"Paman, bagaimana kabar tante Sekar sekarang?" tanya Cakra, dia masih syok karna cerita Alex.
"Sekar sudah meninggal sehari setelah memberi sumpah atau sebut saja kutukan itu, aku dengar dia meninggal karna bunuh diri, seminggu setelah itu ayah dari mama mu meninggal karna serangan jantung."
Cakra makin terkejut, "apa tante Sekar ada keluarga paman? Aku ingin minta maaf dan menanyakan hal-hal mengenai kutukan ini."
"Tidak, terakhir kali aku dengar, Sekar hanya hidup dengan ibu nya, dan sekarang ibu nya entah dimana, kami sendiri tak pernah bertemu ibu nya Sekar termasuk Lion."
"Lalu bagaimana menikah nya? Apa ibu tante Sekar masih hidup?"
"Hm.. entah lah, soal menikah dan soal ibu nya paman sama sekali tidak tau."
"Kenapa serumit ini," nada bicara Cakra terdengar pasrah.
"Kau harus akhiri kutukan itu Cakra, jangan sempat ada korban lagi," titah Alex.
"Aku sudah cukup kehilangan mama, papa dan juga Alexa, dan sekarang aku hampir kehilangan Dara-"
"Bukan hanya Yosea dan Alexa, Cakra."
Cakra membeku, "siapa lagi paman?" tanya nya.
"Andini dan nenek mu, ibu dari papa mu."
"Tante Andini dan nenek? Tapi mereka meninggal karna sakit bukan kecelakaan paman," sanggah Cakra.
"Mereka sakit sakitan setelah kecelakaan Cakra, aku yakin semua orang merahasiakan ini dari mu," terang Alex, wajah Cakra bertambah sedih.
"Aku semakin merasa berdosa."
Alex menggeleng, menyakinkan pemuda itu, "Itu bukan salah nak."
"Tapi tunggu, siapa Dara?" sambung Alex.
"Dia orang yang aku cintai." Cakra mengatakan hal itu dengan nada yang lemah.
"Dia menderita saat ini?" tebak Alex.
Cakra mengangguk. "Dia juga seperti ini karna kecelakaan waktu itu, dia seperti ini sudah tiga tahun," jelas Cakra.
"Aku turut prihatin."
"Apa yang bisa aku lakukan untuk menghilang kan kutukan itu?" tegas Cakra.
Alex menatap pemuda itu lekat-lekat, ini lah yang tidak sanggup dia katakan dari tadi.
"Sebelum meninggal, Lion bercerita, jika kutukan itu akan hilang bila-"
Alex menggantung ucapan nya.
"Bila orang yang kau cintai itu menderita semenderita mungkin sebelum dia, pergi selamanya."
Jantung dan aliran darah di tubuh Cakra seakanterhenti. "Apa tidak ada cara lain? Aku rela mati, asal tidak dengan Dara!" tegas Cakra.
"Lalu bagaimana dengan Alexa?! Dengan Andini? Dengan nenek mu? Kakek mu? Dan ibu mu sendiri Cakra! bahkan dengan Lion!"
"Bagaimana mungkin hal serumit ini menimpa ku? Satu lagi paman, kakek meninggal karna bunuh diri dengan racun!" untuk kesekian kali nya Cakra berucap dengan tegas.
"Maaf kan aku nak," ujar Alex.
***
"Lu duduk sama gua."
Sedari tadi Leo selalu mengucapkan kalimat pemaksaan itu pada Renata, gadis itu hanya bisa mendengus dan sesekali merotasikan mata nya, jenuh.
"Lu ribet banget Le, Renata itu duduk di samping gua, titik pake tanda seru gak pake koma!" jerit Nanda.
Leo menatap Nanda kesal, gadis dengan sifat seperti laki-laki ini selalu membuat rencana nya hancur.
"Lu ada masalah apa sih sama gua, ngajak ribut mulu dari tadi?"
Nanda mendengus, "Tadi pagi lu udah culik Renata dari gua, sekarang lu mau culik lagi?" Nanda melotot.
"Eh, sekate-kate lu bilang gua nyulik."
"HEH! ITU YANG MASIH DI LUAR MAU SAYA TINGGAL?"
Dari bawah bis Leo menatap pak Pidi malas. "Bukan lu yang nyetir ! jangan belagu!" sorak Leo.
"Uda Nat! Tinggalin aja si Leo, dia bisa duduk sama setan-setan yang lain, dari pada kita di tinggal sama pak Pidi." Nanda menarik tangan Renata hingga gadis itu mengikut.
Leo dan Wisma yang di tinggal, diam di tempat. "Nanda gua itu keras kepala, si Renata malah kebalikan nya." Wisma mengedikan bahu, lalu beranjak naik ke bis.
Sebelum duduk di bangku nya, Leo menatap Nanda kesal.
Mencondongkan badan nya ke Nanda, lalu berbisik lelaki itu berbisik. "Gua gangguin lu, gua duduk di belakang lu." Leo beranjak ke bangku nya.
Nanda merotasikan mata nya, namun ada senyum yang terselip di bibir nya.
"Hm, Leo bilang apa Nan?" tanya Renata yang duduk nya di dalam.
"Biasa lah, lu kek gak tau Leo aja."
Alis Renata menekuk, "Emang Leo gimana?"
Nanda menghadap Renata, "Leo itu-"
"Leo itu ganteng, baik hati, dermawan, kaya, imut, manis kek gula, eh ralat, melebihi gula dan tidak sombong."
Bukan, bukan Nanda yang berkata seperti begitu, tapi si pemilik nama yang kepala nya menyembul dari sela belakang bangku.
"Dih, kepedean amat lu jamet."
"Katarak mata lu Nan, tanya ama Renata, gua ganteng kan Nat." Leo menaik turunkan alis nya.
"Emang lu liat buaya darat kek Leo itu ganteng Nat?"
Renata memegang jidat nya, "Nggak tau," jawab nya.
"Pindah deh Nan, gua mau duduk di bangku lu," Leo memelas.
"Nggak," Nanda menolak dan menatap kedepan.
"Lu gak mau habisin waktu lu sama kesayangan lu ini?" Leo menunjuk Wisma yang dari tadi diam sambil bermain game di handphone nya.
"Sekali nggak tetap nggak."
"Keras kepala banget lu." Leo menghadiahkan toyoran ke kepala Nanda.
"Hm! Mamam tu, berani lu noyor-noyor kepala cewek gua."
Wisma meletakkan handphone nya di sembarang tempat lalu menjitak kepala Leo.
"Kurang belaian setan Lu Wis," Leo mengumpat.
"Woi! Bisa diam gak sih?" Sean yang dari tadi adem ayem membuka suara.
Hening sedetik karna suara Sean yang sempat mengisi bis.
"Sean mah gak asik," Leo mengakhiri perilaku nya, lalu duduk dengan malas.
Wisma menyender, Nanda juga lebih memilih diam sambil mendengar musik dengan earphone.
"Hilang deh kesempatan gua uwu-uwu an bareng Renata" gumam Leo.
"Uwu-uwu an pala lu peang," Nanda bersuara dari bangku nya, meski sudah menyumbat telinga dengan aerphone, suara Leo yang hanya bergumam pun masih terdengar.
Semua sibuk mendirikan tenda sesuai kelompok yang sudah di tentukan.
Renata mendapat kelompok dengan Sarah, Gina, Hazel dan Nanda.
Mereka membagi kelompok menjadi 3 bagian, kelompok pertama Nanda dan Renata yang sibuk mendirikan tenda.
Kelompok ke dua Gina dan Sarah yang sibuk ikut mencari kayu bakar.
Dan yang ketiga Hazel sendiri, karna dia mendapat tugas pribadi dari Kak Zeno, Kak Zeno adalah ketua osis sekarang yang mengantikan Rendi karna sudah tamat SMA.
Dan Hazel salah satu anggota OSIS di sini, karna itu dia di beri tugas untuk menentukan kegiatan yang akan di laksanakan.
"Eh Nat, itu pegangin dulu, gimana mau diri tenda nya." Nanda menggaruk tengkuk nya, dari setengah jam tadi tenda mereka belum selesai juga.
"Gimana Nan, gini? Atau gini?" Renata tampak kebingungan.
"Haduh Nat, lu pintar tapi bego, eh gimana sih." Nanda menghela nafas.
Renata menyengir, "Ini pertama kali nya gua diriin tenda."
"Haduh emang deh."
Dari posisi nya Sean melihat dua gadis itu, menepuk kedua telapak tangan nya, lalu berdiri dari posisi jongkok.
Lelaki itu menghampiri mereka. "Bisa?"
Suara Sean membuyarkan perdebatan kecil Renata dan Nanda, membuat mereka berpaling ke asal suara.
"Susah Se," jawab Renata, di angguki oleh Nanda.
"Bantuin kita bro."
Sean mengangguk, bagi nya Nanda adalah gadis yang berbeda dari kebanyakan wanita lain nya, berbeda juga dari Renata, seperti ada – Argh, susah di jelas kan sosok Nanda di mata Sean.
"Ya udah sini."
"Syukur deh ada om Sean, kalau enggak sampe malam tenda kita gak bakal jadi."
Nanda dan Renata tertawa kecil, Sean mengambil alih.
"Kalian buat yang lain aja, biar gua yang urus tenda nya."
"Serius?"
Sean mengangguk. "Dua rius" jawab nya.
"Ya udah kalau gitu, gua sama Renata mau cuci muka ke danau." Nanda menarik tangan Renata untuk yang kesekian kali nya.
"Nan, gak enak ninggalin Sean sendiri."
"Udah Nat, gapapa, gapapa kan om?" tanya Nanda tanpa dosa.
Sean yang tadi nya fokus pada tenda, berpaling sebentar. "Aman." Kemudian lelaki itu kembali pada akitivitas nya.
"Tuhkan, Sean aja gapapa, kita cuci muka dulu, air di sana pasti seger."
Untuk yang ke sekian kali nya, Nanda menarik tangan Renata, hingga pemilik tangan mengikut.
"Se, kami tinggal dulu ya!!" teriak Nanda dari kejauhan.
"Oke!"
***