Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 58 - Cemburu Buta

Chapter 58 - Cemburu Buta

Di saat yang lain tengah bersiap untuk beristirahat, kali ini ceritanya sedikit berbeda bagi seorang laki-laki yang usianya sudah menginjak dua puluh empat. Motor keluaran Italia miliknya sedang melaju kencang, memecah keheningan malam. Suara mesinnya begitu khas, mengalun akrab sebagai teman di sepanjang perjalanan. Kedua matanya menatap lurus penuh fokus, memastikan jika rute yang akan dipilihnya adalah rute yang tepat.

Beberapa kali kata umpatan sempat terlontar dari bibirnya, di kala ia gagal untuk menyalip kendaraan di depan sana. Akan tetapi posisi itu hanya bertahan sebentar, ia selalu tahu celah mana yang bisa dilewati. Alasannya berkendara dengan kecepatan di atas rata-rata bukan karena dikejar waktu, melainkan dikejar oleh sekelompok mobil yang bahkan ia tidak tahu siapa pengemudinya.

"Allard! Kau sudah benar-benar putuskan sambungannya?"

"Sudah Alex. Sejak tadi. Apa mereka masih mengejarmu?"

Sudut mata Alexander melirik pada kaca spion. Ia mendesis saat mendapati mobil yang sama berada beberapa meter di belakangnya. "Masih," jawabnya.

Keberuntungan tampaknya sedang tak ingin berpihak. Setelah ia memutuskan untuk mendekati titik terakhir di mana gantungan kunci itu berada, tiba-tiba saja Alexander merasa diawasi. Dugaannya itu terbukti benar, ketika Allard memberikan kabar. Seseorang berhasil menemukan koordinat keberadaanya, berdasarkan GPS pada ponsel. Sontak saat itu juga Alexander meminta Allard memutus seluruh sambungan, sekaligus membersihkan jejak digital mereka, kemudian mematikan ponsel khusus yang terhubung dengan gantungan kunci.

"Aku sudah dekat. Pergi sekarang, bantu aku memperlambat gerakan mereka," pinta Alexander.

"Aku segera mendekat Alex. Fokus saja pada jalanan, jangan pikirkan keberadaanku."

Ini pertama kalinya bagi Alexander merasakan posisi seperti seorang buronan. Laju motornya memang kencang, namun ia tidak bisa meremehkan pengemudi mobil di belakang sana. Setiap kali motornya berhasil menyalip dan berada jauh di depan, mobil itu selalu bisa menyusulnya. Jarang sekali ada orang biasa yang mampu mengemudikan mobil sehebat itu. Pasti butuh latihan bertahun-tahun. Hal ini semakin menguatkan dugaannya jika Hailexa bekerja di bawah organisasi intelijen.

Bicara soal Hailexa, pencarian Alexander berakhir sia-sia. Ia tidak menemukan keberadaan gadis itu.

Jalanan di depan terlihat begitu sepi. Jarak menuju rumahnya pun sudah tak jauh lagi. Meski dalam keadaan tegang, Alexander memberanikan diri untuk menambah kecepatan motornya. Ia harus bisa menjauh dari mobil-mobil sialan dan tiba di rumah dalam keadaan utuh.

Alexander menoleh sekilas, ketika mendapati sebuah mobil sedang berhenti di persimpangan jalan yang baru ia lalui. Kecepatan motornya sempat diturunkan, dan kembali naik setelah mobil itu berhasil mengekorinya.

"Alex, aku melihat ada banyak mobil lalu-lalang di sekitar sini. Mereka tampaknya sudah berpencar. Hati-hati. Apa aku perlu mendahuluimu untuk mencari rute?"

"Tidak perlu Allard. Ini sudah hampir dekat. Tetaplah di belakang dan pastikan kau bisa menahan mobil lain yang sedang mengikuti kita."

"Jika nantinya ada kejanggalan, cepat putar balik. Jangan menungguku."

Motor Alexander berbelok ke kanan, mengambil rute memutar. Firasat mengatakan jika ia tetap lurus, walau lebih cepat sampai, rasanya ada sesuatu yang siap menghadang di depan sana.

Sayangnya tak semua firasat bisa memberikan jawaban benar.

Alexander menelan ludah, mendapati jalan yang ia pilih dalam keadaan kelewat sunyi, serta lebih redup dari biasanya. Motor Alexander masih bergerak maju, kemudian diperlambat, sampai akhirnya dihentikan karena ia melihat sorot lampu mobil dari arah yang berlawanan. Sial. Mereka sudah menunggu di sana dan sengaja mematikan mesin mobilnya.

"Alex mundur, Alex! Biar aku yang urus."

Kesialan hari ini rupanya masih belum ingin berhenti. Ketika kepalanya menoleh ke belakang, hal yang ia temukan adalah dua buah mobil yang sedang berusaha mendekat. Mereka terkepung sekarang.

Mobil yang dikendarai Allard bergerak maju. Entah apa yang akan dilakukan lelaki itu, Alexander masih tidak mengerti. Namun pikirannya langsung terkoneksi, ketika seorang laki-laki baru saja keluar dari mobil guna menampakkan dirinya. Laki-laki yang sangat Alexander dan Allard kenali.

"Parta, sebagai yang tertua aku ambil bagian pertama. Kau diam di sana."

Di kala keadaan terpojok seperti sekarang, Allard selalu punya cara unik untuk bersikap humoris. Laki-laki yang lebih tua darinya itu, turut menampakkan diri dengan keluar dari mobil. Senyum konyolnya tersungging lebar. Cara berjalannya penuh kepercayaan diri, bak model papan atas.

"Bonjour, Monsieur. Comment allez-vouz?" sapa Allard bergaya formal, dengan aksen prancisnya yang begitu kental. Alexander saja terkekeh geli dibuatnya.

"Allard," panggil lelaki di seberang sana. "Je vais bien, merci."

"Seharusnya tadi aku menyapamu dengan bahasa jerman saja." Allard menarik napas, lalu mengembuskannya dengan tenang. "Kenapa wajahmu tegang sekali? Ada masalah, Austin?"

Awalnya Alexander masih duduk tenang di atas motor, menyaksikan drama kecil yang cukup menyenangkan. Mobil-mobil lain mulai berdatangan, memadati lokasi yang semulanya sunyi. Namun suasana berubah, ketika pandangan Alexander jatuh pada seorang pria yang sedang melangkah mendekati kerumunan.

Dari balik helmnya, Alexander menggigit bibir sekaligus tertawa miris. Ini seperti inti dari sebuah kejutan. Benar-benar tak disangka dan tidak bisa dipercaya. Permainan macam apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Dua pasang manik hazel itu saling bertemu, menatap lurus dan tajam dalam jarak yang berdekatan. Kaki-kaki Alexander melangkah pasti, mengabaikan aksi beberapa orang asing yang tengah mengarahkan senjata apinya sebagai ancaman.

"Turunkan senjata kalian."

"Tapi—"

"Turunkan sekarang!" perintahnya dengan nada tegas.

Alexander menarik lepas helm serta buff mask yang nyaris menutupi seluruh kepalanya. Sudut bibir lelaki ini terangkat, menampilkan seringai yang mendukung ekspresi dingin pada wajahnya, "Dad," sapa Alexander begitu tenang seolah tak terjadi apa pun.

Terry hanya bisa bergeming, menyaksikan putra kesayangannya telah mengetahui rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Dia sudah tak ingin berkomentar atau menjelaskan, jika kejadian ini adalah salah paham. Putranya itu pintar. Sudah tidak ada celah lagi untuk mundur.

"Alex? Itukah kau?"

Dengan gerakan perlahan, kepala Alexander menoleh menuju sumber suara. Setelah kehadiran Austin dan Terry, keberadaan Hailexa di depannya sekarang sudah lagi tak menjadi kejutan. Meskipun pencahayaannya tak cukup terang, mata biru gadis itu terlihat jika sedang berkaca-kaca. Alexander bisa melihat berbagai macam emosi di sana. Terkejut, tidak percaya, sedih, sampai merasa bersalah.

"Kecurigaanku bermula dari buku di atas meja, pistol di laci, hingga kau yang meninggalkan universitas tak lama setelah aku pergi. Gantungan kunci itu, aku yang memasangnya pada tasmu," aku Alexander dengan suaranya yang serak. "Maaf sudah bertindak di luar batas, Hailexa."

Hailexa menggeleng cepat, setetes air mata kini mengalir di pipinya. Sial, Alexander tidak suka saat melihat gadis itu menangis karena ulahnya. Ia sudah akan mendekat, berniat menghapus air mata Hailexa, namun gagal sebab seorang laki-laki sudah terlebih dahulu menghampiri gadis itu.

Ah, dia laki-laki yang pernah mengantarkan Hailexa ke kafe. Laki-laki yang kala itu membuat Alexander jadi cemburu buta.