"Ryuna, kamu kenapa? Apa ada yang sakit? Kenapa tiba-tiba nangis?" Ryan terlihat semakin panik ketika melihat gadis itu kini menangis, ia takut jika mungkin saja Ryuna merasakan sakit hingga membuatnya menangis seperti itu.
"B-bukan begitu, t-tapi ... perutku ...." Ryuna menangis dengan histeris, merasakan perutnya yang tak lagi sakit kini membuatnya berpikir yang bukan-bukan tentang nyawa yang kini ada dalam dirinya.
"Perut kamu? Perut kamu, kenapa? Apa masih sakit? Apa kamu mau aku panggilkan Dokter lagi? Tadi perasaan Dokter udah sudah kasih obat kram perut." Ryan terlihat bingung ingin melakukan apa, saat melihat Ryuna yang menangis seperti saat ini benar-benar membuatnya bingung ingin bagaimana dan melakukan apa.
"Kram perut?" Ryuna sontak saja langsung berhenti menangis ketika mendengar Ryan yang mengatakan tentang kram perut kepadanya.
"I-iya, kram perut. Sebelumnya 'kan kamu ngeluh soal sakit perut, dan bahkan tadi kamu pingsan loh. Makanya aku bawa kamu ke klinik terdekat, dan saat diperiksa katanya kamu kram perut, terus Dokter tadi juga udah kasih kamu obat buat ngurangin sedikit rasa sakit," jelas Ryan mengatakan semua ia ketahui.
Sebelumnya saat di taman, saat Ryuna berusaha menghibur Ryan dengan berbagai cara hingga akhirnya berhasil membuatnya kembali tersenyum dan tertawa. Tetapi bersamaan dengan itu Ryuna pun juga merasakan kembali sakit yang luar biasa pada bagian perutnya, dan kali ini rasa sakit itu benar-benar tak bisa tertahankan lagi hingga akhirnya berhasil membuat gadis itu jatuh pingsan.
Ryan yang mendapati Ryuna yang terbaring lemas langsung panik membawanya ke klinik terdekat, rasa takut menyelimutinya Ryan sampai akhirnya Dokter pun memeriksanya dan mengatakan jika Ryuna baik-baik saja, dia hanya mengalami kram pada perutnya. Dan jika Ryuna beristirahat, maka rasa sakitnya akan berangsur mengurang.
Mendengar kisah Ryan membuat Ryuna akhirnya bisa merasa lega, dan kini jantungnya pun mulai berangsur membaik karena tidak lagi terlalu panik.
Tidak tahu kenapa, tapi kini rasanya Ryuna tidak ada lagi pikiran untuk mengakhiri hidup nyawa kecil yang ada dalam dirinya saat ini, terlebih saat membayangkan bagaimana bentuknya nanti. Memikirkan semua itu benar-benar membuat Ryuna tiga tega untuk melakukannya.
"Ryan," panggilnya dengan suara lemah.
"Iya. Kamu butuh sesuatu?" Ryan sudah siap sedia melakukan apa pun yang bisa ia lakukan untuk membantu Ryuna yang kini masih memakai infus di tangannya.
"Aku ... mau nanya sesuatu, kamu jawab dengan jujur ya." Ryuna terlihat ragu-ragu ingin menyampaikan apa yang ingin ia katakan saat ini kepada Ryan.
"Nanya soal apa? Langsung nanya aja kali, aku pasti jawab jujur kok. Mau mau nanya apa?"
"Emm ... kalau misalkan aja ada satu cewek yang saat ini kondisinya lagi hamil, dan dia itu masih anak sekolah. Menurut kamu apa yang harus dia lakukan?" Ryuna sedang mempertanyakan tentang dirinya sendiri kepada Ryan, tapi Ryuna tak ingin jika semua itu terlihat sangat jelas olehnya.
"Dia harus minta pertanggung jawaban sama orang yang udah ngehamilin dia! Berani berbuat, berati harus berani bertanggung jawab juga!" Ryan tanpa ragu mengutarakan jawaban tegasnya.
"T-tapi, gimana kalau laki-laki itu juga masih anak sekolah? Apa dia harus tetap minta pertanggung jawaban? Mereka 'kan masih sama-sama sekolah dan yang paling penting, mereka punya mimpi masing-masing. Apa memang harus melakukan semua itu?"
Ryan mulai merasa bingung dengan pertanyaan Ryuna saat ini. Ryan tak mengerti kenapa tiba-tiba Ryuna mempertanyakan hal seperti itu disaat kondisi dirinya sendirinya sendiri yang sedang tidak baik-baik saja.
"Pertanyaan kamu kok aneh-aneh sih? Dan, kenapa juga bahasnya soal anak sekolah yang hamil? J-jangan bilang ... k-kamu?" Ryan tiba-tiba saja merasa takut ketika mengatakan hal itu sendiri dengan mulutnya.
Ryuna tersentak, terlihat gagap menjawab pertanyaan Ryan yang tiba-tiba.
"B-bukan! Kamu pikir apaan sih? Nggak lucu, ah! Bukan aku, t-tapi ... i-itu ... seseorang yang aku kenal aja," ungkap Ryuna belum berani mengatakan kebenarannya kepada Ryan tentang dirinya sendiri.
Mendengar Ryuna yang mengatakan jika bukan dirinya lah yang sedang hamil itu membuat Ryan merasa jauh lebih lega karenanya. Sempat beberapa saat yang lalu Ryan merasa takut dengan hal itu. Memikirkan semua itu saja sudah membuatnya takut dan pusing, apalagi jika sampai Ryan tahu jika semua itu memang benar.
"Astaga, untung aja itu bukan kamu. Kalau itu kamu, aku benar-benar nggak habis pikir lagi harus gimana," kata Ryan.
"Memangnya kalau aku yang ada diposisi itu ... kamu bakalan gimana?" Tiba-tiba saja terbesit keinginan untuk mempertanyakan hal itu kepada Ryan.
"Kamu pikir bagaimana lagi? Itu benar-benar bukan hal yang bagus. Masa depan kita masih panjang, dan masih banyak mimpi yang mau aku raih, begitu juga kamu 'kan? Selama ini kita belajar mati-matian, semua itu buat masa depan. Apa kamu beneran mau menghancurkan masa depan kita begitu aja?"
Dari perkataan Ryan jelas, jika dia sepertinya tidak bisa terima dengan kebenaran jika Ryuna saat ini sedang hamil, dan tentunya Ryan juga pasti tidak akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi kepadanya kini.
Ryuna tersenyum tipis.
"Hmm, yang kamu bilang itu benar. Tidak seharusnya kita menghancurkan semua itu. Padahal kita sudah belajar mati-matian, jadi ... memang tidak seharusnya kita menghancurkan semua kerja keras itu. Iya 'kan?" Ryuna merasa hatinya sangat sakit, tapi tetap saja ia terus memasang senyum di wajahnya.
Mengetahui Ryan yang kemungkinan tidak menginginkan nyawa kecil yang kini ada di dalam dirinya seketika saja membuat Ryuna merasa sedih, tapi walaupun begitu dia tak ingin terlalu menampakkan hal itu kepada Ryan.
Bersamaan dengan rasa sedih, rasa marah pun juga kini berpadu dalam hatinya. Kemarahan kepada Ryan karena tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam dirinya, dan hal itu benar-benar membuatnya terluka.
"Aku mau istirahat dulu, kamu bisa pulang sekarang. Kamu juga harus mengurus jasad Ibu kamu 'kan? Nggak sepantasnya kamu ada di sini. Aku bisa sendiri," ujar Ryuna.
"Kamu yakin bisa sendiri? Atau mungkin kamu mau aku telponin orangtua kamu? Gimana?" Ryan memang daritadi terus ingat dengan rumahnya, tapi ia juga tak bisa meninggalkan Ryuna sendirian.
"Aku bisa telpon mereka sendiri, kamu pergi aja!" Ryuna berbaring dengan membelakangi Ryan, berusaha menyembunyikan air kata kesedihannya dari pemuda itu.
"Iya, aku pulang ya. Nanti kalau kamu udah agak baikkan, telpon aku ya."
Tidak ada tanggapan dari Ryuna, jadi Ryan pun langsung pergi begitu saja karena hatinya dari tadi pun juga sudah merasa gelisah karena meninggalkan jasad Ibunya bersama dengan Pak Adul.