[Maafkan aku]
[Toshiki, Makoto, tugas kalian kali ini adalah melindungi Ibu]
[Tomie, bawa mereka berdua jauh dari sini dengan selamat]
[Maaf, maaf, maaf]
.
.
.
Ken membuka matanya lebar-lebar. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Dadanya berdegup kencang, tidak beraturan. Telinganya berdengung-dengung. Pikirannya kusut berkecamuk. Kepalanya hampir pecah.
Getar ponsel yang tergeletak di samping bantal membuat pandangan Ken teralihkan dari langit-langit kamarnya yang redup. Panggilan masuk dari Yasuhiro. Ken mengambil benda elektronik itu dengan tangannya yang kuyup oleh keringat dingin. Sebelum menjawab panggilan, ia melihat waktu yang tertera di layar ponselnya. Baru jam enam pagi.
"Oh? Ada apa pagi-pagi begini?"
Ken tidak mendengar suara apapun di seberang sana. Laki-laki itu bangkit dari posisi berbaringnya, kemudian menatap layar ponselnya yang masih tersambung dengan Yasuhiro.
"Yasu?"
[Ah, maaf. Tanganku bergerak sendiri]
Suara Yasuhiro terdengar bergetar di telinga Ken. Keningnya berkerut. "Kau yakin tidak apa-apa? Kau sakit? Atau mimpi buruk?"
Untuk kedua kalinya, Yasuhiro tidak langsung menjawab pertanyaan Ken. Ia bahkan hampir mempercayai tebakannya karena gelagat yang ditunjukkan Yasuhiro sangat tidak biasa. Tidak lama setelah itu, Ken akhirnya baru bisa mendengar suara helaan napas.
[Hm. Aku baik-baik saja. Kututup, ya. Maaf sudah membangunkanmu]
Panggilan terputus tepat setelah Yasuhiro menyelesaikan ucapannya.
Ken menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Matanya tertuju pada tanggal dan jam yang terpampang di layar utama ponselnya.
Hari ke-23 di akhir tahun. Hari libur nasional yang selalu dirayakan dengan meriah di seluruh penjuru kota, terutama di pusat kota, tempat perayaan utama berlangsung. Ketteibi, orang-orang menyebutnya begitu. Hari Penentuan, bagi para remaja yang telah beranjak 17 tahun dan berhak mengklaim energi elemen yang bersemayam dalam tubuh masing-masing. Karena perayaan itu diselenggarakan bagi remaja yang telah menginjak 17 tahun, usia yang dianggap sebagai awal dari fase kedewasaan, tidak jarang orang menyebutnya sebagai Seijukubi, yang berarti Perayaan Kedewasaan.
Ketika masih kecil, sama seperti anak-anak pada umumnya, Ken menganggap Ketteibi sebagai hari raya yang paling ditunggu-tunggu selain hari ulang tahunnya. Di hari itu, para Elementalis—sebutan bagi orang-orang dewasa yang telah mengklaim kekuatan elemen masing-masing dan tergabung dalam Empat Kelompok Besar—yang berada di seluruh penjuru kota mengadakan parade keliling sambil memamerkan kemampuannya masing-masing. Bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk bergabung melihat perayaan inti di pusat kota, parade itu menjadi pelipur lara dan penyemarak suasana di kota-kota kecil yang berada jauh dari pusat kota.
Empat tahun lalu, saat Suzume menjadi bagian dari peserta yang berkesempatan untuk mengklaim energi elemennya, Ken merasa iri dan ingin cepat-cepat menyusul kakaknya. Bagi Ken kecil, para peserta yang berdiri di arena adalah orang-orang keren. Oleh karena itu, saat melihat kakaknya berhasil mengeluarkan energi elemennya untuk yang pertama kali, Ken ingin menjadi sepertinya dan orang-orang keren yang dilihatnya di arena.
Ken membuka lebar-lebar gorden yang menghalangi masuknya cahaya matahari ke kamarnya, kemudian menatap suasana jalan di sekitar rumahnya yang ramai dihiasi bendera-bendera dan spanduk-spanduk aneka warna sesuai simbol dari Empat Kelompok Besar. Ken membuka jendela, menatap kosong keramaian warna yang ada di bawahnya. "Aku tidak ingin pergi."
"Hah? Aku tidak salah dengar?"
Ken menoleh ke arah asal suara. Suzume membuka pintu kamarnya dengan alis terangkat heran. Perempuan itu membuka lebih lebar pintu kamar adiknya dan masuk lebih dalam menghampiri si pemilik kamar. Sepasang mata bulat yang dilihat Suzume mengingatkannya pada seorang anak kecil ingusan bermulut besar yang setiap hari selalu mengganggu ketentraman dan kedamaian telinganya.
"Kau sakit?"
"Entahlah," jawab Ken mengambang. "Aku merasa sehat, tapi aku juga merasa tidak mood untuk melakukan apapun atau pergi ke manapun. Hei, sebenarnya sakit itu cirinya seperti apa?"
Rahang Suzume jatuh bebas. Tangannya bergerak mencubit pipi Ken, kemudian bergerak naik ke keningnya yang tertutupi rambut-rambut berantakan. Kulit Ken terasa cukup hangat di cuaca sedingin itu dengan kondisi jendela terbuka dan pakaian berbahan tipis. Suzume menjauhkan tangannya, tapi bukan karena panik oleh suhuh tubuh Ken melainkan karena tangannya yang terasa basah dan lengket oleh keringat Ken.
"Hei, nee-chan."
Suzume kembali dibuat terkejut, untuk kesekian kalinya. Selama tujuh belas tahun menjadi satu-satunya kakak Ken, Suzume tidak pernah mendengar laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan onee-chan, nee-chan, atau minimal onee-san. Anak nakal itu sejak awal hanya memanggil namanya dengan berisik dan tanpa sopan santun, membuat harapannya yang ingin dipanggil onee-chan pudar dan lenyap terlupakan.
Namun ketika akhirnya saat itu tiba, Suzume justru panik setengah mati. Perempuan itu mencengkeram kuat-kuat bahu Ken. Laki-laki itu hanya memberinya tatapan bingung, kemudian bergerak menutup jendela.
"Hmph, tidak jadi. Ekspresimu menyebalkan."
Satu pukulan kencang mendarat tepat di atas kepala Ken. Laki-laki itu mengaduh kesakitan. Ia mengusap-usap sambil tidak lupa melindungi batok kepalanya untuk meminimalisir adanya serangan kedua. Matanya yang berair mendongak, menatap Suzume yang berdiri dengan posisi tangan terkepal.
"Kalau ada yang mau kamu katakan, katakan!" geram Suzume dengan suara rendah dan penuh penekanan. Sorot matanya menyala-nyala, membuat Ken merasa terintimidasi dan tersudutkan. "Sebelum kesabaranku benar-benar habis, Ken."
Dering singkat dari ponsel Ken membuat kakak beradik itu mengalihkan fokusnya ke arah benda elektronik yang tergeletak di atas tempat tidur. Ken melangkah lebar, meraih ponselnya, lalu memeriksa pesan masuk dengan nama Chikara tertampang di sana. Suzume memanjangkan leher, masih memantau adiknya dengan tatapan siap membunuh.
Ken melangkah menuju lemari sambil memanjangkan tangan untuk menyalakan lampu kamar. Suasana kamar yang redup seketika berubah jadi terang-benderang. Ken melihat isi lemarinya sebentar, lalu mengambil jaketnya yang berwarna hitam dan celana panjang warna senada.
"Mandi dulu sana. Wajah kusutmu tidak enak dilihat."
Ken melirik Suzume dengan penuh antisipasi, tapi yang dilihatnya perempuan itu justru mengacak-acak rambut Ken sambil mendorong punggungnya ke luar dan membawanya turun ke kamar mandi. Ken menahan langkahnya sebelum berhasil terdorong masuk hingga kamar mandi. Suzume menatapnya dengan alis terangkat dan kening berkerut samar.
"Hei, Suzume, aku merasa agak takut hari ini. Apa menurutmu itu aneh?"
Perempuan berambut panjang itu menatap lekat-lekat mata Ken yang tampak bersungguh-sungguh, tapi juga terlihat sedikit sorot kebingungan di sana. Suzume menghela napas. Kekehan geli tidak bisa ia tahan. Ken yang sudah menurunkan egonya semaksimal mungkin untuk menanyakan perihal itu seketika menyesal.
"Tenang saja! Aku akan datang melihatmu di arena. Panggil saja nama onee-chan kalau kamu merasa takut, seperti yang biasa kamu lakukan ketika masih bocah."
Tangan Ken terkepal erat.
"Aku tidak pernah melakukan itu!!!"
Geraman kekesalan Ken membuat kedua orang tuanya yang sedari tadi mengamati anak-anaknya dari meja makan seketika bersiaga, mencegah kemungkinan terburuk akan terjadinya Perang Saudara. Laki-laki itu membanting pintu kamar mandi dengan kasar, membuat Suzume yang masih belum beranjak dari tempatnya terkejut dan refleks bergerak mundur. Namun setelahnya, ia tertawa pelan sambil berlalu menghampiri meja makan.
"Hehe … maaf, maaf. Setidaknya dengan begitu, rasa takutnya bisa dikesampingkan."
***
Seingat Ken, waktu berkumpul yang telah disepakatinya bersama teman-temannya adalah pukul delapan. Namun ketika sampai di stasiun yang dijanjikan, Ken sudah melihat teman-temannya berkumpul di satu titik. Bahkan, Sano dan teman-teman perempuannya juga sudah ada di sana, asyik berbaur dan mengobrol akrab dengan kedua temannya.
Yah … Ken tidak salah hitung karena Kazuhiko memang belum terlihat.
Orang pertama yang menyadari kedatangan Ken adalah Sano dan Chikara. Sano dengan semangat membara dan wajah kemerahan menahan hawa dingin melambaikan tangannya tinggi-tinggi, mungkin supaya Ken lebih mudah menemui mereka. Perempuan berambut pendek itu tampak terbenam dalam lilitan syal merah mudanya, juga dalam balutan jaket bulu dan rok motif kotak-kotaknya. Ken membalas sapaan gadis itu dengan senyum ala kadarnya sambil menepuk pelan telapak tangan mungilnya yang terbuka lebar dan masih dalam keadaan terangkat setinggi bahu. Tanpa menyadari dampak dari perbuatannya, Ken berlalu begitu saja menghampiri kedua temannya.
Untungnya, tidak lama kemudian Kazuhiko datang sambil berlari dengan napas terengah-engah sebelum Ken dan kedua temannya memutuskan untuk meninggalkan laki-laki itu. Tanpa perlu dikonfirmasi pun, mereka bertiga tahu kalau Kazuhiko baru saja bangun, terlihat jelas dari rambut bangun tidurnya yang sangat berantakan karena belum sempat dirapikan. Meskipun begitu, teman-teman perempuan Sano tampaknya tidak menganggap pemandangan yang tersuguh di depan matanya adalah sesuatu yang mengusik mata, mengganggu, atau bahkan menjijikkan. Justru sebaliknya.
Di dalam kereta, mereka berdiri berdekat-dekatan dan saling berhimpit-himpitan. Dalam posisi seperti itu, mereka harus bersabar sampai dua puluh menit ke depan sampai kereta tiba di stasiun pusat kota.
Sebelum-sebelumnya, Ken jarang pergi ke pusat kota. Mungkin kalau dihitung jumlah totalnya, termasuk kepergiannya hari ini, tidak sampai sepuluh kali ia pergi ke sana. Meskipun begitu, Ken sudah hapal betapa ramainya stasiun-stasiun serta kesesakan yang dibuat akibat jumlah penumpang yang membludak di setiap gerbongnya. Itu suasana di hari libur biasa. Di hari libur nasional seperti Ketteibi ini bisa lebih sesak lagi.
Ken menghela napas panjang. Tangannya merogoh isi tas pinggangnya. Dari sana, ia mengeluarkan bungkus-bungkus kecil berisi kue beras yang dibuat ibunya bersama Suzume. Ken memakan sebungkus, lalu menawarkan sisanya pada Sano dan teman-teman perempuannya yang berdiri di sampingnya.
Dua puluh menit berlalu dengan cepat. Kereta yang mereka tumpangi akhirnya sampai di stasiun pusat kota. Stasiun yang berada persis di hadapan arena gelanggang bagi para remaja 17 tahun yang sebentar lagi akan mengetahui bakat elemennya masing-masing.
Sambil menunggu lampu penyeberangan jalan berubah warna, Ken dan teman-temannya menatap lurus bangunan besar yang berdiri angkuh di hadapan mereka. Bendera-bendera dan spanduk-spanduk aneka warna tersebar sejauh mata memandang. Beragam ekspresi tercetak di wajah para remaja yang ikut menunggu lampu penyeberangan bersama Ken dan kawan-kawan.
Ken mengalihkan pandangannya sesaat kemudian, mencoba meredamkan perasaan tidak terjelaskan yang bersarang dalam dadanya.