"Hah? Nggak. Ini pasti salah 'kan? Nggak mungkin. Ini pasti nggak mungkin. Ini pasti salah, dan ini pasti nggak benar." Mata Ryuna membulat sempurna, berusaha menekankan kepada diri sendiri jika yang kini dilihat matanya tidaklah benar adanya.
Sebuah testpack di tangannya telah menujukkan garis dua yang berarti kini dirinya tengah hamil. Semua itu sebenarnya mungkin saja terjadi, karena memang bulan ini Ryuna sudah sangat terlambat menstruasi.
Gadis 17 tahun itu masih tidak bisa percaya dengan hasil test yang ada di tangannya kini.
Remaja yang masih memakai baju seragam sekolah lengkap, duduk dengan tenang di kamar mandi sekolah sambil menunggu hasil dari test, dan saat hasilnya telah keluar, Ryuna benar-benar tidak menduga jika semua akan diluar pemikirannya.
"I-ini ... nggak mungkin!" Gadis berambut pendek itu menarik keras rambutnya, menampar wajahnya sendiri berkali-kali, berharap jika semua ini adalah mimpi.
Dengan menyakiti diri sendiri ia berharap agar dapat segera bangun dari mimpi buruk itu, dan semoga saja hal itu benar. Tetapi, semua itu hanya harapan kosong, karena saat ini ia tidak tengah bermimpi.
Sudah lewat beberapa jam yang lalu ia bangun dari dunia mimpi dan lanjut menyambut dunia asli yang di mana di sinilah dia berada kini, dengan testpack di tangannya.
"Argh ... aku harus bagaimana?" Kaki dan seluruh tubuhnya seketika saja merasa sangat lemas ketika harus memikirkan tentang bagaimana lagi ia harus bertindak kini.
Diusia yang baru saja menginjak 17 tahun, dia sudah kedapatan hamil. Dan yang lebih buruknya lagi, saat ini ia masih duduk dibangku SMA. Tidak seharusnya seorang murid hamil, terlebih ketika dia masihlah sangat muda.
Sekarang, entah bagaimanakah pandangan orang-orang tentang dirinya kini. Jika sampai orang-orang tahu tentang kehamilannya, hidupnya akan benar-benar hancur.
"I-ini, semua ini ... aku harap semua ini mimpi. Aku mohon, bangun!" Ryuna masih tidak bisa menerima kebenaran akan hal itu, jadi dia terus saja memukuli dirinya sendiri hingga tiba-tiba ia merasakan sakit pada bagian perutnya.
"Arghhh ...." Ryuna merintih kesakitan. Selama ini tidak pernah ia merasakan sakit yang sesakit ini pada perutnya.
"Apa-apaan ini? Kenapa sakit?" Ryuna memegangi perutnya dengan kuat, kemudian perlahan keluar dari kamar mandi dengan masih membawa testpack bersamanya.
Walaupun dalam kaadaan panik, Ryuna tetap tidak melupakan sesuatu hal yang penting itu. Ryuna memasukkan testpack itu ke dalam sakunya, kemudian dengan lemas berjalan menyusuri koridor sekolah yang tampak sepi karena sekarang murid-murid pasti sedang menonton pertandingan basket hari ini.
"A-aku, harus perg-- ... arghh ...." Ryuna terus menjerit kesakitan ketika merasakan perutnya yang semakin melilit dan juga kram.
Dengan keringat yang kini membahasi wajah serta tubuhnya, Ryuna masuk ke dalam kelas yang sepi, kemudian mengambil tasnya dan kembali berjalan dengan langkah yang kecil untuk segera meninggalkan sekolah.
Sebelum pergi Ryuna terlebih dulu pergi ke lapangan basket yang di mana di sana tengah berjalan sebuah pertandingan, tapi saat itu Ryuna tampak tak bisa menemukan seseorang yang menjadi alasannya datang ke tempat itu walaupun sedang merasa tersiksa karena sakit.
"Ryuna!" Seorang pemuda dengan langkah cepat berlari kepada Ryuna yang terlihat sangat pucat kini.
"Farel?" Pemuda bernama Farel itu dikenali Ryuna sebagai teman dari orang yang daritadi berusaha ia temukan.
"Kamu baik-baik aja? Kenapa pucat begitu?" Farel menyadari jika Ryuna tampaknya tidak sedang baik-baik saja, terlebih keringat dan juga wajahnya yang terlihat sangat pucat.
"Nggak papa. Aku bai-- ... arghh, perutku," rintih Ryuna ketika merasakan jika semakin lama perutnya semakin terasa sakit, bahkan kini rasanya ia akan pingsan di tempat.
"Heh, Ryuna, kamu kenapa? Sakit perutnya? Kalau sakit perut ngapain ke lapangan basket? Ke UKS, yuk." Farel sebagai teman sigap saja ingin menyeret Ryuna ke UKS, tapi Ryuna menahan langkah kakinya. Dia tidak ingin pergi sebelum menemukan seseorang yang ia cari keberadaannya.
"T-tunggu ...." Dengan suara yang lemah, Ryuna menghentikan Farel yang ingin menyeretnya pergi.
"Tunggu apa lagi?"
"Aku harus ketemu sama Ryan. Dia di mana?" Ryuna menahan rasa sakit di perutnya hanya untuk bertemu dengan Ryan yang ia kira masih berada di lapangan basket karena hari ini dirinyalah yang bertanding, tapi sialnya Ryuna tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi kepada Ryan sampai akhirnya ia harus merelakan semuanya dan pergi meninggalkan perlombaan.
"Aduh, gimana ya mau jelasinnya ... aku juga nggak tau sih bakalan jadi begini akhirnya, tapi ...." Farel yang tahu tentang apa yang tengah menimpa Ryan merasa sangat berat untuk mengatakan kebenaran itu kepada Ryuna yang tidak lain adalah kekasih Ryan.
Ryan dan Ryuna sudah menjalin asmara sejak duduk di bangku SMP, hingga bangku SMA pun mereka masih tetap bersama.
"Farel!" Ryuna memukul pelan lengan Farel, menggesaknya untuk segera memberikan jawaban yang pasti.
"Jawab! Jangan cuman diam aja dong. Kamu pasti tau 'kan Ryan ada di mana. Iya 'kan?"
"Iya aku tau dia ada di mana, tapi ...."
"Astaga, Farel. Plis dong jangan pake acara lemot drama segala. Apa susahnya sih tinggal bilang Ryan sekarang ada di mana? Apa jangan-jangan, dia lagi bareng Nila?" Dalam kepanikan rasa curiga pun datang kepada Ryuna.
Rasa curiga akan kedekatan Ryan dan Nila yang dirasa tidak wajar, terlebih Nila yang merupakan ketua kelas mereka terang-terangan mengungkapkan jika dia sangat menyukai Ryan dan Ryan itu adalah tipe laki-laki yang ia suka.
"Nggak! Nggak! Bukan begitu. Beneran deh, ini nggak ada hubungannya sama Nila kok!"
"Kalau bukan begitu, terus ada di mana Ryan? Bukannya sekarang dia harusnya tanding?"
Farel masih bingung harus bagaimana caranya mengatakan kepada Ryuna tentang berita duka yang datang membawa Ryan pergi sampai-sampai ia melepaskan impiannya sendiri, padahal kali ini adalah kesempatan besar baginya untuk bersinar.
"Sebenarnya ... Ibunya Ryan, dia meninggal." Farel dengan berat hati terpaksa mengatakan kepada Ryuna tentang kebenaran menyedihkan itu, karena Farel sebagai teman dekat Ryan tidak ingin jika Ryuna berpikir yang bukan-bukan tentang temannya yang kini tengah berduka.
Ryuna yang mendengar berita duka itu pun langsung saja tidak bisa berkata-kata lagi. Entah kenapa, tapi hari ini rasanya semuanya tidak berjalan dengan baik.
Baik itu bagi Ryan, atau pun bagi Ryuna sendiri.
"Jadi, sekarang ... Ryan ada di mana?" tanya Ryuna.
"Dia pulang. Nggak mungkin 'kan dia tetap tanding saat tahu Ibunya meninggal."
Ryuna yang sampai detik ini masih merasakan sakit pada perutnya berusaha untuk tetap tegar dan menahan rasa sakit itu, kemudian bersiap untuk pergi sampai akhirnya langkahnya dihentikan oleh Farel.
"Mau ke mana? Kamu 'kan masih sakit, kita ke UKS dulu aja yuk." Farel yang melihat jika Ryuna masih terlihat masih kesakitan tetap ingin membawa Ryuna pergi ke UKS.
"Nggak perlu. Perutku sudah lumayan baik. Aku mau pulang aja. Aku duluan, ya." Ryuna dengan langkah cepat berjalan meninggalkan sekolah untuk segera menemui Ryan.
Tidak tau kenapa, tapi tiba-tiba saja Ryuna merasa tidak enak hati ketika mengingat tentang Ryan.