Morita. Selama 17 tahun ini, Ken merasa belum pernah memiliki hubungan pertemanan dengan seseorang yang memiliki nama keluarga Morita. Yang diingat hanyalah Mori, temannya sewaktu SMP; Morii, teman sekelasnya sewaktu kelas satu SMA dan sekarang telah pindah ke kota lain; atau Morisuke-kun, temannya sewaktu SD.
Baru akhir-akhir ini ia mengenal seseorang dengan nama Morita. Pertama, pria aneh eksentrik yang ternyata adalah teman lama ibunya. Kedua, orang asing yang tiba-tiba mengiriminya pesan dari game online dengan nama akun Junmo.
Morita pertama yang dikenalnya memiliki kesan pria dewasa sok misterius, tapi di sisi lain Ken tidak bisa mengabaikan informasi yang dimilikinya. Morita kedua ini … bagaimana Ken harus menyebutnya? Ken tidak pernah mengalami kebetulan yang secepat ini. Maksudnya, baru beberapa jam lalu Morita Abe menyebut-nyebut anaknya, kemudian seseorang yang mengaku bernama Morita Jun menghampirinya. Kebetulan ini terlalu aneh menurut Ken. Dia sendiri bahkan ragu kalau Morita Jun ini adalah anak dari Morita Abe, atau sekadar memiliki hubungan kekeluargaan dengan pria itu.
Penasaran, Ken pun mencoba menggali sedikit informasi tentang si Morita kedua.
[Morita Abe?]
[Kau tahu ayahku?]
Kerutan di kening Ken semakin dalam. Ia bahkan tidak lagi tertarik melanjutkan permainannya. Yang Ken perlukan saat ini adalah untuk bertanya lebih lanjut pada sosok Morita Jun.
[Aku tidak menguntitmu! Aku hanya pernah mendengar namamu, dan kebetulan melihat namamu di game yang kumainkan]
[Aku bahkan tidak menyangka kalau tebakanku benar dan kalau kau mengenal ayahku]
Ken menjauhkan kesepuluh jarinya dari papan keyboard. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi. Ken mencoba memikirkan kemungkinan bahwa orang ini adalah benar anak Morita Abe. Kalau pun benar begitu, berarti orang itu mendengar nama Ken dari ayahnya, dan itu terdengar cukup masuk akal.
Ken mencoba memastikan praduganya dengan menanyakan satu pertanyaan lagi.
[Aku baru 17, tahun ini]
[Mungkin yang dimaksud ayahku itu abangku]
Itu dia!
Ken lupa kalau sebelumnya Mori-san menyebutkan bahwa anaknya yang disebut-sebut merupakan bagian dari salah satu Elementor Terpilih adalah anak keduanya. Berarti, Morita Jun adalah anak ketiga sementara sosok Elementor Terpilih ini adalah kakak laki-lakinya, si anak kedua.
Setelah bisa menyimpulkan sedikit-sedikit, Ken baru menyadari bahwa umurnya dengan Morita Jun sama-sama 17 tahun, yang berarti besok, ia punya kesempatan berada di satu tempat yang sama dengannya walaupun kemungkinan bertemu dengannya sangatlah kecil. Ken sendiri bahkan tidak tahu-menahu tentang Morita Jun selain namanya.
[Entahlah, akhir-akhir ini abangku tidak suka berurusan dengan orang selain keluarganya atau teman-teman dekatnya]
[Berharap saja kau bisa bertemu dengannya besok]
Sebenarnya, Ken masih ingin menanyakan beberapa pertanyaan minor yang bisa menuntunnya pada sesuatu. Sayangnya, setelah mengirim kedua pesan itu, lingkaran hijau yang berada di sebelah nama akun Morita Jun berubah menjadi lingkaran berwarna merah. Dia sudah offline. Ken menghela napas panjang sambil memundurkan kursinya hingga nyaris membentur sisi tempat tidurnya.
"Besok, kah?" gumam Ken sambil menatap langit-langit kamar. "Cepat juga rasanya."
Ken berdiri dari kursinya dan dengan perlahan membuka gorden yang menutupi jendela kamarnya. Langit masih belum benar-benar terang, tapi sinar mentari pagi sudah tampak dari kejauhan dan menyorotkan kemilaunya. Salju turun lebih banyak dari hari kemarin. Embusan angin dingin seketika menyelimuti setiap inci kulit Ken ketika ia membuka jendela. Ken menghela napas, membuat uap hangat keluar dari mulutnya.
"Sejuk."
***
Hari itu, Ken berhasil merealisasikan rencana liburannya. Bukannya malas keluar, Ken hanya tidak tahu mau menghabiskan waktu liburan di mana jika ia keluar rumah. Ia bahkan tidak yakin ketiga temannya tidak punya rencana apapun hari ini sehingga bisa diajak ke luar. Untungnya, seluruh anggota keluarga Ken hari itu juga sepemikiran dengannya. Bahkan, kedua orang tuanya tidak terlalu mempermasalahkan Suzume yang baru keluar kamar ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ken juga tidak mendengar satu pun omelan ibunya hari itu ketika memergoki Ken terus-terusan di kamar dan fokus di depan komputer.
"Ken."
Si pemilik nama hanya melirik, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke arah layar komputer sementara jemarinya terus bergerak dengan liar. Suzume yang sebelumnya hanya memasukkan kepalanya dari celah kecil pintu yang terbuka, membuka pintu lebih lebar dan selangkah masuk ke dalam. Perempuan itu mengamati sekeliling kamar Ken yang terbilang cukup rapi untuk ukuran kamar laki-laki.
Suzume melangkah mendekati meja Ken. Matanya tidak tertuju ke arah layar komputer yang sedang menampilkan adegan pertempuran dengan sekumpulan zombi. Ia lebih tertarik pada secarik kertas yang ada di samping tumpukan komik Ken. Suzume mengambil kertas itu, lalu mengamatinya.
"Kamu dapat ini dari mana, Ken?"
"Hm?" Ken melirik lagi, lalu melirik kertas kecil yang berada dalam genggaman tangan kakaknya. "Itu teman lama Ibu, yang kuceritakan tempo hari. Aku bertemu dengannya lagi kemarin, lalu dia memberi kartu namanya padaku."
Ken meneruskan permainannya. Sementara itu, Suzume mengamati nama yang terukir di kartu nama itu dengan mata menyipit. Tiba-tiba saja, ia melotot dan meletakkan kembali kartu nama itu dengan agak kasar di tempat ia tadi mengambilnya. Ken yang masih fokus dengan permainannya tiba-tiba terkejut ketika Suzume memukul mejanya. Laki-laki itu sampai menghentikan permainannya sebentar untuk melihat ekspresi kesal yang terpampang jelas di wajah kakak perempuannya.
"Suzume?"
Perempuan itu tersadar dari gejolak amarah yang tiba-tiba naik sampai ke ubun-ubunnya. Ia menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Di wajahnya yang masih tersirat kemarahan, Suzume berkata, "Jangan sampai kamu bertemu dengan anaknya! Pokoknya jangan!"
Setelah mengatakan itu, Suzume keluar dari kamar Ken dan masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di samping kamar Ken sambil membanting pintu. Ken terkejut untuk kedua kalinya atas ulah tangan kasar kakaknya. Ken berpikir sebentar, mencoba memproses alasan mengapa Suzume kelihatannya sangat membenci anak dari Morita Abe.
Ken melirik kartu nama yang tergeletak di atas meja, lalu mengambilnya. Di bawah nama si pemilik kartu nama, tertera sebuah alamat yang Ken tebak adalah kantornya. Di bawahnya lagi, terdapat dua buah nomor telepon. Nomor pertama terlihat lebih singkat daripada nomor kedua. Sambil menimbang-nimbang, Ken meraih ponsel, lalu mengetikkan nomor kedua di ponselnya, dan melakukan panggilan.
Panggilan tidak langsung terjawab. Ken mencoba melakukan panggilan yang kedua, dan untungnya kali ini diangkat. Suara pria di seberang sana tampak terkekeh-kekeh geli sementara Ken menahan kekesalannya. Tanpa berbasa-basi, Ken menyuarakan niatnya dan meminta persetujuan pada lawan bicaranya. Pria itu masih terdengar tertawa-tawa, kemudian menyetujuinya dan mengusulkan tempat yang sama dengan tempat yang kemarin mereka singgahi. Ken mengangguk, melihat jam dinding, lalu mengusulkan waktu bertemu. Setelah berkali-kali menentukan waktu yang tepat, Ken langsung memutuskan sambungan.
Ken menyimpan data permainannya, lalu mematikan komputernya. Ia meraih dan mengenakan jaket yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Orang tuanya sudah tidak terlihat di ruang tengah. Mungkin keluar, pikir Ken karena televisi dalam keadaan mati dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dapur. Sebelum benar-benar ke luar, Ken berteriak pada Suzume yang langsung dibalas perempuan itu dari ujung tangga lantai dua dengan teriakan pula.
Hari sudah siang, tapi berkat datangnya musim dingin sinar matahari jadi tidak terasa semenyengat ketika musim panas. Ken menutupi kepalanya dengan tudung jaket supaya salju yang menempel di pepohonan tinggi tidak menetes dan membasahi rambutnya. Orang-orang yang berlalu lalang tampak melangkah penuh kehati-hatian. Anak-anak terlihat bersemangat bermain lempar bola salju dengan jaket-jaket tebal yang membuatnya terlihat sama bulatnya dengan tumpukan salju yang mereka buat. Saat itu, Ken baru menyadari bahwa ia hanya memakai jaket dengan celana pendek selutut. Beberapa orang meliriknya sambil menenggelamkan diri ke dalam baju hangat masing-masing. Namun yang dirasakan Ken, ia tidak terlalu merasa kedinginan.
Beruntung, Ken adalah tipe orang yang mahir mengingat lokasi dan arah sehingga ia masih bisa mengingat lokasi kedai makanan manis tempatnya berbincang dengan Morita Abe kemarin. Kedai itu masih sama seperti kemarin, hanya saja lebih terlihat menyilaukan akibat spanduk-spanduk promosi besar berwarna putih yang terpasang di setiap sudut kedai. Ken masuk ke kedai yang langsung disambut oleh pria tinggi berperut buncit. Pemilik kedai itu mengantar Ken ke salah satu meja di pojok ruangan dan mengatakan bahwa temannya, Morita Abe, akan sedikit terlambat.
Secangkir teh hangat tersaji di meja Ken. Laki-laki itu menatap kepulan uap tipis yang mengudara di sekitar minumannya, kemudian sepasang matanya menangkap sosok pria jangkung memasuki kedai dan menghampiri mejanya. Pria itu segera menyebutkan pesanannya pada si pemilik kedai dan meminta maaf pada Ken atas keterlambatannya yang sebenarnya tidak terlalu dipermasalahkan oleh Ken.
"Maaf ya, Mori-san, sudah memanggil Anda di hari sibuk begini," kata Ken saat menyadari penampilan pria di hadapannya tampak lebih formal dibanding hari-hari sebelumnya. Bahkan, kalung nama yang menjuntai sampai ke dada itu masih melingkari lehernya.
Mori justru tertawa. "Agak aneh melihatmu merasa bersalah begini setelah kemarin kamu terus-terusan mencurigaiku. Tapi tidak apa-apa. Santai saja, Boy! Kalau tidak begini, saya tidak bisa menyelinap keluar untuk sekadar mengistirahatkan tubuhku."
Ken seketika menyesal dan ingin menarik kata-kata penuh perhatiannya.
"Lalu? Apa yang ingin kamu tanyakan? Tentang anakku yang kemarin kuceritakan? Oh, atau jangan-jangan kamu sudah bertemu dengannya?!"
"Bukan itu. Aku juga belum bertemu dengannya," jawab Ken seadanya. "Aku hanya ingin tahu seperti apa kira-kira suasana saat Ketteibi besok."
Mori terdiam, tampak tidak menyangka Ken akan menanyakan hal itu.
"Sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Kamu datang saat pelantikan kakakmu, 'kan?"
Ken menggeleng. "Maksudku, suasana Ketteibi dalam sudut pandang peserta, bukan penonton."
Mori bergumam panjang. "Kamu gugup? Atau kamu merasa takut karena topik yang kita bicarakan kemarin? Persoalan Elementor Terpilih itu?"
Ken menggeleng lagi, tapi tidak menyuarakan alasannya karena ia tidak menemukannya. Laki-laki itu hanya terdiam sambil menatap sembarang arah. Tiba-tiba saja kebimbangan itu berkerumun dan bertumpuk dalam pikiran Ken. Pikirannya semakin berkecamuk.
"Selama berurusan dengan administrasi anggota baru dari prosesi Ketteibi, saya menemukan tiga wajah. Yang pertama, semangat. Kedua, biasa saja. Terakhir, gugup. Jadi, kalau kamu merasa gugup, itu bukan sesuatu yang aneh, Ken-kun. Tidak perlu berpura-pura semangat kalau sebenarnya kamu merasa gugup, atau sebaliknya. Jadilah dirimu sendiri. Itu kuncinya selama proses Ketteibi berlangsung supaya keluaran energi yang muncul optimal."
"Memangnya kenapa kalau output energi tidak optimal?"
Mori tampak tersenyum tipis, lalu menyeruput tehnya. "Kamu akan kesulitan mengontrol elemenmu ketika ingin digunakan atau tidak ingin digunakan."
"Apa hubungannya dengan harus menjadi diri sendiri?"
Dalam sudut pandang Morita Abe, Imai Ken tidak lebih dari sekadar remaja yang belum tahu banyak dan ingin menggali lebih perihal yang belum diketahuinya. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak merasa terganggu dengan pertanyaan bertubi yang terus diarahkan Ken padanya. Hanya saja, ia tidak menyangka bahwa anak itu memiliki tingkat kekeraskepalaan yang cukup tinggi meskipun hanya terlihat dari ekspresi di wajahnya. Sekuat tenaga, Morita menahan diri untuk tidak tertawa.
"Aliran energi yang ada dalam diri seseorang terbentuk dari kepribadiannya masing-masing," jawab Morita Abe sambil memerhatikan lekat-lekat perubahan ekspresi di wajah Ken. Ia segera mengarahkan pandangannya ke arah lain ketika wajah penasaran Ken hampir membuat pertahanannya hancur. "Anggap saja begini. Ken-kun tidak suka dengan makan makanan manis. Kalau Ken-kun bohong dan pura-pura menikmati apa yang tidak kamu suka, tubuhmu tidak bisa ikut berbohong dan akibatnya makanan itu akan langsung kamu muntahkan."
Walaupun pengandaian yang pria itu angkat agaknya tidak pas, tapi kurang lebih Ken dapat memahaminya. Sorot mata Ken tampak redup. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap tumpukan salju berwarna putih bersih yang berserakan di sudut-sudut jalan. Seketika, Ken ingin ke luar dan menenggelamkan diri dalam tumpukan salju itu daripada mendengar penjelasan pria di hadapannya.
"Sama halnya dengan energi elemen." Pria di hadapan Ken membuka jendela, membiarkan angin dingin menerpa wajah keduanya. Dia mengarahkan telunjuknya ke arah ranting pohon bersalju yang berjarak lima meter dari jendela. Ranting pohon itu menjulur mendekat, kemudian mengitari kelima jari Morita Abe yang masih dalam posisi terjulur ke luar jendela. Ken menatapnya takut-takut karena ranting pohon itu bergerak layaknya ular bersisik dedaunan kecil dan gumpalan-gumpalan salju. "Kalau Ken-kun membohongi dirimu sendiri, tubuhmu akan memberontak. Aliran energi yang ingin kamu keluarkan tidak akan merespons dengan baik. Akibatnya hanya ada dua kemungkinan."
"Apa?"
Morita Abe mengacungkan satu jari. "Meledak. Kamu tidak bisa menahannya sehingga energi itu akan selalu keluar meskipun kamu tidak ingin mengeluarkannya, atau bahkan menggunakannya."
Ken menelan saliva, menunggu Morita melanjutkan kalimatnya beriringan dengan acungan jarinya yang kedua.
"Yang kedua ini kasusnya sangat jarang, tapi saya tidak bilang ini mustahil terjadi," katanya, membuat Ken semakin penasaran. "Menghilang. Aliran energi itu akan terputus. Kamu tidak bisa mengeluarkan energi apapun. Seolah-olah mereka lenyap begitu saja."