Mereka sudah sampai di depan gedung, keluar dari mobil dan segera masuk, menuju ruang rawat Dara, untuk yang ke sekian kali nya.
"Dingin?"
Renata kembali bertanya, sudah beberapa kali dia melontarkan pertanyaan itu, mencair kan suasana yang beku.
"Nanya itu terus, kalau iya, emang lu mau dan ngizinin gua buat make lagi?" tanya Leo tetap menatap kedepan tanpa menoleh, baginya Renata aneh, sekedar memakai Hoodie yang sama apa masalah nya ?
"Nggak," jawab nya datar.
"Yaudah."
Hening.
Mereka tiba di depan ruangan yang menjadi satu-satunya tujuan saat ini. Renata melihat dari kaca jendela, sementara Leo sudah memegang kenop pintu dan dalam hitungan detik siap membuka nya.
"Eh Kar."
Suara Renata membuat aktivitas lelaki itu tertahan, Leo menghadap Renata heran, "apa?"
"Sini deh," panggil Renata, Leo menurut dan beralih ke sana.
"Apa? Liat apa dari jendela?"
Renata menarik ujung lengah baju lelaki itu, sehingga Leo mendekat, dan jarak antara mereka menipis.
"Leo kenapa?"
Bukan nya malah melihat ke dalam jendela, Leo malah menatap Renata lekat-lekat, dan Renata menganggap Leo ini lemot.
Ketahui lah, jantung Leo seperti ingin copot detik itu juga, menatap Renata adalah hal fatal bagi jantung nya.
"Bukan gua yang harus lu liat, tapi itu."
Leo mengedip saat Renata menyelesaikan perkataan nya, oke, kali ini dia harus fokus, tidak boleh salah fokus, bisa-bisa jantung nya benaran copot nanti.
"Siapa tuh?" tanya Leo menatap jendela.
"Itu Cakra, mending kita nggak usah masuk dulu, bi-"
"Gak, gua mau masuk sekarang," potong nya membantah, siapa yang peduli ada Cakra di dalam sana ?
"Keras kepala! Biarin Cakra dul-"
"Cakra kenal Dara?"
Renata membulat kan mata nya, mengingat jika Cakra ada di dalam sana dan Dara? Lalu Leo yang terlihat tidak suka dengan pemandangan ini?
Seingat nya Leo hanya bercerita Cuma dia dan Leo yang tau, tapi sekarang? Renata bingung.
Leo berfikir keras, mencari alasan atau mungkin akan bercerita sekarang tentang semua nya.
"Ada yang gua tau dan lu gak tau Nat, tapi pas waktu nya udah tepat, gua janji apa yang gua tau bakal lu tau."
Mendengar ini Renata mengernyit. "Rahasia?"
Leo mengangguk.
Renata terdiam, dia tau posisi nya, tidak ada yang spesial, dia tau batas dan dia sadar apa itu arti privasi.
"Maaf Nat."
"Buat apa?"
"Gue belum bisa kasih tau lu."
Renata tersenyum.
"Gapapa, di dunia ini memang harus ada yang di rahasia kan," jawab gadis itu.
"Leo bijak, gua suka."
Ucapan itu lolos begitu saja dari bibir Leo, membuat Renata lagi-lagi mengernyit dan untuk kesekian kali nya Leo merutuki diri nya sendiri.
"Maksud lu?"
Leo menggeleng.
"Oke," jawab Renata tidak paham, dia rasa menjawab 'oke' adalah hal terbaik saat ini.
Renata menarik tangan lelaki itu, menuntun nya menjauh dari kamar rawat Dara, mungkin belum saat nya dia tau lebih dalam tentang dunia Leo.
Leo menurut, lalu menyejajarkan langkah nya dengan Renata.
"Kar, gua mau cerita sesuatu."
"Cerita?"
"Jadi-"
"Cerita di rooftop, gua males di liatin sama cewek-cewek di sini, sekarang gua tau ketampanan gua gak kenal tempat."
Renata berdecak, sungguh lelaki di samping nya ini memiliki tingkat ke geeran yang sangat tinggi.
Kini Leo memimpin jalan, dan Renata mengikuti dari belakang, tampak nya lelaki itu tau tempat-tempat tertentu di Rumah Sakit ini.
Beberapa menit setelah mengikuti Leo, mereka tiba di rooftop, udara malam tentu sangat dingin dan menusuk tulang, gelap nya langit menambah nuansa ketenangan.
Semua insan akan merasa nyaman jika berada di sini.
"Sini." Leo menepuk-nepuk lantai di samping nya, memberi kode agar wanita yang masih berdiri itu duduk di samping nya.
Renata mengangguk, lalu duduk, mendongak kan kepala nya, menatap bintang yang bersinar mendampingi bulan.
"Cerita apa?"
Seolah tidak mendengar pertanyaan Leo, Renata yang asik menatap bintang malah menjawab. "Di salah satu bintang itu, gua yakin, papa yang paling bersinar." Dia menumpukan dagu nya di antara lutut, kepala nya masih mendongak.
Sewaktu masih bersama sang papa, Jack – papa Renata, selalu berkata jika bintang adalah jiwa mereka yang telah meninggalkan dunia untuk selama nya, Renata tau jika hal itu tidak benar-benar terjadi, namun bagi gadis itu, papa nya akan selalu terlihat saat dia melihat bintang yang paling bersinar terang.
Leo tidak lupa tentang itu. "Iya, gua yakin kalau papa lu yang paling bersinar, orang-orang percaya kalau bintang itu bentuk dari orang yang udah meninggal, tapi gua belum yakin sebelum gua alami sendiri Nat."
"Sttt! Mulut nya ya!" Renata menepuk mulut Leo pelan dengan tangan nya.
"Gak berasa." Leo mengejek.
Renata tau, tangan kecil nya tidak memiliki alasan untuk membuat Leo merasakan sakit.
"Mau cerita apa? Udah jam setengah delapan, ntar nyokap lu marah kalau pulang kemaleman," Leo mengingat kan.
Renata mengangguk, seketika dia kembali teringat akan kejadian Bianca tadi.
"Jadi, tadi kak Bianca ngechat gua, tapi gua gak tau itu kak Bianca atau nggak, soal nya gua gak nge save nomor dia, tapi dia ninggalin nama nya di akhir pesan," jelas Renata mengawali.
Leo mangguk-mangguk, mengerti dengan apa yang di deskripsikan gadis itu.
"Nomor nya berapa coba lu kasih tau, gua samain sama yang di kontak gua."
Mereka sama-sama mengambil handphone yang berada di saku.
"Ini."
Renata menunjuk kan nomor yang tertera, lalu Leo menyamakan nomor itu dengan nomor yang ada di kontak handphone nya.
"Sama."
"Emang kata nya apa?" sambung Laksar.
"Kata nya, dia bakal jadi saudara tiri gua dan mama bakal jadi nyokap tiri nya dia, aneh gak sih? Mama aja gak kenal sama dia." Di akhir kalimat Renata mendengus, mimpi buruk jika hal itu nyata.
"Seriusan Nat?"
Leo tampak tidak percaya dengan apa yang di ucapkan Renata, namun anggukan gadis di samping nya ini membuat dia percaya.
"Coba lu tanya ke nyokap nanti, kalau emang benar, gua gak bisa bayangin nasib lu."
Leo berdecak, lalu menggeleng-geleng kepala nya, menakuti Renata adalah hobby nya, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk itu, dia menyembunyikan senyum iblis nya.
Namun di lubuk hati nya, dia takut itu adalah hal yang dalam waktu dekat akan menjadi realita.
"Maksud nya gimana?" tanya Renata dengan nada khawatir.
"Leo jangan buat gua mikir yang macam-macam Kar." Mimik wajah gadis itu sangat serius.
"Leo tau kan, kalau kebanyakan orang punya orang tua tiri, apalagi itu di jadiin bokap dan kita punya saudara tiri pasti bakal jahat, dan-" makin lama mata Leo mulai membulat, semangat nya sangat ber kobar, sementara Renata bersusah payah menelan saliva nya.
"Dan apa?" tanya nya kikuk, dia mulai berkeringat dingin, pasal nya Renata mulai teringat dengan cerita di wattpad yang dia baca tadi.
"Dan hidup lu bakal jadi kayak Cinderella, apalagi kalau Io sodaraan sama Bianca yang gak berakhlak."
Kini Renata menatap lelaki itu lekat lekat, begitu pula Leo.
"Gue takut," ujar nya pelan.
"Tenang ada gua." Leo menenangkan perempuan itu, seolah dia adalah lelaki yang dapat membuat Renata lebih tenang dan aman, tapi di dalam diri nya, dia bersorak, senang sekali melihat Renata dengan ekspresi seperti itu.
"Gue gak mau kalau posisi papa ke ganti di hati mama dan di keluarga, gua udah cukup punya satu papa, gua gak mau nambah lagi." Renata menggeleng kuat, mata nya berkaca.
Bagi nya Jack adalah papa nya satu-satunya walau pun sudah tiada, tapi Jack itu adalah kekal di hati Renata, dan itu tidak bisa di ganggu dengan apapun.
"Ya udah lu sebagai anak kan punya hak buat nolak, tante Emily juga baik banget, iya kali nyokap lu mau lu kesiksa lahir batin Nat."
"Tapi kalau itu buat mama bahagia, gua bakal izinin."
"Dan lu kesiksa?"
"Gue bahagia, gua gapapa, tapi semoga ini Cuma akal-akalan kak Bianca." Renata menghela napas panjang.
***