"Gimana, Nak? Mau pulang?"
Tidak sengaja Jaka mendengar suara Dida. Ia mencari sumber suara yang ternyata berasal dari beranda rumah. Pagi-pagi sekali dia menemukan sang istri tengah bertelepon ria di depan sana.
Karena penasaran, akhirnya Jaka pun berdiri di balik pintu. Ia menguping pembicaraan Anggi dan Dida. Jaka tahu bahwa tindakan ini tidaklah baik. Namun, dia juga ingin tahu bagaimana isi hati Anggi.
"Kenapa harus pulang, Ma? Bahkan aku belum 24 jam di sini," ucap Anggi. Ia tidak tahu jika ada Jaka di belakangnya.
"Gimana keadaan rumah si Jaka itu?"
Anggi sejenak membisu. Ia menoleh ke kanan dan kiri sebelum akhirnya melanjutkan percakapan.
"Gak seburuk yang Papa dan Mama pikirkan kok. Aku nyaman di sini,"
"Bukan itu, Anggi. Maksud Mama, bentuk fisik rumah Jaka gimana? Mama kan belum pernah tahu,"
"Oh. Bangunannya terbuat dari batu dan cukup untuk kami semua kok, Ma,"
Srrr…
Darah Jaka sontak mendidih mendengar penuturan istrinya. Ucapan Anggi sangat berbanding terbalik dengan kebenaran. Jaka mengelus dada. Ia mafhum, jika Anggi terpaksa berbohong untuk melindungi diri.
"Kamu dikasih makan apa di sana?" tanya Dida lagi. Jaka dapat mendengar dengan jelas karena Anggi mengaktifkan loud speakernya.
"Makanan di sini sama seperti di rumah kita, Ma. Aku sampai kekenyangan." Anggi kembali berbohong.
Jaka tidak sanggup mendengar bualan Anggi lagi. Perempuan itu terlalu baik dengan menutupi segala kekurangan suaminya. Jaka memutuskan untuk beranjak ke dapur.
Kelang beberapa menit kemudian, Jaka merasa ada seseorang yang menepuk bahunya. Ia memutar kepala dan menemukan Anggi di sana.
"Selamat pagi, Sayang." Anggi menyapanya penuh kelembutan.
"Pagi kembali," balasnya tak kalah halus.
"Ibu ke mana?"
"Ibu di kamar,"
Anggi tahu bahwa selama ini Jakalah yang memasak di rumah. Jamilah bisa pingsan jika terlalu lama berdiri.
Anggi memerhatikan kelihaian suaminya dalam meracik masakan. Inilah yang Anggi suka dari Jaka. Pria itu begitu bertanggung jawab dari segala sisi termasuk urusan dapur.
"Aku bantu ya, Mas," titah Anggi sambil meraih daun singkong di atas meja.
***
Jaka meletakkan handuk yang ia gunakan untuk mengilap keringat di keranjang pakaian kotor. Menjadi seorang kuli bangunan membuat ia harus rela menghabiskan banyak energi dengan gaji tak seberapa. Setelah membersihkan tubuh, pria itu menemui istrinya yang sedang melipati pakaian.
"Gara-gara Mas kamu jadi nyuci pakai tangan,"
Anggi dikejutkan oleh suara berat tersebut. Ia menoleh ke sisi kanan dan melihat Jaka sudah bersila di sebelahnya.
"Ah, gak apa-apa, Mas. Aku gak capek kok." Anggi berdusta. Tanpa Jaka ketahui jika kulit tangan Anggi lecet karena terkena sabun cuci.
"Ini buat kamu," ucap Jaka, lalu menyerahkan uang senilai 50 ribu.
Anggi menerimanya dengan tangan bergetar. Uang 50 ribu sangat tak berarti sewaktu ia masih tinggal bersama orang tua. Kini, nominal tersebut harus mereka cukupkan untuk kebutuhan.
"Kenapa, Sayang?" Jaka heran melihat Anggi yang mendadak melamun.
"Eh, gak ada, Mas,"
"Aduuuh aduh aduuh…"
Tiba-tiba saja Jaka dan Anggi mendengar suara Jamilah di kamar sebelah. Cepat-cepat mereka berlari guna melihat apa yang sedang terjadi.
"Ibu?"
Jaka begitu syok saat melihat Jamilah sudah terguling di lantai. Ia mengangkat tubuh perempuan tua itu dan meletakkannya kembali ke kasur.
"Ada apa, Mas?" tanya Anggi panik.
"Badan ibu panas banget," cercah Jaka.
Anggi pun segera menempelkan telapak tangannya di dahi Jamilah.
"Astaga! Ibu demam tinggi. Ayo, kita bawa ke rumah sakit,"
Anggi membuka lemari Jamilah untuk mengambil beberapa baju di sana. Namun, aktivitasnya terhenti karena mendapati Jaka yang mematung di tempat.
"Mas. Ayo! Kenapa diam aja?" tanya Anggi tak sabaran.
"Pakai obat warung sajalah, Anggi. Mas gak punya uang buat ke rumah sakit,"
Sepasang bahu Anggi turun mendengar jawaban suaminya. Kurasa keluarga Jaka tidak pernah memiliki tabungan di rumah.
"Ya, sudah. Pakai uangku saja, Mas," tawar Anggi. Untungnya dia masih memiliki simpanan di ATM.
"Gak usah. Mas cari pinjaman dulu aja, ya,"
Baru saja Jaka hendak keluar kamar, tapi Anggi mendadak menghalau tubuh lelaki itu. Anggi menggelengkan kepala berulang kali.
"Gak ada waktu lagi. Lihat! Ibu semakin meringis,"
Jaka membenarkan dalam hati. Sebenarnya pun dia bingung harus berhutang pada siapa. Akhirnya Jaka menggendong Jamilah dan membawanya ke rumah sakit bersama Anggi.
***
"Maafkan Mas ya, Sayang. Gara-gara Mas uang kamu jadi terpakai. Nanti diganti, ya,"
Empat hari berlalu setelah kejadian Jamilah terjatuh dari tempat tidur. Wanita itu dibawa ke rumah sakit dan dibiayai oleh Anggi.
"Gak usah, Mas. Ibunya Mas kan ibu aku juga," balas Anggi.
Jaka merasa tidak enak dan menjadi beban istrinya. Namun keadaan memaksa ia untuk menggunakan uang Anggi. Bersyukur karena Jamilah sudah sembuh sehingga mereka tidak merogoh kocek lebih dalam lagi.
Jaka pergi bekerja setelah menitipkan ibunya pada Anggi. Sementara itu, Anggi mulai berpikir bagaimana caranya agar ia dapat membantu ekonomi sang suami.
"Apa sebaiknya aku cari kerja aja, ya?" batinnya.
Anggi menemui Jamilah dan menghidangkan makanan serta minuman di meja nakas. Apabila Jamilah lapar, maka dia tinggal ambil saja.
"Aku pergi dulu ya, Bu,"
"Mau ke mana, Nak?" Jamilah heran.
"Ada urusan sebentar,"
Anggi ngacir tanpa menunggu respon mertuanya. Bukannya Anggi tak ingin mengobrol. Dia hanya tidak mau jika Jamilah mengetahui bahwa Anggi sedang mencari pekerjaan. Anggi harus rela menguras tenaga dan melakukan apa yang tidak pernah ia lakukan sewaktu gadis.
Anggi berjalan menuju sebuah komplek perumahan. Biasanya ibu-ibu komplek banyak yang membutuhkan pembantu. Anggi tak peduli lagi dengan kulitnya yang tersiram debu dan rambutnya yang dipenuhi oleh minyak. Anggi melakukan semua ini guna membantu suaminya.
Banyak rumah Anggi singgahi, tapi semuanya sudah memiliki asisten. Seketika Anggi patah semangat. Ia pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Di perjalanan, Anggi melihat seorang ibu-ibu yang kesulitan membawa barang belanjaan. Anggi dengan sikap baiknya langsung menolong wanita bertubuh gemuk itu.
"Terimakasih, ya. Nama kamu siapa?" tanya sosok tersebut setelah mereka sampai di tempat tujuan.
"Anggi, Bu,"
"Kamu mau ke mana?"
"Saya mau cari kerjaan. Jadi asisten rumah tangga juga gak apa-apa, tapi sayangnya tidak ada, Bu," balasnya sedih.
"Oh, kalau gitu kerja di rumah Ibu aja,"
Sepasang netra Anggi membulat kunci. Sang Maha Kuasa menurunkan bantuan setelah ia nyaris beputus asa.
"Saya mau melakukan apapun selagi halal, Bu." Anggi senang bukan main.
"Nama Ibu Mistri. Kamu bisa bekerja mulai besok, ya. Jam tujuh harus sudah sampai dan jangan telat," ucap wanita bernama Mistri itu dengan suka cita.
***
Bersambung