Sebetulnya, Ken tidak terlalu suka dengan makan-makanan manis. Ia menatap Morita Abe yang sudah sibuk dengan segelas teh hangat dan beberapa kue dango pesanannya. Ekspresi bahagia terpancar jelas di wajah perseginya. Laki-laki itu makan dengan lahap tanpa memedulikan Ken yang sedang menatapnya dengan curiga sekaligus penasaran.
"Ah … sudah lama rasanya lidahku tidak mencicipi yang manis-manis," gumam Mori sambil menatap makanannya dengan tatapan memuja. "Kamu tahu, Ken-kun, di Jikai, saya selalu disuguhi kopi. Setiap hari kopi. Besoknya kopi lagi. Besok-besoknya itu juga. Sampai bosan saya dengan kopi, dan akhirnya memilih minur air putih saja. Baru kali ini lagi saya makan makanan manis. Rasanya seperti terlahir kembali."
Ken tersenyum sopan. "Selera Mori-san sepertinya berbanding terbalik denganku."
Mori mengalihkan pandangannya pada Ken, menatap laki-laki berjaket merah itu dengan kekecewaan yang teramat jelas. "Sayang sekali. Padahal ibumu satu selera denganku. Oleh sebab itu waktu masih sekolah, dia orang nomor satu yang paling bisa kuajak berburu makan makanan manis. Kamu tahu sendiri 'kan, jarang ada laki-laki yang suka makan makanan manis."
"Aah … um."
Ken merasa sedang dipermainkan. Ia mengamati pria di hadapannya dengan tatapan menilai, tapi ia tidak bisa menemukan kata kunci apapun mengenai orang itu. Sebaliknya, pria itu seperti sudah hapal luar dan dalam mengenai dirinya. Mau tidak mau, Ken meningkatkan kewaspadaannya. Ia tidak akan pernah tahu pergerakan orang macam Mori yang tampak luarnya terlihat ramah, tapi di dalamnya mungkin menyimpan penuh kelicikan.
"Aku sebenarnya tidak mau mengatakan ini secara terburu-buru, tapi sepertinya Ken-kun tidak ingin berlama-lama denganku," Mori akhirnya bersuara setelah cukup lama menikmati surga duniawinya. Ken diam saja, menunggu pria di hadapannya meneruskan ucapannya. Mori tersenyum kecil, matanya menyipit. "Ken-kun, pernah dengar istilah 'Elementor Terpilih'?"
Alis Ken terangkat tinggi. "Hah?"
Mata sipit Mori mengamati kebingungan yang terpahat di wajah Ken. "Hm … kalau begitu bagaimana kalau saya memberi kuliah singkat tentang sejarah penguasaan Elemen? Pelajaran itu sudah diajarkan sejak kelas satu, 'kan?"
"Terima kasih, tapi aku—"
Sayangnya, penolakan Ken tidak didengar.
"Kamu sudah tahu 'kan, dulu elemen yang terkenal hanya ada empat: api, udara, bumi, dan air. Oleh karena itu, sampai sekarang hanya empat kelompok besar itulah yang punya andil besar karena pada saat itu mereka tinggal dan membentuk wilayah keresidenannya secara terpisah dan berjarak-jarak. Aturannya pun ketat. Tidak boleh ada pernikahan selain antara sesama pengguna elemen di suatu keresidenan."
Ken tahu itu. Ken bahkan berpikir ia sangat beruntung tidak terlahir di zaman itu karena jika itu terjadi, ia merasa kebebasannya telah direnggut secara paksa, bahkan sejak ia lahir.
"Kita langsung lompat ke kejadian perpecahan Empat Kelompok Besar, saya lupa tahun berapa, yang akhirnya membuat banyak perubahan sampai saat ini. Kelihatannya memang seperti sudah damai, sudah selesai, tapi kenyataannya masih ada perang dingin di antara beberapa kelompok. Saya tidak perlu jelaskan karena rasanya ... remaja seumuran kamu sudah bisa menebak."
Ken tidak tahu kalau ternyata masih ada perang dingin di antara Empat Kelompok Besar setelah insiden perpecahan pada akhir tahun 1800-an. Dalam hati, Ken merasa telah mendengar suatu rahasia negara yang seharusnya tidak dia dengar. Namun, Mori tampak begitu lancar dan santai membeberkannya tanpa merasa bersalah dan terus saja bercerita.
"Kalau Ken-kun masih ingat tentang latar belakang terjadinya perpecahan di antara Empat Kelompok Besar, pasti kamu setuju kalau Higami adalah dalang di balik semua itu."
"Tidak juga," potong Ken.
Mori sedikit terperanjat karena dia tidak menyangka Ken benar-benar menyimak kuliah dadakannya, bahkan sampai memberikan sanggahan. Mori berdeham, kembali melanjutkan, "Yah … sebenarnya karena gosip itu, beberapa tahun setelahnya terjadi perang lanjutan dalam skala kecil. Namun, saya baru menyadari bahwa fakta itu tidak tercatat dalam buku sejarah, di jenjang pendidikan manapun."
Kali ini Ken benar-benar terkejut sampai kedua matanya membelalak.
Tiba-tiba Ken terkesiap, lalu menoleh ke sekeliling dengan raut wajah panik. Mori yang menyadari perubahan sikap itu terkekeh, lalu menepuk bahu Ken sambil mengibas-ibaskan tangan seolah sedang mengusir lalat yang mengerubungi kepalanya.
"Tenang saja. Kedai ini milik teman baikku. Semua rahasia, apapun itu, tidak akan pernah bocor ke manapun," kata Mori sambil mengedikkan dagu pada seorang pria berperut buncit dengan apron putih. Pria yang sedang menyandar di meja kasir itu menyeringai geli ketika menyadari tatapan Mori, lalu melambaikan satu tangan. "Lihat, 'kan? Lagi pula, kedai ini letaknya terpencil dan tidak pernah terjangkau orang-orang besar selain saya."
"Oi, aku dengar itu!"
Ken mengamati reaksi natural Mori dengan si pemilik kedai. Sepertinya, pria yang duduk di hadapannya ini punya banyak koneksi. Pertama, ibunya. Kedua, orang-orang besar di organisasi Jikai, atau mungkin keempatnya. Ketiga, si pemilik kedai—merangkap markas—dengan tempat paling aman untuk membeberkan suatu rahasia.
Untuk saat ini, sepertinya Ken tidak punya pilihan selain mendegar penjelasan Mori lebih lanjut demi membabat habis tanda tanya dalam kepalanya yang semakin beranak pinak.
"Eh … sampai mana tadi, ya," sambung Mori setelah puas bercanda dengan si pemilik kedai. Ken mengingatkan. "Oh, iya. Jadi, saya mulai mencari-cari tahu penyebab mengapa kejadian itu tidak ikut tercatat dalam buku sejarah murid-murid. Kemudian, informasi yang saya dapat dari teman di jajaran Futen, adalah supaya warga sipil tidak membesar-besarkannya dan jadi berakhir membuat mitos dan cerita yang mengada-ada."
Mori menyeruput tehnya, meraba tepiannya dengan ujung ibu jari. "Kalau dipikir-pikir lagi, sedikit dapat diterima. Maksud saya, siapa yang tidak akan berpikir kalau mungkin saja … semua itu ada hubungannya dengan para pendahulu yang mati terfitnah padahal dirinya tidak bersalah sama sekali. Begini ya, Ken-kun, setelah kejadian perpecahan itu, saya bilang kalau ada lagi perang lanjutan dalam skala kecil. Itu bukan sekali atau dua kali, tapi pada tahun-tahun berikutnya juga. Hanya saja, sejak masuk tahun 2000, tidak ada lagi konflik-konflik yang melibatkan Empat Kelompok Besar."
"Tapi, Mori-san, kalau tiba-tiba berhenti begitu saja … apa itu tidak lebih aneh?"
"Benar!" Mori menjentikkan jarinya. "Konflik yang sama terjadi lagi bertahun-tahun setelah insiden besar itu, tapi kenapa tiba-tiba berhenti di tengah jalan? Bukan maksud saya tidak senang kalau konflik itu sudah selesai. Hanya saja, ekor masalah ini tidak terlihat jelas. Kalaupun memang sudah terselesaikan, bagaimana dan kapan? Catatan terakhir yang saya amati terjadi pada sekitar tahun 1950 atau 1960-an. Konflik di antara Empat Kelompok Besar tiba-tiba saja terselesaikan. Gerbang-gerbang keresidenan antarkelompok dihancurkan sebagai pertanda dan permulaan bahwa para pengguna elemen boleh bersosialisasi dan menjalin hubungan erat dengan anggota elemen mana pun."
Kedua laki-laki itu saling tatap. Segala informasi yang ada di kepala keduanya seolah tersalurkan hanya dari tatapan lekat mereka.
"Masih belum waktunya, kah?" simpul Ken ragu. Mori tidak bisa memberi jawaban pasti selain mengedikkan bahu. "Karena tahun ini juga tidak ada sesuatu yang menggemparkan dan juga sudah masuk akhir tahun, kemungkinan tahun depan …."
"Yah … kemungkinan itu rasionya 50:50, bukan 1:99," tanggap Mori sambil memasukkan kembali makanan manis yang masih tersisa di piringnya. Ken mendengkus pelan. "Jadi, apa Ken-kun sudah bisa menyimpulkan mengapa konflik itu terulang lagi dalam versi lebih kecil bertahun-tahun setelahnya, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tandanya lagi?"
Ken tampak ragu untuk menjawab. Ken sendiri bahkan merasa aneh pada keraguannya karena ia tahu bahwa pertanyaan ini tidak menentukan nilai rapor atau bahkan menjadi kriteria pendukung kelulusannya.
"Salah satu dari Empat Kelompok Besar tidak terima mereka dijadikan kambing hitam, makanya mereka balas dendam. Lalu, pemerintah membekuk mereka sehingga sampai tahun ini tidak ada konflik yang melibatkan para pengguna elemen."
"Jalan pikirmu terlalu lurus, Ken-kun."
Entah mengapa Ken merasa kesal meskipun dia bisa menebak kalau jawabannya salah.
"Kalau itu hanya untuk balas dendam, atau setidak-tidaknya untuk membela diri, mengapa hanya terjadi setiap sekali setahun? Dan mengapa hanya setiap akhir tahun? Kalaupun dibekuk pemerintah, pasti tetap ada saja bentuk konflik yang kecil-kecil, yang tidak bisa dijangkau pemerintah."
"Lalu?"
Mori menatap Ken serius. Wajah kerasnya terlihat cukup mengintimadasi. "Ini ada hubungannya dengan para pendahulu yang punya kuasa dan tanggung jawab besar dalam Empat Kelompok Besar. Ada yang percaya bahwa keempat pemimpin besar itu mengirimkan energi dan kekuatannya kepada penerus-penerusnya, yang membuat konflik itu terjadi lagi pada tahun-tahun berikutnya. Jadi, ini bukan reinkarnasi atau kerasukan arwah pendahulu. Lebih seperti mewariskan energi dan kekuatan."
Ken terdiam, kemudian menghela napas. "Mori-san, jalan pikir Anda terlalu tradisional. Mistikal."
"Kalau hanya saya yang memiliki jalan pikir mistikal seperti itu, tidak akan pernah lahir istilah 'Elementor Terpilih', Ken-kun. Orang-orang dewasa, yang kebanyakan ada di posisi netral, juga berpikir seperti yang saya pikirkan. Bahwasannya, di setiap tahun akan ada empat orang pengguna elemen, dalam Empat Kelompok Besar, yang terpilih untuk mewariskan energi dari Empat Pemimpin Besar. Keempat pengguna elemen terpilih itulah yang memiliki andil dan tanggung jawab untuk menangani nasib kelompoknya."
"Heh …." Ken memperlihatkan raut wajah tidak mengenakkan. Matanya menyipit. Alis kanannya terangkat. Keningnya berkerut dalam. "Keterlaluan sekali. Bisa-bisanya mereka, yang bahkan dapat gelar sebagai Empat Pemimpin Besar, justru melimpahkan kesalahan dan kekesalannya pada para penerusnya."
"Imai Ken," tegur Mori, tapi Ken hanya meliriknya dengan ekspresi yang belum berubah.
"Maaf, tapi aku tidak berniat menarik kata-kataku sebelumnya." Ken meneguk habis teh dalam gelas porselennya. "Jadi, apa saat ini Mori-san berpikir kalau aku adalah salah satu dari empat Elementor Terpilih itu?"
Mori mengangguk. "Benar. Setidaknya, begitu menurut saya."
Ken menyeringai. "Oh, begitu. Jadi, Anda berpikir bahwa saya adalah salah satu dari empat Elementor Terpilih. Apa mungkin, tiga orang yang lain adalah teman-teman sekelasku? Kebetulan kami berempat sudah berteman lama sejak masih kecil."
"Tidak," jawab Mori tanpa keraguan sama sekali. "Kalau satu atau dua orang lagi, mungkin saja. Sebab satu orang lagi adalah anakku."