Chereads / Mistake 17 / Chapter 3 - Ryuna & Ryan

Chapter 3 - Ryuna & Ryan

Masih dalam kaadaan perut yang terasa sakit, Ryuna berjalan dengan keringatan yang terus jatuh membahasi tubuhnya.

Di bawah teriknya matahari, Ryuna merasakan siksaan berkali-kali lipat, tapi tekadnya begitu kuat untuk segera melihat Ryan, jadi segala halangan itu dapat ia lalui dengan kerja keras.

Langkahnya semakin berat terasa, tapi kini sudah sangat tidak mungkin untuk menyerah, karena Ryuna kini hanya harus menyebrangi jembatan yang lumayan panjang yang berdiri kokoh saat ini untuk mengantarkannya kepada Ryan.

"Sedikit lagi ...." Ryuna mengelap keringat yang kini membahasi wajahnya, berjalan dengan langkah berat ketika perutnya yang kini semakin menyiksanya.

"Arghhh ... perutku ...." Ryuna langsung saja melilitkan lengannya di perutnya sendiri agar meredam sedikit rasa sakit itu, tapi sepertinya cara itu tidak berhasil karena justru rasa sakit itu semakin terasa begitu nyata ia rasakan.

"Kenapa rasanya sakit begini?" Ryuna benar-benar tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja ia merasakan sakit pada bagian perutnya.

Memang sebelumnya Ryuna juga sudah mengeluhkan sakit perut yang ia derita, tapi hari ini entah kenapa rasa sakit itu benar-benar dahsyat menyiksanya.

Sudah kedua kalinya hari ini Ryuna ingin pingsan di tempat, tapi untungnya kali pun hal itu tak jadi saat melihat sosok pemuda dari kejauhan berjalan dengan sempoyongan.

"Ryan?" Wajah pemuda itu dikenali Ryuna sebagai Ryan, kekasihnya yang baru saja mendapatkan kabar duka mengenai kepergian sang Ibunda kembali ke pangkuan yang maha kuasa.

Melihat sosok Ryan yang kini tepat ada di hadapannya, senyuman langsung saja terlukis dari wajah Ryuna. Perlahan ia mengangkat tinggi tangannya dan melambaikan tangan kepada Ryan yang kini pun terlihat sudah menyadari akan kehadirannya.

Wajah polos Ryuna itu tersenyum, tapi dibalik senyuman itu ia berusaha keras menyembunyikan rasa sakit yang dirasakannya.

'A-aku mohon ....' Ryuna memaksakan dirinya sendiri untuk terus tersenyum kepada Ryan. Walaupun hatinya merasa gelisah karena kemungkin besar dirinya benar-benar hamil, dan juga sakit yang dirasakannya saat ini.

Awalnya Ryuna berniat membagi semua itu bersama dengan Ryan, tapi setelah mengetahui apa yang menimpa Ryan, seketika saja Ryuna langsung mengubah rencananya itu.

Ryan jauh lebih merasa menderita saat ini daripada dirinya, jadi tidak seharusnya Ryuna menambahkan luka lagi kepada Ryan dengan berita buruk yang datang bersamanya.

Perlahan Ryuna mengangkat tangannya, kemudian melambai kapada Ryan dengan tersenyum. Berharap dengan senyuman itu akan membuat Ryan merasa jauh lebih baik, dan juga memberikannya sedikit semangat.

Memang terdengar menjijikkan, tapi setidaknya hanya itu yang bisa Ryuna lakukan untuknya saat ini.

Ryan melihat Ryuna yang berdiri tepat di hadapannya, dan itu benar-benar membuatnya merasa jauh lebih baik kini. Setidaknya di dunia ini masih ada sosok yang sama berharganya dengan Ibunya yang kini telah Tuhan ambil darinya, dan kini hanya menyisakan banyak duka.

***

Ryan dan Ryuna duduk dengan tenang di taman yang jaraknya tak terlalu jauh dari kontrakan Ryan, dan tepat berada di sebelahnya Ryuna berusaha menghibur Ryan agar tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan.

"Kamu baik-baik aja 'kan?" Ryuna melihat Ryan dengan sangat sedih, karena wajah pemuda itu kini benar-benar tidak bisa berbohong mengenai luka yang saat ini ia rasakan dihatinya.

"Nggak ...." Bahkan mulutnya pun tak bisa berbohong, karena rasa sakit yang ia rasakan benar-benar melukainya. Kematian sang Ibunda benar-benar menghancurkannya.

Melihat Ryan yang kini terlihat sangat terluka membuat Ryuna langsung saja mengurungkan niatnya untuk mengatakan kepada Ryan tentang apa yang terjadi kepadanya. Ryuna menggenggam erat testpack yang ada di sakunya.

Awalnya Ryuna ingin mengeluarkannya dan mengatakan semua kepada Ryan, tapi pada akhirnya ia tak sanggup menambahkan luka kepada Ryan.

Saat ini yang harus ia lakukan hanya harus menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya kepada Ryan, dan tentunya waktu itu bukan dalam waktu dekat ini.

Ryuna akan terus menunggu datangnya waktu yang tepat untuk mengatakan semua kepada Ryan, dan untuk saat ini ia harus berusaha menghibur Ryan agar tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan atas kehilangan.

Dengan perlahan Ryuna mulai berbicara dengan Ryan, memberikannya sedikit pengertian agar tak terlalu bersedih karena hal itu tidak akan membuat Ibunya senang, justru sebalinya dia akan sangat bersedih melihat Ryan yang terlalu menderita atas kehilangannya.

Ryan mendengar dengan baik segala hal yang Ryuna katakan, dan mendengarkan semua itu benar-benar membuatnya merasa jauh lebih baik.

"Makasih, ya." Ryan menatap Ryuna dengan mata yang terlihat bengkak karena terlalu banyak menangis.

"Sama-sama." Ryuna tersenyum melihat Ryan. Walaupun wajah gadis itu melukis senyum, jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa sangat gelisah dan takut ini. Takut akan apa yang terjadi dengan masa depannya kelak, bagaimana caranya melanjutkan hidup, dan dengan siapa?

Apakah Ryan akan bisa menerima dirinya dengan kondisi yang memprihatinkan seperti saat ini, dan apakah Ryan akan bertanggung jawab penuh atas apa yang telah terjadi kepadanya? Bagaimana kalau dia tida mau bertanggung jawab?

Andai saja Ryan tidak ingin bertanggung jawab, haruskah Ryuna melakukan aborsi agar bisa membuang nyawa kecil yang kini ada di dalam dirinya? Haruskah hal keji itu dilakukan? Haruskah ia benar-benar membunuh nyawa tak berdosa itu?

Haruskah nyawa kecil tak berdosa itu dibunuh, bahkan sebelum dia bisa melihat dunia ini? Haruskah?

"Aaaaaaaa!" Suara teriakan Ryuna bergema di dalam ruangan kecil dengan selimut tebal dan hangat yang menyelimuti dirinya, dan tepat di sampingnya ada Ryan yang terlihat kaget mendengar teriakkannya yang keras dan tiba-tiba.

"Ryuna, kamu baik-baik aja?" Ryan langsung saja bertanya dengan menatap Ryuna dengan penuh kekhawatiran, sedangkan Ryuna saat ini sedang tidak bisa berpikir dengan jernih. Ryuna masih sangat bingung, kenapa tiba-tiba dia ada di dalam ruangan yang terlihat seperti klinik atau semacamnya ini?

"Apa yang terjadi?" Langsung saja Ryuna bertanya kepada Ryan ketika dirinya tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Dalam ingatan terakhirnya, sebelumnya ia masih ada di taman, duduk dan berbicara dengan Ryan. Tetapi, saat ia membuka matanya tiba-tiba saja ia sudah berada di tempat yang terlihat asing baginya.

"Kamu nggak ingat apa-apa?" Ryan melihat Ryuna dengan takut, bahkan tangannya pun terlihat bergetar.

Ryuna menggelengkan kepalanya pelan. Saat ini ia benar-benar tidak bisa mengingat apa yang terjadi, yang ada dalam ingatannya kini hanyalah detik-detik disaat ia bertanya kepada dirinya sendiri tentang haruskah dia membunuh nyawa kecil yang kini ada di dalam dirinya.

Mengingat akan hal itu Ryuna langsung saja memegang perutnya dengan erat, memeriksa apakah nyawa kecil itu masih baik-baik saja atau justru dia benar-benar telah mati kini?

"B-bagaimana ini?" Air mata langsung saja jatuh dari mata Ryuna ketika merasakan perutnya yang kini tidak terasa sakit lagi.

'Apa dia benar-benar mati?'