,"
Anggi mengangguk mafhum. Ia kembali melanjutkan pekerjaan tanpa banyak bicara. Tanpa Anggi sadari, Morko memerhatikannya dari kaki hingga ujung rambut. Morko beranjak setelah puas memandang lekukan tubuh pembantu barunya tersebut.
Anggi mendaratkan bokongnya di kursi beranda rumah. Tepat pada pukul dua belas siang ia menyelesaikan pekerjaan. Ketika Anggi hendak pulang, ponselnya mendadak berdering. Anggi melihat nama Mamanya terpajang di layar.
"Halo, Mama," sapa Anggi.
"Sayang, Mama dan Papa rindu banget nih sama kamu. Kirim alamat rumah kalian sekarang, ya. Biar kami ke sana,"
Glek!
Anggi menelan saliva dengan sulit. Berkunjung ke rumah barunya? Dapat dipastikan Dodi dan Dida akan membawanya pulang.
Anggi membisu di tempat. Perasaannya bimbang bukan main. Sejujurnya Anggi juga merindukan kedua orang tuanya, tapi mustahil ia mengizinkan Dodi dan Dida berkunjung karena tak ingin semuanya terbongkar.
"Anggi, kau dengar?" Dida kembali bersuara setelah tidak mendapat respon.
"E- emmm. Nanti aja ya, Ma. Untuk sekarang belum bisa," ujarnya gugup.
"Loh, kenapa?"
"Karena aku dan Jaka akan pergi ke Bali besok,"
"Hah? Hahahaha,"
Tawa Dida menggelegar di seberang sana. Membuat Anggi sontak menjauhkan gawai dari telinganya. Anggi menoleh ke kanan dan kiri. Cemas jika obrolannya terdengar oleh orang lain.
"Jangan ngarang kamu, Anggi. Punya uang dari mana si Jaka itu, hem? Atau, kalian liburan pakai uang kamu, kan?" seru Dida. Ia menggelengkan kepala mendengar kalimat Anggi.
"Jaka gak semiskin yang kalian kira, Ma. Dia punya tabungan kok. Terserah mau percaya atau tidak. Sudah dulu ya, Ma. Aku lagi packing nih,"
Tut…
Anggi mematikan telepon secara sepihak. Ia menekan jantungnya yang tidak beraturan. Sekelumit rasa bersalah muncul karena telah membohongi Dida. Anggi terpaksa melakukannya demi menyelamatkan rumah tangganya sendiri.
***
Bersambung