Dari pembicaraan singkatnya dengan Ryan sebelumnya, sudah dapat disimpulkan jika Ryan pasti tidak akan bisa menerima kebenaran jika saat ini Ryuna sedang hamil.
Ryuna merasa sangat frustrasi memikirkan tentang bagaimana masa depannya kini. Saat pertama kali mengetahui jika dirinya hamil, semua itu sungguh membuat otaknya berhenti berfungsi.
Seakan-akan semua telah berhenti kini, tapi tetap saja Ryuna tak punya keberanian untuk berbagai dengan orang-orang terdekatnya, bahkan kepada Ibu dan Adik laki-lakinya pun Ryuna tak berani bercerita tentang derita apa yang kini tengah ia rasa.
Menghabiskan banyak waktu di klinik, Ryuna pulang ke rumah sedikit agak terlambat, akibatnya Adik dan Ibunya sudah menunggu dengan gelisah di ruang keluarga, menunggu kedatangan dirinya. Jika saja saat ini Ryuna tak pulang juga dalam waktu dekat, rencananya Adiknya lah yang akan mencarinya.
Namun, untungnya semua itu tak benar-benar terjadi karena Ryuna pulang di detik-detik terakhir itu.
"Kalian nunggu aku?" Langkah kaki Ryuna terhenti, menatap bingung kepada dua orang yang kini menatapnya dengan tatapan menusuk.
"Kakak ke mana aja sih? Kenapa baru pulang sekarang? Liat nih, udah jam berapa?" Adik laki-laki Ryuna itu berbicara dengan suara yang meninggi, dengan tangannya yang menujuk kearah jam dinding.
"Kebiasaan deh. Suka banget ya buat aku dan Bunda khawatir?" lanjutnya menyuarakan kekesalannya kepada Ryuna.
Kini tidak ada lagi yang bisa Ryuna katakan, karena Dio kini telah membuatnya hilang kata-kata dan akhirnya hanya bisa mengatakan kata maaf untuk mengakhiri semua.
"Maaf," ucap Ryuna.
Terdengar jelas Dio menghela nafas kesal dan berat.
"Kebiasaan deh. Ujung-ujungnya pasti bakalan minta maaf." Dio menjauh dari Ryuna, mendekat kepada Bundanya yang daritadi hanya diam mendengarkan keributan yang dipimpin oleh Dio tentunya.
"Liat tuh, Bun. Kakak itu kebiasaan udah. Pulangnya lama terus, padahal 'kan nggak baik kalau anak gadis pulang malam-malam. Bukan cuman diliat orang aja nggak baik, tapi bahaya juga. Jelasin dong, Bun." Dio menggesak kepada sang Bunda untuk menasihati Ryuna dengan sedikit ngegas, tapi hal itu Dio lakukan semata-mata hanya karena dirinya mengkhawatirkan Ryuna.
Ryuna yang mendengarkan perkataan Dio merasa sangat tertampar karena hal itu. Dalam hatinya Ryuna bertanya-tanya tentang bagaimana kah nanti reaksi Dio dan juga Bundanya saat mengetahui kebenaran tentang dirinya yang begitu menakutkan.
'Aku nggak bisa bayangin gimana reaksi mereka nanti.' Dalam hati Ryuna merasa sangat tertekan memikirkan bagaimana cara yang tepat agar semua bisa kembali seperti semula lagi.
"Sudahlah, Dio. Kamu itu terlalu bawel jadi cowok. Bilang aja kalau kamu khawatir 'kan sama Kakak kamu," kata Bunda Ria dengan senyuman tipis di wajahnya.
"Ih, apaan sih Bunda? Siapa juga yang khawatir sama Kakak? Nggak!" tekan Dio dengan wajah yang sedikit memerah karena malu. Selama ini memang Dio tak ingin memperlihatkan kekhawatirannya atas Kakaknya Ryuna dengan terang-terangan, karena hal itu sangatlah memalukan baginya.
"Udahlah, nggak usah malu-malu. Bunda tau kok kamu sayang banget sama Kakak kamu. Buktinya tadi, kamu 'kan yang paling sibuk tuh mau jemput Ryuna. Iya 'kan? Ayo ngaku." Bunda Ria merasa senang menggoda Dio, dan karena hal itu pun juga Ryuna ikut tersenyum, merasa senang kembali.
"Apaan sih, Bun? Nggak lucu, ah." Dio yang sudah kehabisan cara untuk mengelek akhirnya lebih memilih untuk pergi meninggalkan Bunda Ria dan Ryuna berdua.
"Dia pergi pasti karena sudah tidak ada lagi akal buat mengelak," kata Bunda Ria dengan tertawa kecil.
Ryuna hanya tersenyum, merasa sangat senang saat melihat canda tawa Bunda dan Adiknya.
"Oh ya sayang, ngomong-ngomong kamu habis dari mana? Kok pulangnya jam segini?" tanya Bunda Ria mulai bersikap layaknya seorang Ibu yang mengkhawatirkan anak gadisnya yang pulang malam-malam, padahal jam sekolah sudah lama berakhir.
Ryuna tertunduk, menyembunyikan lengannya yang sebelumnya dipasangi infus, lalu tersenyum kepada sang Bunda dengan mengatakan alasan yang tentu saja hal itu adalah kebohongan.
"I-itu ... tadi aku ke rumah Ayu, Bun. Aku main bareng sama dia, dan saking asiknya aku sampai lupa waktu. Bahkan tadi aku juga ketiduran di sana, jadi ... ya begitulah," jelas Ryuna.
"Oh, gitu ya? Nggak papa kalau gitu. Tapi nanti lain kali, tolong kasih kabar ya kalau kamu pulangnya telat. Nanti Dio khawatir lagi."
"Iya, Bun. Nanti aku nggak akan ulangin lagi kok, janji."
"Bagus. Kalau gitu, kamu mau makan dulu? Bunda tadi masak sup loh. Sup kesukaan kamu. Gimana? Mau Bunda siapin?"
"Iya, Bun. Aku mau bersih-bersih dulu ya."
"Iya."
Ryuna cepat-cepat masuk ke kamarnya, kemudin langsung saja menaruh tasnya dengan rapi pada tempatnya dan saat ingin membuka seragamnya, di tangan Ryuna ada testpack yang barusan ia gunakan untuk memeriksa tentang kehamilannya.
Garis dua yang membuatnya merasa sangat ketakutan. Saat melihatnya lagi, hal itu kembali mengganggu pikiran Ryuna.
Ryuna yang merasa pusing saat melihat testpack itu dengan marah langsung saja melemparkannya ke tempat sampah, dan kemudian meninggalkannya untuk mandi.
Setelah selesai mandi dan berganti baju, Ryuna dengan langkah kecil masuk ke ruang makan dan duduk dengan tenang menghadapi sup ayam kesukaannya.
"Nah, ini Bunda sengaja buat untuk kamu. Kamu udah lama 'kan pengen makan sup ayam buatan Bunda? Sekarang, Ryuna bisa makan sepuasnya," kata Bunda Ria dengan penuh cinta.
Mata Ryuna memancarkan kebahagiaan. Rasanya dengan hal sesederhana ini saja sudah membuatnya merasa sangat gembira. Sudah sangat lama ia menginginkan sup ayam buatan sang Bunda, tapi belum juga dibuatkan. Tapi akhirnya hari yang ia nantikan tiba kini, sup ayam yang hangat siap untuk dinikmati.
"Wah, ini pasti enak banget. Makasih ya, Bunda." Ryuna benar-benar tidak bisa berbohong, dari wajahnya jelas-jelas mengatakan jika saat ini dia merasa sangat bahagia.
Melihat ekspresi bahagia Ryuna membuat Bunda Ria merasa sangat bahagia karena bisa membahagiakan sang Putri dengan hal sederhana saja.
"Pastilah ini enak. Bunda yang buat loh. Lebih baik kamu cepat makan, sebelum supnya dingin." Bunda Ria duduk dengan tenang di dekat Ryuna, menunggunya untuk makan.
"Bunda nggak makan?" Ryuna merasa engan ingin makan sendiri, sedangkan Bunda Ria hanya diam melihatnya.
"Nggak. Kamu makan aja sendiri, tadi Bunda udah makan duluan bareng Dio. Kamu makan aja," jelas Bunda Ria.
"Beneran ya? Kalau gitu aku makan ya." Ryuna dengan tersenyum lebar memasukkan sesendok sup hangat ke dalam mulutnya, merasakan rasa enak dari sup buatan sanga Bunda.
Sup yang selalu menjadi menu yang paling Ryuna suka, tapi entah kenapa saat itu tiba-tiba saja Ryuna langsung memuntahkan sup yang baru saja ia masukkan ke dalam mulutnya beberapa detik yang lalu.
"Astaga. Kamu kenapa sayang?" Bunda Ria kaget melihat Ryuna yang tiba-tiba saja muntah, dan muntahnya itu pun berulang kali hingga akhirnya Ryuna langsung lari ke kamar mandi tanpa permisi.
Bunda Ria yang ketakutan dan panik, langsung saja ia masuk ke kamar Ryuna untuk mengambil obat, takut jika mungkin ada yang salah dengan perutnya hingga membuat anak gadisnya itu muntah seperti tadi.
Tangan Bunda Ria mengeluarkan keringat dingin, tangannya pun juga sulit untuk dikendalikan karena ia merasa ketakutan saat melihat Ryuna yang tampaknya sedang tidak baik-baik saja.
Karena terlalu gemetar Bunda Ria tak sengaja menjatuhkan obat dari tangannya, obat itu jatuh tepat di dekat tempat sampah.
"Astaga."
Bunda Ria akhirnya dengan terpaksa membungkuk sedikit untuk mengambil kembali obat yang terjatuh di lantai, tapi saat itu matanya tak sengaja melihat benda yang terlihat tak asing baginya.
Sebuah benda yang sudah pernah ia gunakan beberapa kali dalam hidupnya.
Karena penasaran Bunda Ria mengambil benda yang sebelumnya telah dibuang oleh Ryuna, dan itu tidak lain adalah testpack dengan garisan dua di sana.