Jam istirahat ke 2 tiba.
Renata duduk di kelas sendirian, Lian sedang pergi ke kantin bersama dengan Wisma, Arga dan Gibran. Ya begitu lah, mereka sudah akrab.
Hari ini Renata membawa bekal, jadi dia merasa malas untuk sekedar ke kantin.
Apalagi dia menerapkan sistem menabung uang jajan untuk menambah-nambah uang tabungan berjaga-jaga, siapa tau dia ada keperluan mendadak yang tidak bisa di tunda untuk di penuhi.
Dua hari semenjak kepulangan Emily dan Jason, hidup nya menjadi lebih tenang dan nyaman.
Bianca pun lebih banyak diluar rumah karna sibuk dengan kuliah nya. Itu lebih baik dari pada gadis itu berada di rumah.
Renata menatap bekal nya sebentar, lalu menyendok kan nasi dan menyuapkan nya ke mulut, ini enak.
Nasi goreng Emily memang menu favorit nya, meski sekarang sudah mendingin, wajar jika telah mendingin, karena itu sejak pagi dan sekarang sudah tidak bisa di bilang masih pagi.
"Cak."
Sapa Renata ketika mata nya melihat Cakra masuk, lelaki itu membawa serta minuman botol di tangan nya.
Cakra membuka tutup botol dan meneguk nya.
"Ya Nat, bawa bekel lu, gak bagi-bagi lagi."
Cakra menggeser kursi di hadapan Renata agar memberi dia celah untuk duduk.
"Emang lu mau?" tawar Renata.
"Bagi gua paha ayam dong, lu juga ga nyentuh gua liat Cuma fokus ke nasi goreng nya doang."
Renata memajukan dagu nya menunjuk ke paha ayam yang masih utuh tidak tersentuh itu.
"Ambil aja."
Cakra mengambil ayam itu dengan santai nya, lalu mulai mengunyah, bagi nya mendapat makanan gratis itu sangat lah indah, walau sebetul nya dia bisa membeli benda apapun itu kapan saja.
Cakra memperhatikan wajah Renata dengan seksama, sedetik kemudian dia tertawa karna menyadari ada yang menganggu di wajah cantik itu.
"Lu kek di film-film aja dah."
Renata mengernyit kan kening nya, apa yang seperti film?
Menghiraukan omongan Cakra, Renata terus melanjutkan aktivitas nya untuk makan, melihat ini Cakra tersenyum, bahkan perempuan di depan nya ini tidak peduli dengan penampilan diri sendiri.
"Itu di ujung bibir lu ada nasi nempel," di ujung kalimat lagi-lagi lelaki itu tertawa.
"Mana?"
Tangan gadis itu meraba-raba mulut nya untuk menemukan apa yang baru saja di bicarakan Cakra. Nasi yang menempel itu harus segera dia temukan agar lelaki di hadapan nya ini berhenti menertawakan hal yang tidak seharusnya dia tertawa kan.
"Nggak ada, wah lu becandain gua ya Cak."
"Dih, gak ya, sini gua aja yang ambil, ogah gua di tuduh-tuduh sama lu."
Untuk ke sekian kali lelaki itu menyelipkan tawa di kalimat nya.
Tangan Cakra yang tadi nya memegang botol minum kini mengambil nasi yang menempel di ujung bibir Renata. Dengan niat yang baik, membersihkan nama nya dari tuduhan Renata dan yang terutama membersihkan nasi itu dari wajah nya, walau hanya satu tapi itu juga masalah bagi penampilan.
"Nah, ini kan ada, lu gak percaya sih sama
Gua."
Melihat nasi di ujung jari Cakra, Renata ber oh saja.
"Eh menurut lu gimana sama persami lusa? Ikut kan?"
Cakra berfikir sejenak, semalam dia juga berfikir untuk mengambil keputusan ter at harus bagaimana.
Dia harus ikut atau sebalik nya, Cakra mengambil nafas setelah dia tau apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini.
"Nggak, gua ada urusan."
"Penting banget? Kemah ini kan Cuma sekali-sekali doang."
Cakra mangguk-mangguk.
'Kemah ini emang Cuma sekali Nat, tapi bisa di adain sendiri di lain waktu walau nggak rame rame, sementara kesempatan gua jagain Dara itu gak bakal datang lagi kalau sampe hal itu terjadi.' Cakra membatin.
"Heh, kok malah ngelamun? Lu kerasukan gua kabur nih."
"Eh."
"Emang urusan lu yang penting banget itu apaan?"
"Inti nya penting banget, kalau gitu gua ke kawan-kawan gua dulu, btw makasih ayam nya."
Cakra langsung pergi, membuat kening Renata lagi-lagi berkerut, heran, tentu dia heran, seperti nya lelaki itu menyembunyikan hal penting.
Tidak mau ambil pusing gadis itu menutup kotak bekal nya, mengaruk kulit kepala nya yang tidak gatal, apa masalah lelaki serumit itu?
Dan dari balik jendela, dia memperhatikan semua itu, Leo.
Bukh!!
Satu hantaman mendarat di rahang bawah lelaki itu, membuat bekas yang tampak jelas di sana.
"Lu apa-apaan sih Le! Jangan asal mukul lu!"
Cakra yang tersungkur kembali bangkit, tangan kanan nya memegang bagian wajah yang di hantam oleh tangan Leo tadi.
"Lu apa-apaan?! Lu yang apa-apaan bangsat! Lu itu uda cari kesempatan dalam kesempitan kan! Ngapain lu deket-deket sama Renata hah?!"
Bukh
Bukh
Entah apa yang membuat Leo semarah ini hingga dia tidak berfikir panjang saat mendaratkan pukulan-pukulan pada Cakra.
Bukh
Lelaki itu mendarat kan pukulan lagi, kali ini di perut Cakra, lelaki itu jatuh, tidak bisa menjaga keseimbangan nya.
Cakra memegangi perut nya, nyeri.
"Lu Cuma salah paham Le!" Tidak terlintas di pikiran lelaki itu untuk membalas perlakuan Leo, dia tau sahabat kecil nya ini hanya termakan emosi semata.
"Lu tau kan! Kalau semua perempuan yang deket-deket lu bakal celaka semua?! Lu tau kan? Ingat Cak ingat! Bukan Cuma Dara doang yang jadi korban! Lu-"
Leo menunjuk Cakra berapi-api, tajam dan mematikan.
Dia menjeda kalimat nya, mengatur nafas nya yang sesak.
"Lu, lu juga uda bunuh Alexa Cak! Lu sebab Alexa mati, lu!"
Cakra mematung, ingatan nya kembali ke kejadian 5 tahun yang lalu.
Brukh.
Cakra mendarat kan lutut nya kasar ke lantai tanah.
Mereka sekarang berada di halaman belakang sekolah yang sama sekali tidak ada orang, kecuali mereka.
"Alexa itu mati karna lu! Dan Dara nyaris jadi korban, dulu pas lu ngilang rasa gua itu jauh lebih baik, kondisi Dara membaik, tapi saat Lu datang, kondisi Dara jadi buruk lagi dan itu karna lu, gua gak mau kalau Renata juga keseret-seret di masalah lu!"
Leo benar, karna dia, jika saja dia tidak terlahir mungkin Alexa masih hidup, dan kondisi Dara tidak seperti saat ini. Itu yang terlintas di pikiran Cakra.
Bukh
Cakra mendarat kan pukulan nya di permukaan tanah, dada nya terasa sesak.
Dia benci kenyataan apalagi jika membahas masa lalu nya yang sangat buruk dan kelam.
"Kalau lu mau Renata tetap baik-baik aja, jauhin dia Cak, jangan sampe dia sayang sama lu lebih dari teman."
"Gua paham." Cakra masih bertumpu pada tanah.
"Gua minta maaf Cak."
Setelah mengucap kan kalimat itu Leo pergi. Benar jika dia benci dengan Cakra karna kejadian itu, namun bagaimana pun juga, banyak suka duka yang mereka hadapi dulu.
Cakra, lelaki itu adalah sahabat nya sendiri, berbuat sekejam itu adalah siksaan bagi nya, tapi keadaan dan emosi membuat nya harus seperti itu.