Dengan kuat Ryan membuka pintu rumahnya, dengan nafas yang terengah-engah karena lelah berlari jauh dengan masih memakai baju seragam sekolah lengkap. Ryan dengan langkah kaki yang terasa sangat lemah, dengan pandangan yang mulai buram, langsung saja masuk pada satu kamar yang jaraknya tidak jauh dari pintu masuk.
Rumah itu kecil, dan tentunya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan kamar utama.
Masih dengan nafas yang terengah-engah, sepasang mata indah yang selalu ia rindukan kini sudah tertutup dengan suara tangisan kesedihan tepat di samping tubuh wanita yang di bawah kakinya ada surga untuk Ryan.
Sang Ibunda, kini sudah meninggal dunia sebelum Ryan bisa memeluknya dan berbicara dengannya.
Tepat di samping jasad sang Ibunda yang baru saja dijemput oleh yang maha kuasa, ada Pak Adul yang masih menangis histeris karena merasa sangat bersedih atas perginya istri tercinta yang sebelumnya memang sudah lama sakit karena kangker yang diderita.
"Bapak." Ryan mendekat kepada Pak Adul yang terlihat masih syok karena harus melepaskan sang istri dengan begitu cepatnya.
Padahal sebelumnya mereka masih bisa bercanda bersama, berbicara tentang masa depan sang putra yang rencananya ingin melanjutkan kuliah setelah tamat SMA.
"Ibu, dia cuman tidur 'kan? Iya 'kan, Pak? Bapak ...." Ryan menggoyangkan pelan tubuh Pak Adul. Saat ini Ryan yang baru saja pulang dari sekolah karena ada pertandingan basket yang diadakan sekolahnya masih sangat tidak bisa menerima akan kebenaran jika sang Ibunda telah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa.
"Padahal aku sudah janji sama Ibu buat belikan Ibu makanan enak kalau aku menang, tapi ... tapi, kenapa?" Air mata remaja 17 tahun sudah tidak bisa lagi ia tahan karena merasa sangat bersedih karena kehilangan sosok wanita yang terbaik dalam hidupnya.
Di ruangan yang kecil dan sempit itu hanya terdengar suara erangan tangis histeris dari Pak Adul dan juga Ryan yang merasa sangat kehilangan, dan tentunya masih saja tidak terima atas kepergian sang Ibunda.
"Ibu pasti kesakitan ...." Tangisan Ryan semakin menjadi-jadi ketika membayangkan betapa sakit yang Ibunda rasakan ketika maut datang kepadanya.
Pada hari-hari biasa saja dia sering megeluhkan sakit, dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang juga dia pingsan. Semua itu terjadi hanya karena satu hal, yaitu kangker yang setiap Hariny menggerogoti tubuhnya hingga akhirnya mengantarkannya kepada kematian.
Andai saja jika kangker itu ditangani dengan cepat, mungkin sang Ibunda tidak akan pergi secepat ini, terlebih dihari yang paling penting bagi Ryan.
Harusnya hari ini dia ada pertandingan basket yang di mana hadiahnya adalah uang, dan rencananya uang kemenangan itu akan ia gunakan untuk mengobati sang Ibu.
Sialnya, takdir tidak memihak kepadanya. Beberapa saat ketika pertandingan ingin dimulai tiba-tiba saja Ryan mendapatkan kabar jika sang Ibunda kini tengah berada didetik-detik terakhir hidupnya.
Mendengar hal itu tentu saja tanpa berpikir dua kali lagi, Ryan langsung saja melepaskan semuanya dan langsung berlari sekuat tenaga kembali ke rumah.
Saat itu Ryan yang ingin bersiap-siap mengganti bajunya, dan belum sempat mengganti baju, bahkan baju seragamnya yang kini ia pakai benar-benar terlihat berantakan.
Jika saat itu sang Ibunda masih sadar, mungkin Ryan akan mendapatkan banyak omelan yang membuatnya pusing, tapi kini Ryan benar-benar merindukan akan hal itu.
"Harusnya Bapak bawa Ibu ke rumah sakit. Harusnya Bapak tidak menahan uang untuk kesembuhan Ibu ...." Ryan yang bersedih, akhirnya tanpa diduga mengatakan kalimat yang sontak saja memantik kemarahan pada Pak Adul.
"Barusan, apa yang kamu bilang?" Pak Adul bertanya dengan meninggikan suaranya, merasa jika Ryan baru saja menyinggung dirinya yang selalu saja menahan uang untuk pengobatan sang istri.
"Bukannya yang aku bilang barusan itu memang benar? Bapak 'kan memang selalu begitu, tidak pernah mau mengeluarkan sedikit pun uang untuk Ibu. Bahkan, untuk biaya pengob-- ...."
Plak! Tamparan keras mendarat tepat di wajah Ryan yang basah dengan air mata yang bercampur keringatan.
Mata Pak Adul berapi-api ketika mendengar apa yang baru saja sang putra katakan tentang dirinya. Hal itu sontak saja memancing amarahnya tak kala dirinya sendiri kini pun tidak sedang ada dalam suasana hati yang baik.
"Lancang kamu!" Pak Adul menujuk Ryan dengan jari telunjuknya, mengekspresikan kemarahannya dengan mata serta gerakan tubuhnya. Dan tentunya dengan suaranya yang meninggi.
Mendapati ledakan amarah dari Pak Adul, Ryan hanya tertawa. Merasa jika kemarahan itu begitu lucu, karena Ryan merasa jika tidak seharusnya Pak Adul meninggikan suara ketika memang dirinya lah yang bersalah.
"Dengan Bapak meninggikan suara seperti itu, semua itu jelas membuktikan kalau yang aku bilang barusan itu memang benar! Memang benar, Bapak yang menjadi pembunuh Ibu!" Lendakan amarah terus saja dilupakan Ryan yang masih saja tidak bisa merelakan jika sang Ibunda kini sudah tidak ada bersamanya.
"Apa? Pembunuh? Berani kamu!" Lagi dan lagi tamparan dilayangkan Pak Adul tepat pada wajah tampan Ryan. Anak satu-satunya yang ia miliki bersama sang istri, kini mencap dirinya sebagai seorang pembunuh.
Tanpa berpikir mengenai jasad yang ada didekat mereka, Pak Adul dan Ryan hanyut dalam amarah masing-masing.
Ryan yang merasa jika kematian sang Ibunda terjadi karena Pak Adul yang selalu menahan uang pengobatannya, dan Pak Adul yang tidak terima dengan tuduhan yang diberikan sang putra kepadanya.
Pertengkaran itu akhirnya tidak menemukan titik akhir, hingga pada akhirnya Ryan lah yang memutuskan untuk pergi dengan membawa luka pada fisik dan hatinya.
Setiap kalimat buruk yang ia katakan, Pak Adul menampar dan juga memukulnya, tapi Ryan tak melawan, hanya melawan segala pukulan itu dengan ucapan yang menyakitkan.
Sungguh tidak bisa dipercaya jika keluarga kecil yang dulunya sangat bahagia itu kini telah hancur dengan begitu mudahnya hanya karena satu pilarnya hancur, dan seketika membuat semuanya pun juga hancur.
Sebelumnya Ryan hidup di keluarga kecil sederhana yang bahagia, walaupun hidup terasa berat, tapi semuanya terasa ringan karena senyuman dari keluarga.
Keluarga yang dulu bahagia, kini hancur tak tersisa.
Sejak kecil Ryan tak pernah mendapatkan pukulan dari kedua orangtua, tapi hari ini untuk pertama kalinya ia mendapatkannya. Dan itu pun ia dapatkan tepat dihadapan jasad sang Ibunda.
Menangis pun kini rasanya tidak baik bagi Ryan, dan bahkan rasanya melanjutkan hidup ini akan sangat sulit baginya.
"Haruskah aku ikut dengan Ibu? Setidaknya di sana Ibu tak akan kesepian." Ryan menghapus air mata yang sejak tadi setia bersama dengannya.
Dalam bayang-bayang kesedihan dan keputus'asaan, di ujung jalan terlihat seorang gadis dengan rambut pendeknya, tersenyum kepada Ryan seraya melambaikan tangannya.