Tubuh Hailexa membeku bak disiram dengan air dingin. Gantungan kunci itu memang berada di markas, namun seseorang yang sedang mengintainya sudah pasti hafal dengan wajahnya. Segala pikiran buruk kini memenuhi kepala Hailexa. Bagaimana jika orang itu sampai mengikutinya duduk di dalam kafe?
Setibanya di dalam mobil, Hailexa langsung memasang sabuk pengaman sedangkan Bedric buru-buru menyalakan mesin mobilnya. Laki-laki itu terlihat tenang, mencoba mengendalikan situasi agar tidak terlalu tegang.
"Bedric. Aku minta maaf atas perbuatan dan perkataanku tadi. Benar-benar keterlaluan. Terima kasih juga sudah membantuku. Kuharap kau dan Alesya baik-baik saja."
"Kami baik, aku juga sudah minta maaf padanya. Aku melakukan hal itu karena Alesya sudah kelewat batas. Walaupun situasinya sedang buruk, kau tetap berhak mendapat sedikit kebebasan. Jangan menyerah, oke? Kami sangat senang atas kehadiranmu di markas."
Hailexa mengangguk pelan. Ia merasa cukup lega usai mendengar pernyataan Bedric.
"Agent, kami sudah mencoba mengamatinya. Kali ini tak salah lagi. Pria dengan jaket hitam. Wajahnya tidak terlihat. Sejak tadi dia kerap melintas di sekitar markas."
"Di mana dia sekarang?"
Suara yang saling bersahutan itu terdengar dari alat yang terpasang pada dasbor mobil. Bedric menekan salah satu tombol pada layar, kemudian mulai bicara, "Ada apa? Aku belum mendapat informasinya. Hailexa sudah aman bersamaku sekarang."
"Orang yang kami curigai, dia menggunakan motor Ducati Panigale hitam. Jenisnya—"
"Apa? Ducati?" pekik Bedric begitu kencang bahkan sampai memukul setir mobil.
Hailexa menyipitkan mata, masih belum mengerti akan alasan di balik keterkejutan Bedric.
"Ducati Panigale punya harga yang cukup fantastis. Pemiliknya jelas bukan orang biasa. Aku semakin yakin jika dia salah satu orang dari Chiplytical. Sial, kita ketahuan."
"Kami berhasil melihat target. Dia beberapa meter berada di belakang mobil Bedric."
Informasi itu langsung membuat Hailexa menoleh ke belakang. Benar saja, sebuah motor dengan pengendara yang mengenakan jaket hitam, tiba-tiba melintas di sampingnya. Hailexa tidak sempat melihat bagaimana detail fisik pengendara itu, dia melaju begitu cepat dan kini yang dapat ia lihat hanyalah bagian punggungnya.
"Apa benar tadi motornya? Aku tidak tahu seperti apa motor Ducati yang mereka katakan."
"Benar. Itu memang dia," jawab Bedric. "Hei, kalian berpencar, aku akan mencoba untuk tetap berada di belakangnya."
Pengejaran ini masih terus berlanjut dalam dalam beberapa menit. Bedric sudah mencoba mengemudikan mobilnya secepat mungkin, namun tetap tidak bisa mendekati pengendara itu. Siapa pun orang di baliknya, Bedric yakin dia adalah pria yang hebat. Kemampuannya dalam mengendarai motor benar-benar tidak bisa diremehkan. Dengan motor sebesar itu saja dia mahir melewati celah kecil di antara mobil tanpa perlu bersentuhan.
Hailexa lebih banyak diam, mencoba fokus ke arah depan sekaligus tidak ingin mengacaukan konsentrasi Bedric. Entah ke mana lelaki ini akan membawa mobilnya, mereka sudah cukup jauh dari pusat kota. Akan tetapi tampaknya pengejaran masih akan terus berlanjut.
"Jalan ini akan menuntun kita pada lokasi di mana rumah-rumah dengan ukuran besar itu berdiri. Jika memang nantinya berakhir di sana, maka akan sulit. Tempat itu memiliki banyak jalan yang saling terhubung. Dia pasti sengaja mengecoh kita. Jika tidak dihadang dari berbagai arah kita bisa kehilangannya," ujar Bedric menyampaikan informasi.
"Ya Bedric, kami sedang menyusun strategi sekarang. Pastikan kau tidak kehilangan jejaknya. Kami juga sedang mencoba menghubungi seseorang untuk meminta bantuan. Sesuai informasi yang ada, Terry Peterson tinggal tak jauh dari sini."
++++
Terry memegangi sisi lengannya yang terasa nyeri, sambil menatap pada Emma yang sedang berjalan ke arahnya usai menutup pintu balkon. Alisnya saling bertautan, tatapannya juga tak pernah putus, sampai pada akhirnya ia merasakan guncangan pelan di sisi ranjang.
"Kau sepertinya lebih cocok beraktivitas di dalam ruangan saja. Dua bulan lalu saat bermain golf hasilnya juga sama," ujar Emma yang cenderung meledek.
"Mana boleh seperti itu," protes Terry tidak terima. "Ini terjadi karena tarikannya terlalu kuat dan aku jarang olahraga."
"See?" Emma meraih lengan Terry, memberikan pijatan lembut di sana. "Kau sendiri sudah menyadarinya. Beruntung kau pergi dengan Austin. Jika pergi sendiri, siapa yang akan membantumu?"
Terry tertawa rendah mendengar omelan Emma. Akan tetapi ia tidak bisa mengelak jika kalimat itu penuh dengan kebenaran. Seekor ikan berhasil menarik kail pancingnya begitu kuat. Saat itu Terry yang sedang memegang alat pancing hanya dengan satu tangan, sempat merasa terkejut dan belum siap sehingga mengakibatkan sendi pada lengannya mengalami cedera ringan.
"Di mana anak itu sekarang? Kenapa masih belum kembali?"
"Siapa?" tanya Emma balik.
Napas Terry berembus kasar, kedua bola matanya bergerak memutar. Apa pertanyaannya barusan kurang jelas? Ia tidak mungkin menanyakan keberadaan Nicholla yang jelas-jelas menetap di rumah dan hadir saat makan malam.
"Alexander tentu saja."
"Sepertinya masih di rumah Allard. Entahlah, dia berkata akan pulang sebelum makan malam, tetapi kau tahu sendiri akhirnya. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi."
Terry menipiskan bibir, merasa aneh dengan situasi ini. Alexander bukanlah anak yang suka terlambat atau tidak menepati perkataannya, kecuali ada sesuatu yang sangat penting dan harus diselesaikan. Jika ada masalah di kantor, seharusnya ia tahu. Namun tampaknya ini sesuatu yang lain.
"Austin pasti belum jauh." Usai kembali dari lokasi pemancingan, Terry mengajak Austin untuk makan malam bersama karena ia pikir Alexander sedang di rumah. Akan tetapi realita berkata lain. Austin akhirnya tetap memutuskan untuk bergabung, walaupun tanpa Alexander. Lelaki itu belum lama pulang karena menyempatkan diri untuk berbincang dengan Nicholla. "Aku akan minta tolong padanya untuk pergi ke tempat Allard."
Ketika Terry meraih ponselnya, ada panggilan masuk yang berasal dari nomor khusus. Terry menelan ludah, ia sudah tahu siapa penelponnya dan langsung merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres.
"Langsung katakan saja," ucapnya tak sabar.
"Agent, kami sedang melakukan pengejaran. Untuk penjelasan detailnya akan disampaikan setelah ini. Yang terpenting sekarang kami butuh bantuan Anda memblokir akses jalan, karena lokasinya cukup dekat dari rumah Anda."
"Shit! Ceritakan padaku detailnya setelah ini. Aku akan hubungi satu orang lain yang bisa membantu. Kuharap dia belum jauh."
Terry langsung memutus panggilannya dan menarik napas dalam-dalam. Di saat yang bersamaan, Emma menepuk pundaknya guna meminta penjelasan. Terry mengatakan semua yang ia dengar, kemudian meminta bantuan Emma untuk menghubungi Austin sementara dirinya sedang bersiap.
"Biarkan aku ikut," pinta Emma.
"Tidak. Kau di rumah saja bersama Nicholla. Alexander pasti akan pulang sebentar lagi. Nanti jika masalahnya selesai tetapi Alexander belum kembali, aku akan menjemputnya." Terry mengusapkan telapak tangannya pada puncak kepala Emma, kemudian memberikan ciuman panjang pada keningnya. "Hubungi aku jika terjadi sesuatu," ujarnya lalu segera berlari meninggalkan kamar.