Chereads / ROMANTIKA CINTA / Chapter 19 - Tuhan Sudah Mengatur Semuanya

Chapter 19 - Tuhan Sudah Mengatur Semuanya

Panjang umur, Nanda datang bersama Rendi, berjalan kearah mereka dengan langkah yang cepat.

"Nat."

"Kalian bertiga mau gua lapor ke guru BK?" Sentak Rendi, selaku ketua OSIS dia memang harus bersifat begini.

Leo tampak tidak perduli.

"Lu juga Leo, lu buat onar terus nampak nya, lu enggak bosan gitu?" Sambung Rendi.

Lagi-lagi mereka semua terdiam.

"Gua bakal urus semuanya, sekarang Renata sama Nanda bantu mereka di UKS, gua gak bakal lapor ini ke guru BK, ini semua karna gua masih ada rasa care sama kalian, tapi sekali lagi gua tau kejadian ini keulang lagi, gua pastiin kalian semua terima akibat nya."

Rendi menunjuk mereka satu persatu, Rendi tau rasa nya berlangganan dengan guru BK, karna dulu, sebelum menjabat menjadi ketua OSIS, dia juga sama dengan Leo, bahkan lebih para.

Tapi karna ingin menjadi panutan bagi Nanda, dia merubah sikap nya, ini semua karna Rendi ingin menjadi Abang dan anak lelaki yang dapat membanggakan adik serta ibu nya.

"Kok kita bang?" Nanda menaikan alis nya, melipat tangan nya di depan dada.

"Petugas PMR lagi ada urusan, karna mereka kawan kalian, kalian aja yang bantu."

***

Ruang UKS.

Leo duduk diujung kasur putih menatap pantulan dirinya lewat cermin yang ada tepat di hadapan nya.

Sementara Cakra duduk dibangku meja yang ada diruang itu, Sean memegang kotak P3K ditangan nya, lalu mulai mengobati dirinya sendiri dengan bantuan cermin, dia tidak suka diobati oleh orang lain apalagi itu perempuan.

Baginya itu adalah sikap manja yang tidak perlu diterapkan, jika bisa sendiri, kenapa harus minta bantuan orang lain?

Renata mengambil kotak P3K didalam lemari putih itu, begitu juga Nanda.

Renata membawa kotak itu kearah Cakra, mulai mengobati luka yang menghiasi tubuh dan wajah lelaki itu.

Leo menatap malas Cakra, tatapannya semakin malas dan berubah menjadi muak karna Renata lebih memilih mengobati musuhnya dari pada diri nya sendiri.

"Lu bisa gak sih kalau udah gua obatin tu, mukanya lurus aja jangan gerak-gerak, gak cakep Lu gerak-gerak."

Nanda menekan-nekan kapas dengan obat merah ke luka Leo, membuat Leo meringis.

"Aduh, sakit bangsat!"

Leo mendorong tangan Nanda dari lukanya.

"Makanya lu baek-baek dikit."

Leo memilih tetap tenang selama dia diobati Nanda, takut jika singa di depan nya ini mengamuk, sementara Renata kini sibuk dengan luka di siku Cakra tampah menoleh ke Leo sedikit pun.

Leo tersenyum kecut, semua wanita yang dia sayang lebih mementingkan Cakra dari pada diri nya sendiri, impresif.

Sean hanya sibuk dengan kapas dan obat merahnya, menatap wajah ganteng nya yang berhias cairan kental merah disudut bibir dan pelipis, entah kenapa luka itu tak memberi efek sakit atau perih sekali pun saat sudah ada di UKS.

Ingatan nya menguat pada Dara, hatinya menjadi tidak tenang, seakan terjadi sesuatu pada gadis itu, Sean berharap semoga firasat nya kali ini salah, salah besar.

Keluar dari UKS, mereka kembali ke kelas nya masing-masing.

Leo hanya diam duduk di bangku nya, sejak Nanda menyuruhnya untuk diam dia menjadi benar-benar diam, entahlah, akhir-akhir ini sikapnya memang sering berubah-ubah.

"Le," panggil Sean.

"Hm." Leo menjawab dengan deheman singkat , nampaknya dia sedang benar-benar kehilangan mood nya atau mungkin luka di wajah nya terasa perih dan memberi efek seperti ini.

Biasanya mereka berdua akan keluar kelas dan berjajan ria ke warung budhe atau sekedar menganggu Eric Raka dan Wisma dari jendela kelas 11 IPA 1 saat sedang free class begini, tapi sekarang mereka terdiam seribu bahasa, bungkam.

Sean mengacak rambutnya sedikit frustasi, banyak sekali yang menjadi bahan pikiran nya.

Belakangan ini dia sering pusing dengan kondisi sekitar, sampai-sampai dia tidak punya waktu untuk memikirkan diri nya sendiri.

"Luka lu masih sakit Le?"

Sean bertanya se ada nya, berusaha mencairkan suasana yang membeku.

Leo menatap kosong ruang di hadapan nya, "gak," jawabnya dingin.

Sean mengacak lagi rambutnya, "kalo L mau sendiri, gua ke kantin dulu, berat emang liat orang yang kita sayangi dekat sama orang lain, apalagi orang lain itu pernah jadi masa lalu buruk kita."

Sean menghela napas panjang, lalu mengusap sudut bibirnya yang masih perih saat mengerakkan mulut.

Sean seperti kunci Inggris yang harus dapat memahami segala situasi, dia harus dapat bersikap sesuai keadaan, semua teman nya terlihat sangat susah untuk mengontrol emosi.

"Tapi lu harus tau satu hal, Sebagai manusia, kita Cuma bisa mengatur sesuatu di fikiran kita, dan tentang apa yang terjadi, Cuma Tuhan yang pantas buat nentuin alurnya, kita tinggal jalanin aja dengan iklhas hati, jangan egois Le, Tuhan punya cara sendiri buat nunjukin sesuatu yang hamba nya gak tau, tunggu aja waktu yang tepat, gua rasa lu bakal ngerti apa itu rencana Tuhan."

Sean mengakhiri ucapannya yang terdengar seperti nasihat dengan menepuk pundak Leo.

Walau dia merasakan apa yang di rasakan Leo, tapi baginya mengikhlaskan sesuatu lebih baik dari memaksakan nya, apalagi disaat sesuatu itu tak berpihak padanya, jika tetap di paksakan, hasil nya akan lebih mengecewakan.

Leo berusaha memahami kalimat yang terlontar dari mulut Sean, dia menatap punggung Sean yang makin lama makin menjauh dari indra penglihatannya.

Dia akui semua perkataan Sean barusan benar seratus persen, tapi yang salah sekarang adalah dia, lebih tepatnya sikap ego nya yang sangat tinggi.

"Apa gua terlalu berlebihan tadi?" tanyanya lirih.

Leo mengusap matanya yang perih, bosan dengan jalan hidupnya yang selalu bermasalah, baik masalah yang dia buat sendiri ataupun masalah yang datang dengan sendiri nya, tapi pastinya ini semua sudah diatur Tuhan untuk melengkapi hidupnya yang entah bagaimana.

Sean benar, Leo harus lebih mengerti apa yang di maksud dengan Rencana Tuhan sebelum dia membuat rencana sendiri.

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi 15 menit yang lalu, semua siswa dan siswi sibuk dengan aktivitas nya sendiri, alasan nya adalah ingin cepat pulang kerumah tercinta.

"Le."

Panggilan itu yang dari tadi ditunggu Leo, suara lembut yang terdengar hangat di telinganya.

Leo memutar badannya 180 derajat menghadap si pemilik suara itu adalah, Renata.

"Hm?" Lagi-lagi dia menjawab dengan sekedar deheman, hatinya senang, tapi sedikit menjadi dingin lebih baik pikirnya.

"Ke-kenapa Cuma hm? Bibir Lo sakit?" tanya Renata simpati.

"Hm."

"Gua masih bingung kenapa kalian tiba-tiba berantem."

"Hm "

Renata menghembuskan nafas perlahan, jika jawaban lelaki itu hanya sekedar deheman, bagaimana dia bisa tau ada apa sebenar nya.

"Kalau masih sakit, istirahat aja dulu, besok kita sambung obrolannya lagi, kebetulan gua udah dijemput."

Renata kurang suka dengan jawaban Leo yang hanya "hm" "hm" "hm" dan "hm", dia merasa lelaki itu memang tidak ingin berbicara pada nya sekarang.

Lalu dia pergi menuju mobil yang sudah menunggunya didekat gerbang utama Bina Bangsa.

Leo menatap Renata yang perlahan menjauh, ada rasa penyesalan tersendiri di dalam diri nya.

"Aduh dasar bego! Kenapa lu Cuma bilang hm hm hm ga jelas aja sih anjing, pergikan dia."

Leo membatin dengan rasa kesal pada diri nya sendiri, dia mengacak rambutnya, memperhatikan Renata yang sudah hilang bersama mobil hitam tadi.