Daerah pinggiran kota kerap menjadi daerah yang paling sering menyuplai narkoba jenis baru yang dikirim pada sekelompok mafia bengis. Lalu di dagangkan lagi ke beberapa orang kaya yang membutuhkan 'pelampiasan' dari rasa depresi mereka yang tak berujung.
Kota dimana kejahatan tumbuh seiring waktu, serta kesenjangan sosial yang terlihat jelas dari bangunan dan lingkungan yang kumuh. Pemerintah seolah ingin menghilangkan kota Stonburg dari peta negara mereka.
Hal itulah yang menimbulkan kebencian para warga terhadap pemimpin negara, mereka merasa di telantarkan dan tak dianggap. Namun, karena usaha haram yang di jalankan selama bertahun-tahun, membuat kota Stonburg menjadi kota berkumpulnya para penjahat dan mafia.
Sampai pada suatu saat, pemerintah akhirnya bergerak untuk memusnahkan perdagangan barang haram yang terjadi di wilayah kota Stonburg. Orang-orang yang memiliki kekuasaan besar ingin memusnahkan bukti, bahwa mereka pernah terlibat dalam perdagangan narkoba yang terjadi di kota ini. Mereka memutuskan untuk membuang narkoba itu dan melarutkannya ke sebuah sumur tua yang berada di kota tersebut.
Tanpa mereka tau, air sumur itu ternyata di konsumsi warga Stonburg, narkoba itu juga membuat parasit yang ada dalam air bermutasi dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Beberapa hari setelah polisi menyita semua barang haram itu, warga Stonburg mengeluhkan kondisi mereka yang diperburuk dengan mahalnya tarif rumah sakit. Namun, seorang dokter bernama Morgan Vasquez rela memberikan pengobatan secara gratis untuk siapa saja. Sebab dulu, mendiang istrinya meninggal karena Morgan tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang mahal kala itu.
"Pak Morgan, ada seorang pasien yang membutuhkan pertolongan segera!" kata seorang perawat, Morgan kemudian segera bergegas menghampiri orang yang menggelepar diatas brankar. Dia mengerang dan sangat kesakitan.
"Dokter, tolong suami saya..." isak sang Istri.
"Bagaimana dia bisa seperti ini?" tanya Morgan, matanya membelalak kaget melihat kondisi pasien yang seperti habis terbakar.
"Tidak tau, dia baru saja meminum air... Kulitnya seperti ini... Tolong dia, dok!"
"Baiklah, bawa dia, sus."
"Oke, dok," jawab sang suster.
🍃🍃🍃
"Nicholas, beritau pada Ibu, apa mereka merundungmu lagi?" tanya Jane.
Situasi antara ibu dan anak ini lagi-lagi berada di batas keheningan.
Anak satu-satunya dari keluarga Haviland itu hanya terdiam sambil menyuapkan roti isi ke dalam mulutnya, dia duduk bersebrangan dengan sang Ibu di meja makan ini. Sang kepala keluarga sedang bertugas di laut lepas sebagai Tentara Angkatan Laut, jadi mereka hanya tinggal berdua di rumah sebesar ini.
Jane memandang wajah Nicholas yang murung, dia lalu mendengus penat. Entah sampai kapan Nicholas akan terus bungkam seperti itu, Jane lalu tak sengaja melihat lengan Nicholas yang sedikit memar.
Wanita itu lalu kembali bertanya. "Tidak apa-apa menjadi pendiam, tapi, sesekali bicaralah, supaya mereka tidak merendahkanmu. Katakan padaku, bagaimana harimu di sekolah?"
"Tidak ada," jawab Nicholas tak acuh.
"Apa maksudmu tidak ada? Ibu melihat memar di lenganmu! Kau bilang tidak ada?!" Jane sedikit menaikkan intonasinya.
"Apa bagusnya Ibu tau? Toh, itu tidak akan menyelesaikan apapun."
"Seorang Ibu berhak tau apa yang terjadi pada anaknya, Nicholas. Kamu pun tau itu!"
"Kalaupun Ibu peduli padaku, mengapa aku selalu sendirian?"
Kalimat Nicholas membungkam Jane, wanita itu menatap tak percaya pada Putranya. "Maaf, Ibu terlalu sibuk untuk menemanimu... Dan Ayahmu, dia sedang bertugas... Jadi—"
"Kalau begitu, berhenti pura-pura peduli padaku!"
"Asal kamu tau, Nicholas. Cinta Ibu itu sepanjang masa. Meskipun Ibu terlihat sibuk bekerja. Ibu selalu memperhatikanmu. Ibu selalu sayang padamu, pada Ayahmu. Bukan salah Ibu jika tidak punya waktu untuk dihabiskan bersamamu, tapi, Ibu mengorbankan hidup ibu untuk orang lain, Nicholas... Ibu mohon, mengertilah..." ujar Jane.
Alih-alih meluluh, Nicholas malah berucap, "Aku sudah muak menjadi seseorang yang pengertian."