Renata dan Lian berjalan menuju kantin, mereka hendak membeli minuman lalu kembali lagi ke kelas.
Sepanjang koridor sekolah mereka mendengar banyak siswa siswi yang berlalu lalang dengan langkah cepat, dan tak jarang yang menyebut-nyebut nama Leo, anak baru atau Cakra di setiap obrolan mereka.
Renata melempar tatapan penuh tanya pada Lian, Lian menaikkan bahunya lalu menggeleng kepala sebagai jawaban.
Firasat Renata menjadi tidak enak, dia yakin ada yang tidak beres dengan dua lelaki itu.
Mereka terus berjalan, rasa penasaran menggebu-gebu di diri masing-masing.
Tak lama ada yang berjalan kearah mereka, lalu mendekat, menatap Lian dan Renata bergantian dengan tatapan malas.
Terkadang baik Lian atau pun Renata merasa heran, kenapa tiba-tiba semua orang di sekolah ini berubah menjadi pribadi yang menyebalkan.
Mereka berdua mengenal orang itu, dia kakak kelas mereka, namanya Ara.
Lian menatap malas kearah Ara, agar dia tau jika bukan mata nya saja yang dapat menatap orang dengan tatapan yang tidak sopan.
"Itu Leo sama si Cakra, lagi berantem di kantin budhe iem," tuturnya sambil memandang Renata dengan tajam.
"Terus?"
Tanggap Lian, apa hubungan nya dengan mereka, selain kesal dengan nada bicara Ara dia juga tidak suka dengan tatapan yang dianggapnya menjijikan.
Ingin rasa nya Lian memasukan jari tangan nya ke dalam mata gadis di hadapan nya ini, Lian paling tidak suka ada manusia yang berlagak hebat seolah berkuasa padahal nyali nya sangat rendah.
Ara menatap cuek Lian dan memalingkan wajahnya pada Renata yang dari tadi diam.
"Gua rasa Cuma yang bisa nenangin dia, cause lu kan cewe yang lagi deket-deket nya sama Leo."
Ara pergi, sebelum pergi dia mengibaskan rambut lurusnya yang indah, tapi karna sikapnya yang memuakan rambut indah itu menjadi sangat menjijikan di mata mereka terutama Lian.
Jika saja Lian mengingat sebentar lagi ada ujian dan Abang nya adalah ketua OSIS, rambut indah Ara akan dia jadikan hiasan gantung di pohon belakang sekolah, lengkap dengan semua anggota tubuh gadis itu.
"Itu kak Ara bukan?"
Renata mengerjap-ngerjapkan matanya, seolah baru tersadar dengan keadaan.
"Iya pacar abang gua, sukur-sukur udah putus."
Lian mengelus dadanya, saat Ara dan Rendi masih pacaran, dia tidak henti mengatai Rendi dengan perkataan 'tidak pandai memilih wanita' pasal nya Rendi berpacaran dengan nenek lampir sekolah.
"Gak berubah ya dia, sikapnya yang dulu masih sama-sama aja," timpal Renata.
"Bodo ah, lebih baik kita ke kantin bi iem."
Lian menarik tangan Renata, lalu mempercepat langkahnya, Renata hanya pasrah ditarik oleh Lian, dia juga penasaran dengan apa yang terjadi.
***
Langkah cepat Lian berhenti di depan kerumunan siswa/i yang sedang menonton perkelahian Leo dan Cakra.
Renata dan Lian mengambil jarak tidak mau terlalu dekat dengan mereka.
Sebagian dari mereka asik merekam perkelahian yang sedang berlangsung, beberapa orang tampak berbisik, entah apa yang mereka bisikan, tapi yakin lah, pasti hal yang jadi bahan bisikan adalah hal yang tidak berguna.
Beberapa dari mereka malah asik menyoraki nama Leo dan Cakra secara bergantian, dan nampak nya, tidak butuh waktu lama untuk Cakra di kenal banyak orang.
Yang menonton terlihat seperti orang bodo, tidak ada fikiran, bukan melerai malah memanasi suasana hati masing-masing.
"OMG! Laskat ganteng banget kalau lagi kelai gitu, aww!"
"Kak Leo!"
"Itu yang lagi kelai lawan kak Leo berani banget ya ganteng lagi, aaaa!"
"Lawan!!"
"Habisin!"
"Gas kan."
"Semangat anak baru-!!"
"Cakraaa! "
Mereka bersorak seperti menonton pertandingan gulad, gemuruh saling bertepuk tangan dan bersiul, membela jagoan masing-masing.
Konyol.
Cakra nampaknya selalu mengalah, tapi karna Leo yang terus menghujaninya dengan pukulan membuat kesabaran lelaki yang sudah lebam itu habis, sekarang dia melawan setiap gerakan lawannya.
Leo seperti orang gelap mata, tak mengingat apapun resikonya, dia terus melayangkan pukulan-pukulan keras pada Cakra.
Sean yang dari tadi ada disana masih berusaha melerai mereka, tapi karna dia sendiri alhasil dia terkena beberapa pukulan yang tak disengaja.
Kantin budhe iem semakin lama semakin ramai, sampai pemilik warung itu tidak kelihatan, mungkin budhe iem yang sudah berumur lumayan tua memilih diam di dalam warung.
Bugh-!
Satu pukulan keras di layangkan Leo pada rahang bawah Cakra untuk yang ke sekian kali nya, menghasilkan aliran darah merah mengalir dari sana.
Cakra meringgis kesakitan, mengusap kasar darah nya.
Bugh-!
Bugh-!
Cakra yang memang sudah emosi membuat memar di wajah Leo, tendangan yang dia beri mengenai perut lelaki itu.
Leo memegangi perut nya, lalu senyum nya mulai menyeringai, Renata meremas rok bagian bawah nya, ini kali pertama dia melihat Leo begitu seperti penjahat.
Bugh-!!
Bugh-!!
Bugh-!!
Leo memberi pukulan pada bagian yang sama seperti Cakra menghajar nya, anggap saja itu balasan agar dia merasakan apa yang diri nya rasakan.
Renata menatap kasihan pada Cakra, tapi Leo juga sama kasihan nya.
Namun mereka berdua menyeramkan saat itu, seperti kesetanan.
"Ga bisa dibiarin." Renata berdecak.
Dia pergi ke kerumunan itu, berdesakan diantara orang-orang yang hanya jadi penonton, tidak berguna.
Lian tidak sadar jika Renata pergi ke depan, gadis itu malah berlari menjauh dari kerumunan dan pergi entah kemana.
Dengan usaha melewati kerumunan orang yang asik merekam itu akhirnya dia sampai dibarisan paling depan.
"Leo, Cakra! Berhenti jangan kek bocah SD bisa gak sih?!"
Renata menjerit, ini pertama kalinya orang-orang mendengar kerasnya suara Renata, tanpa toa pastinya.
Leo menyadari kehadiran wanita itu, begitu pula Cakra, mereka terdiam, melihat kesempatan ini Sean yang dari tadi menahan sakit dari sudut bibirnya yang mengeluarkan darah dan nyeri di sekitar lengan, berusaha menjauhkan Leo dari Cakra, memberi jarak yang cukup jauh agar mereka tak berlawan lagi.
Percaya lah, melerai orang seperti Leo mempunyai tingkat kesulitan tersendiri.
Hening mendominasi tempat itu, tapi rekaman dan siaran langsung belum kunjung dihentikan, ini malah jadi semakin asik ? apanya yang asik ?
Renata menatap mereka berdua bergantian, ritme jantungnya sedikit lebih cepat, kenapa ini?
Ini kali pertama dia mencoba untuk berani membuka suara di tempat ramai.
"Kalian bisa gak sih?! Kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik, cara kalian kek gini sama dengan cara anak SD, bukannya belajar buat ujian malah berantam kek gini?!! Bocah."
"Kalian juga? Cuma nonton sama ngerekam gak jelas mereka berantam gini, kalian kira ini film buat di tonton?! Sekarang mending kalian bubar!"
Semua terdiam, heran dengan perasaan sendiri, kenapa mereka jadi segan dengan gadis aneh dihadapan mereka ?
Mengapa mereka tak bisa berkutik sedikitpun saat Renata meninggikan suaranya? Apa karna semua perkataan yang ia lontarkan benar?
"Huu Renata gak asik!!!"
"Huuuuu!!!"
Beberapa orang menyoraki nya sebelum pergi meninggalkan warung budhe.
Renata menghela napas berat, melihat mereka berdua bergantian, sementara Sean sibuk menenangkan Leo yang terus mengepalkan tangannya.
Cakra menyeka darah yang keluar dari pelipisnya dengan kasar, tidak perduli dengan sakit yang dirasakannya saat ini.
Renata melangkahkan kakinya kearah Cakra, yang lukanya lebih parah dari pada Leo.
"Kita ke UKS sekarang, luka lu lebam dan berdarah, takutnya tambah parah nanti, gua takut infeksi."
Renata menatap wajah Cakra, selain itu tampak siku tangannya mengeluarkan darah, seragam nya sedikit kotor dengan bercak merah, entah apa yang Leo lakukan, sehingga dia begini.
Sebelum pergi ke UKS Renata menghampiri Leo, sudut bibirnya lelaki itu juga mengeluarkan darah, matanya tampak sedikit berkaca, tangannya yang mengepal pun tampak berdarah, sepertinya dia tidak sengaja menghantam benda keras dengan tangan nya.
"Se," panggil Renata.
"Iya Nat?"
"Lu urus Leo ya, sekalian luka Lu dibersihin, nanti gua bantu, Lian juga entah kemana, gua mau bantu Cakra dulu."
***