Chereads / Elemental Destruction [Bahasa] / Chapter 6 - The Key-Holding Man (2)

Chapter 6 - The Key-Holding Man (2)

Ken membatu. Di wajahnya, terdapat kombinasi antara terkejut dan tidak percaya. Remaja itu menyipitkan mata, mencondongkan wajah mendekati lawan bicaranya, sambil mengorek lubang telinganya.

"Siapa?"

Walaupun terlihat samar, gurat seringai itu hadir di wajah Mori. "Anak kedua saya. Umurnya tahun ini sudah 19. Namun karena dia lahir di awal tahun, sebentar lagi dia sudah hampir 20 tahun."

Ken semakin tidak percaya. "Eh? Kenapa bisa begitu?!"

Mori mengerjapkan mata. "Apanya?"

"Elementor Terpilih! Anda tidak sedang bercanda, 'kan?! Lagi pula, kalaupun benar Elementor Terpilih itu ada, kenapa mereka tidak dipilih dari usia yang sama?!"

Di kepala Ken saat itu penuh dengan pertanyaan, tapi ia baru bisa menanyakan sebagain kecilnya yang bahkan tidak lebih dari 25% dari keseluruhannya. Selain itu, Ken masih belum bisa percaya sepenuhnya pada penjelasan Mori, terlebih lagi pada Elementor Terpilih. Ia hampir mengira Mori sudah gila karena menganggapnya adalah bagian dari Elementor Terpilih itu. Namun ….

"Saya tidak akan bercanda dengan topik seserius ini," kata Mori dengan santai, sama sekali tidak memedulikan wajah bingung Ken yang sudah berada pada level maksimal. "Mungkin karena sejak abad-21 tidak ada lagi ditemukan konflik-konflik antarkelompok elemen, keempat Elementor itu tidak lagi dipilih dari kalangan usia yang sama. Yah … itu menurut saya. Ah, omong-omong anak saya ini sama seperti ayahnya. Jikai. Laki-laki."

Ken masih menunjukkan wajah tidak percaya. "Dari mana Mori-san bisa tahun kalau dia adalah salah satu dari empat Elementor Terpilih? Apa sewaktu Ketteibi, energinya itu bisa terdeteksi bahwa dia adalah Elementor Terpilih?"

Mori bergumam sambil mengelus dagunya yang bersih tanpa janggut. "Kalau Ken-kun bilang 'terdeteksi', agak keliru sebetulnya. Hanya saja, energi yang dikeluarkannya saat itu memang terbilang berbeda dari anak-anak lain. Efeknya membuat dua arena rusak sampai satu bulan setelahnya."

Perasaan tidak enak melingkupi dada Ken. Ia merasa agak bersalah. Ia ingin bersimpati, tapi tidak tahu untuk alasan apa.

"Bagaimana dengan dia? Apa dia baik-baik saja sampai saat ini?"

Mori terkekeh ringan. Pria itu, entah mengapa dan dari mana, dapat merasakan empati dari pertanyaan Ken. "Anak itu sehat. Hanya saja, dia jadi sedikit berubah. Anak itu, yang dulunya liar dan nakal, sekarang jadi agak tertutup. Hanya pada keluarganya dia bisa membuka diri."

Dering ponsel Ken membuat keheningan yang mengudara di antara kedua laki-laki itu lenyap sesaat. Ken melirik Mori, yang dibalasnya dengan anggukan singkat. Suara ibunya kemudian terdengar sedetik setelah Ken menempelkan ponselnya ke telinga. Omelannya tidak lebih untuk menyuruhnya segera pulang. Ken mengiyakan tanpa banyak protes meskipun dalam hatinya tidak terima karena ia merasa sudah besar dan tidak perlu diingatkan untuk pulang sebelum matahari terbenam.

"Ibumu?"

Ken mengangguk, pundaknya meluruh lesu. Mori tertawa lepas.

"Pulanglah. Saya tidak mau wanita itu menyalahkanku karena sudah menculik anaknya," kata Mori sambil mengibas-ibaskan tangan, mempersilakan Ken mengikuti perintah ibunya, yang justru ditanggapi Ken sebagai usiran. "Oh iya, Ken-kun, jangan sungkan hubungi saya kalau masih ada yang ingin kamu tanyakan. Hubungi saya juga kalau-kalau kamu ingin bicara dengan anak saya. Ah, mungkin kalau kamu minta tolong lewat kakakmu juga bisa."

Ken berlalu meninggalkan Mori dengan kening berkerut dalam.

***

Ken mengistirahatkan kepalanya yang pening dengan tidur. Ia langsung tertidur setelah makan malam. Satu hal mustahil yang tidak pernah Ken lakukan ketika dirinya menginjak remaja. Dia bahkan melupakan video game yang baru dibelinya, yang rencananya ingin dia maikan setelah sampai rumah.

Karena tertidur di waktu yang terbilang sangat cepat, Ken jadi terbangun di waktu yang juga tidak biasa. Laki-laki itu menaikkan pandangan, mengamati jarum jam di dinding kamarnya. Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Suatu keajaiban bagi Ken bangun di jam empat pagi pada hari libur sekolah.

Ken berniat menyalakan komputer dan bermain game untuk membunuh waktu karena matanya sudah sangat segar dan tidak ada tanda-tanda ingin terpejam lagi dalam waktu dekat. Namun, niat itu terhenti ketika ponselnya bergetar. Nama kakaknya yang tertera di layar membuat Ken kebingungan setengah mati.

"Apa, sih? Kamarmu 'kan bersebelahan denganku," gerutu Ken ketika menjawab panggilan dari kakak perempuannya. Ken bangun dari posisi rebah, menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Tiba-tiba, ia mendengar sesuatu yang janggal dari balik panggilan. "Suzume? Kenapa ada suara klakson mobil? Kau di mana?!"

"Dari rumah temanku. Sebentar lagi aku sampai rumah, bukakan pintu untukku, Ken."

Ken melotot. Sedetik sebelum ia melontarkan omelannya, Ken baru menyadari bahwa hari itu adalah hari libur akhir tahun. Kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada salahnya kalau kakaknya pergi menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Masalahnya, siapa teman yang Suzume maksud? Perempuan atau laki-laki?!

"Suzume!" geram Ken dengan suara tertahan agar tidak terdengar sampai ke kamar orang tuanya. Laki-laki itu meraih asal jaket yang ada di kaitan pintu, lalu membuka pintu kamar dengan hati-hati. "Kakakku tidak berubah jadi perempuan nakal, 'kan?"

"Ken!!!" Si pemilik nama otomatis menjauhkan ponselnya dari telinga ketika Suzume meneriakkan namanya dengan nada kesal tak terhingga. "Berani-beraninya! Aku pergi minum dengan teman-teman kampus dan hanya sampai jam sebelas malam! Dan kalau kau masih belum puas, aku menginap di rumah teman perempuanku!"

Ken mengelus dada. Ia membuka pintu rumah pelan-pelan, melangkah mendekati pagar, dan menoleh ke segala arah mencari kehadiran kakaknya di antara banyaknya tikungan yang ada. Namun, orang yang dicari-cari tidak kunjung terlihat.

"Kau di mana?! Katanya sudah hampir sampai rumah?"

Tidak terdengar jawaban dari Suzume. Anehnya, Ken masih dapat mendengar suara berisik-berisik di seberang sana. Ia menunggu selama beberapa saat, sampai akhirnya sebuah mobil dari tikungan di sebelah kanan jalan lewat dan berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Pintu belakang mobil terbuka dan Suzume muncul dari sana.

Kaca mobil di kursi depan turun secara perlahan, menampilkan wajah perempuan berambut pirang pendek yang tersenyum geli pada Ken. Ken yang bingung mengerjapkan mata, melirik perempuan itu kemudian beralih pada kakaknya.

"Halo, otōtō-kun*!" sapa perempuan itu pada Ken. Matanya mengedip genit, lalu tertawa geli. "Aku sudah mengantar kakakmu dengan selamat sampai rumah, jadi jangan marah padaku, oke? Sampai jumpa, Imai bersaudara!"

Setelah mobil berlalu dan lenyap memasuki tikungan di ujung jalan, Ken melirik kakaknya yang masih berdiri di sampingnya. Suzume sebenarnya menyadari arah tatapan Ken, hanya saja ia berpura-pura tidak menyadarinya dan berbalik masuk ke dalam rumah. Mengantuk, alasan andalan yang Suzume pakai. Perempuan 21 tahun itu bahkan berpura-pura menguap untuk menunjukkan pada adiknya bahwa ia tidak sedang berbohong.

"Ken, ayo cepat masuk! Di luar masih gelap. Kakakkmu ini sudah sangat mengantuk. Kamu bisa melanjutkan tidur dengan tenang sekarang," kata Suzume dengan suara pelan sambil masuk mengendap-endap. Ken mengamatinya dengan muka datar. "Aku ke kamar, ya! Oyasumi*, Adik Kesayangan!"

Ken menatap punggung kakaknya yang menaiki tangga dengan langkah cepat namun tanpa suara. Matanya menyipit, keningnya mengerut. "Adik kesayangan apanya?!"

Laki-laki itu masuk ke dalam kamar, melepas jaket, dan duduk di kursi sambil menyalakan komputer. Sambil menunggu komputernya benar-benar menyala, Ken iseng membuka ponsel dan memeriksa obrolan grup kelasnya yang tidak ia buka sejak sampai ke rumah. Karena jumlah obrolan yang belum terbaca menunjukkan angka nyaris seribu, Ken langsung melompat ke obrolan paling akhir. Tidak terlalu penting ternyata. Hanya ocehan-ocehan yang mayoritas mengekspresikan kegembiraan menjelang Ketteibi dan tahun baru.

Ken melempar ponselnya ke kasur dan mulai sibuk pada tampilan game di layar komputernya. Tidak ada yang terlihat online selain dirinya di sana. Ken paham karena hari masih sangat pagi. Para pemain level hardcore—begitu Ken menyebutnya—bahkan tanpa sadar mungkin sudah jatuh tertidur dan baru akan online kembali ketika matahari telah berada di puncak singgasananya.

Di kamar yang gelap itu hanya terdengar suara keyboard komputer Ken yang ditekannya dengan cepat. Jemarinya yang telah andal begitu lincah menekan-nekan tombolnya tanpa perlu melirik barang sedetik pun untuk mengetahui letak tombol yang ingin ditekannya. Tanpa sadar, laki-laki itu telah menghabiskan waktu selama dua jam lebih. Matanya masih memelototi layar komputer, sama sekali tidak menyadari seberkas sinar mentari pagi yang menyelinap masuk dari celah gorden yang menutupi jendela kamarnya.

[1 pesan dari _junmo99]

Di tengah-tengah permainannya, suara notifikasi di komputernya berdenting pelan dan menampilkan pop-up pesan masuk. Ken menghentikan permainannya sesaat sambil mengamati nama akun yang mengiriminya pesan pribadi. Seingat Ken, ia tidak pernah menyetujui konfirmasi pertemanan dari seseorang dengan akun bernama Junmo atau yang sejenisnya.

Karena penasaran, Ken membuka pop-up pesan itu.

[Namamu Imai?]

"Hah?" Alis Ken terangkat tinggi. "Apa-apaan?"

Belum tuntas rasa penasarannya, sebuah pesan masuk kembali muncul dari akun yang sama. Sepertinya, si pemilik akun memang sengaja ingin mencari momen mengobrol dengan Ken.

[Maaf kalau salah orang, aku hanya merasa pernah dengar nama itu]

Secara impulsif, Ken menggerakkan jemarinya dan membalas pesan itu dengan jawaban sejujur-jujurnya. Supaya terlihat adil, ia balik menanyakan identitas si pemilik akun yang menamakan dirinya Junmo. Tidak perlu menunggu lama, pesan balasan diterima Ken.

[Morita]

[Morita Jun]

..

otōtō-kun* (sapaan untuk memanggil adik laki-laki seseorang)

oyasumi* (ucapan selamat tidur; Suzume mengucapkan itu dalam konteks untuk menghindari Ken agar bisa cepat pergi dan memperkuat alasan berbohongnya)