Dua hari berlalu sejak Hailexa mengirimkan pesan suara kepada Alexander. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, namun selama itu pula tak ada satu balasan pun yang berhasil ia terima. Pesannya hanya dibuka. Hailexa tidak tahu apakah lelaki itu sudah mendengarkan seluruhnya, atau hanya dilihat saja. Alexander tiba-tiba menghilang seperti angin.
Hal ini jelas membuat Hailexa pusing tujuh keliling. Jika hanya begini, ia tidak akan pernah tahu apakah perkataannya mengandung sebuah kesalahan. Dua hari dirinya menunggu, memberikan Alexander waktu untuk bisa menerima kenyataan. Namun itu rasanya terbuang sia-sia.
Apa dia semarah itu?
Pada akhirnya Hailexa tidak bisa berdiam diri saja. Berbekal alamat rumah yang didapatkan dari Aldrich, Hailexa memberanikan diri untuk mendatangi rumah Alexander. Ia sampai rela mengabaikan rasa malunya pada Terry dan Emma. Yang terpenting adalah bisa meminta maaf pada Alexander, lalu mendapat kejelasan darinya.
"Di sini Nona?"
Hailexa memandang dari balik kaca mobil, rumah dengan pagar tinggi dan halaman yang luas. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya melalui mulut. Detak jantung Hailexa mendadak berpacu cepat. Ini normal saat gugup atau ketakutan, dan ia harus bisa melewatinya.
"Ya. Apa boleh jika kau menungguku sebentar? Aku akan membayar lebih."
"Tentu, Nona. Saya akan menepi di depan sana," jawab sopir taksi itu.
Hailexa merapikan pakaian serta rambutnya usai turun dari mobil. Ia berhenti beberapa meter di dekat gerbang. Kakinya berjinjit, sedangkan matanya mencoba mengamati keadaan di dalam sana. Detak jantungnya kini berpacu lebih cepat, telapak tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin. Ah, ia tiba-tiba merasa ragu.
"Hei, aku seperti pernah melihatmu. Kau bersama Alexander saat itu. Apa benar?"
Hailexa menoleh pada sumber suara. Ia mendapati seorang gadis sedang tersenyum kepadanya. Dia teman Alexander, Amor.
"Ya. Namaku Hailexa. Kau pasti Amor?"
"Ah, sudah tahu rupanya. Ada perlu apa? Setahuku Alex tidak ada di rumah. Aku kemari karena diminta untuk mengambil Cedar. Namun sebaiknya kita masuk saja, mungkin dia belum pergi."
Pergi? Pergi ke mana? Kedengarannya seperti akan pergi jauh.
"Kau tahu ke mana Alex pergi?"
Amor menaikkan kedua bahunya usai menyapa penjaga gerbang. "Dia tidak bilang apa pun," jawabnya singkat.
Hailexa menggigit bibirnya kuat-kuat. Jika memang akan pergi, kenapa lelaki itu tak memberitahunya? Apakah sesulit itu untuk memberi kabar?
"Amor! Kau datang untuk membawa Cedar?"
Amor melambaikan tangannya, menyapa gadis lain di depan sana. Gadis itu tengah berdiri sendirian di samping mobil. Tepat di sebelahnya terdapat beberapa buah koper, yang tampaknya harus dimasukkan ke dalam bagasi. Siapa dia? Apa mungkin gadis ini...
"Nicholla." Tepat sekali, sesuai dengan yang Hailexa pikirkan. "Aku tidak mengira kau akan kembali secepat ini."
"Tidak ada pilihan lagi. Kuarter baru sudah menanti. Amor, seseorang berkata, tidak sopan jika membiarkan temanmu berdiam diri." Tatapan Nicholla yang tadinya mengarah pada Amor, kini beralih pada Hailexa. "Hai," sapanya ramah dengan segaris senyum yang tersungging.
"Oh, itu ucapan Alex. Nicholla, gadis ini adalah teman Alexander. Namanya Hailexa. Kami juga baru berkenalan beberapa menit lalu. Apa kakakmu masih di rumah?"
Senyum pada bibir Nicholla tiba-tiba memudar, digantikan dengan tatapan tajam yang begitu meneliti. Hailexa sadar jika gadis itu tengah mengamatinya dari atas hingga bawah. Meski merasa kurang nyaman, Hailexa mengabaikan hal ini agar tetap bersikap sopan.
"Parta ya? Dia sudah meninggalkan rumah sejak tadi. Kurasa jika urusannya dengan Sydney sudah selesai, dia akan langsung ke bandara. Kami akan pergi menuju Seattle. Entah kapan dia akan pulang ke Turin."
"Parta maksudnya adalah Alexander. Lalu Sydney adalah sepupu mereka," jelas Amor. "Kalian bicara saja berdua. Aku akan menemui Cedar."
Dalam hatinya Hailexa berteriak keras, agar Amor tidak meninggalkanya. Entah mengapa nyalinya runtuh jika diminta untuk berhadapan dengan Nicholla. Gadis itu sangat mengintimidasi. Rasanya seperti akan melakukan wawancara bersama bos besar.
"Aku sudah dengar tentangmu walau hanya sedikit. Kau dan Alex sepertinya dalam keadaan tidak baik. Dia yang sebelumnya menolak pergi ke Seattle, tiba-tiba saja berkata jika ingin ikut. Kali ini aku tidak bisa membantu. Selain karena tidak tahu apa pun, aku juga sedang buru-buru." Nicholla melihat pada jam yang tertera di ponselnya. "Pergilah ke restoran. Ada kemungkinan jika dia masih di sana, tetapi aku tidak bisa menjanjikan hal ini. Kau pergi dengan siapa? Apa sudah tahu lokasinya?"
Hailexa mengangguk pelan. Nicholla rupanya tidak sekaku yang ia bayangkan. Gadis itu terlihat sedikit cemas, namun mencoba untuk menutupi kecemasannya. "Aku akan naik taksi. Terima kasih Nicholla. Informasimu sangat membantu. Maaf karena sudah membuat kekacauan. Tolong sampaikan rasa terima kasihku pada Amor, ya," ujar Hailexa sebelum pergi.
"Taksi? Tunggu sebentar. Salah satu sopirku bisa mengantarmu. Ini lebih baik dibandingkan naik taksi."
"Tidak perlu. Taksinya juga sedang menunggu di depan. Sekali lagi terima kasih, Nicholla."
Hailexa langsung berlari meninggalkan Nicholla yang hanya terdiam. Jika tidak cepat-cepat, ia bisa kehilangan kesempatan untuk bertemu Alexander. Hailexa tidak tahu kapan lelaki itu akan kembali dari Seattle. Mungkin saja dia akan menetap dalam jangka waktu yang lama. Sebelum itu terjadi, setidaknya ia harus sudah meminta maaf secara langsung.
Usai menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Hailexa kini berdiri beberapa meter di depan pintu masuk restoran. Kebetulan jam makan siang sedang berlangsung, jadi tak heran jika beberapa orang tampak keluar masuk dari sana. Lagi-lagi telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin. Terlebih ketika yang ia lihat bukanlah keberadaan Alexander, melainkan Terry dan Emma yang sedang duduk sambil berbincang.
"Nona, ada yang bisa saya bantu?"
Hailexa menelan ludah. Haruskah ia menghampiri dan bertanya tentang keberadaan putra mereka?
Selama beberapa saat Hailexa hanya terdiam sambil berpikir, menentukan pilihan mana yang tepat. Sampai pada akhirnya Emma berdiri kemudian berjalan melewati sebuah pintu. Wanita itu tidak mengetahui keberadaannya, sebab tadi posisi duduk yang membelakangi. Justru Terry Peterson lah yang sadar akan kehadirannya. Mata mereka bahkan sempat bertemu.
"Tidak. Aku harus menghubungi temanku terlebih dahulu. Permisi."
Mendapat situasi semacam ini membuat niat Hailexa luntur dalam sekejap. Ia sudah akan berbalik, memutuskan untuk bicara pada Alexander lain waktu saja. Akan tetapi tiba-tiba bahunya ditepuk dengan pelan oleh seorang pelayan.
"Nona, Tuan Peterson meminta Anda untuk datang ke mejanya."
Mau tidak mau akhirnya Hailexa memberanikan diri untuk mendekat. Sejak pertama kali melihat Terry di markas, ia sudah bisa merasakan jika pria itu adalah tipe yang kaku, sedikit bicara, serta dingin. Auranya begitu mengintimidasi, tidak jauh berbeda dengan Nicholla. Justru lebih parah. Lalu sekarang rasanya jadi berkali lipat lebih menakutkan.