"Alex," panggil Nicholla dengan suaranya yang lirih.
Alexander hanya bergumam untuk menanggapinya. Ia sedang berjongkok di sisi kolam renang, sibuk mengeringkan tubuh Cedar dengan handuk tebal.
"Ponselmu terus berbunyi sejak tadi. Kau tidak ingin menjawab panggilannya?"
Kepala Alexander menoleh bergantian. Pertama pada ponsel di atas meja yang besandingan dengan bukunya, kemudian pada Nicholla yang berdiri bersedekap di ambang pintu.
"Kau tak bicara padaku sejak makan siang, lalu tiba-tiba datang dan memintaku menjawab panggilan. Ada apa, Nicholla?"
Nicholla berdecak, kemudian membuang napas. "Apakah salah jika aku memintamu menjawab panggilan? Sudahlah, terserah kau saja."
Alexander terkekeh tak lama setelah Nicholla meninggalkannya. Ia menatap Cedar geli sambil menaikkan kedua alisnya. "Dia gila. Kau seharusnya senang karena aku yang mengadopsimu. Bayangkan saja kau diadopsi olehnya." Ketika Alexander akan berdiri, ia kembali mendengar suara pintu pembatas yang digeser. "Apa lagi, Nicholla? Ponselku sudah diam," ucapnya yang masih fokus pada Cedar.
"Tidak bisakah kau mengangkat panggilanku? Sekali saja."
Ketika menyadari jika itu bukan suara Nicholla, Alexander buru-buru menoleh untuk memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. Di tempat yang sama, dua orang temannya tengah berdiri berdampingan. Allard tersenyum begitu lebar, sementara Austin terlihat kaku dan tegang.
"Cepat masuk. Aku sudah mengisi tempat makanmu. Jangan main air lagi," perintah Alexander pada Cedar, yang kemudian berhasil membuat anjing itu mengerti. "Kalian ingin minum sesuatu?"
"Tetaplah di sini. Aku sudah meminta minum pada Nicholla."
"Ternyata dia yang membantu kalian untuk datang. Ada apa? Aku sedang malas bermain golf, bowling, basket, atau apa pun yang berhubungan dengan bola."
"Kau ini berlagak seperti tidak ada masalah di antara kita," celetuk Austin. "Aku ingin minta maaf. Padamu, pada Allard, karena menyembunyikan pekerjaan sampinganku."
"Tenanglah, Austin. Aku bisa mengerti. Lagi pula tak ada alasan khusus yang membuatmu harus memberitahukannya pada kami. Boleh aku bertanya padamu?"
"Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya jika memang bisa."
"Sejak kapan kau bergabung dengan mereka?"
Austin terdiam sejenak. Kedua tangan lelaki itu dimasukkan ke dalam saku celana. Alis tebalnya bergerak naik, selaras dengan matanya yang melirik ke arah langit.
"Aku tidak pernah bergabung dengan mereka. Aku bekerja pada jalurku sendiri. Fori Digital lah yang membuatku harus membantu mereka. Awalnya kupikir hanya kerja sama biasa, semacam produksi barang atau mengembangkan teknologi yang sudah ada. Namun kemudian Daddy menceritakan semuanya, dan aku mulai mendapat pekerjaan sampingan sejak dua tahun lalu."
"Kau tahu jika seluruh keluargaku pernah berurusan dengan DIS?"
"Bukan DIS secara langsung, lebih tepatnya Federal Department of Investigation. Uncle Terry sendiri yang menjelaskan detailnya padaku, mengajariku sistem kerja mereka. Kalau kalian ingat, ketika kantor cabang Daily Union terbakar, saat itulah pertama kalinya aku turun langsung ke lokasi."
Mendengar nama Daily Union disebut, membuat Allard yang tadinya sibuk memainkan air kolam, langsung menoleh dan menatap Austin lekat-lekat. Matanya menyipit, mencoba mencari kebenaran dari ucapan lelaki itu. Namun selang beberapa waktu ekspresi Austin tak kunjung berubah, menandakan jika ucapannya serius.
Allard menepuk pundak Austin kencang. "Pantas saja Papa melarangku untuk datang ke lokasi. Sial, ternyata kau alasannya."
"Bayangkan saja, betapa sulitnya diriku harus menjaga rahasia sebesar ini. Sebagian besar dari berita yang pernah kalian bicarakan, aku sudah mengetahui terlebih dahulu tentang kebenarannya. Sayangnya aku hanya boleh diam. Sekarang aku merasa lega. Tidak ada lagi kata-kata yang harus aku tahan."
"Jika kau bekerja membantu Daily Union, apa itu artinya suatu hari nanti kau juga akan membantu Peterson Holdings?"
"Tergantung permintaan," jawab Austin. "Alur sederhananya seperti ini. Seseorang harus membayar pada departemen investigasi untuk melakukan penyelidikan. Aku, yang menjadi bagian dari Fori Digital, di mana sudah terdapat kontrak kerja sama, baru akan membantu ketika diperlukan. Jika tidak, maka kami tidak bisa ikut campur."
"Austin," Allard berbisik sambil mendekat, "berapa yang harus dibayar pada FDI untuk menyelesaikan satu kasus?"
Austin tertawa terbahak-bahak, sampai harus memegangi perutnya. Sudut mata laki-laki itu bahkan mengeluarkan air. "Ini pertanyaan menarik, sayangnya aku tidak tahu. Tanyakan saja pada Uncle Terry atau Papamu." Austin terdiam sejenak guna menyeka air matanya. "Tapi aku pernah melihat catatan keuangan Fori Digital. Di sana tertulis jika FDI membayar sekitar empat puluh ribu euro, untuk dua buah ponsel dengan sistem operasi khusus di dalamnya," tambah Austin.
Jika sebuah departemen investigasi memiliki klien sekelas Daily Union, maka nominal tersebut tidaklah mengejutkan. Kedengarannya memang besar untuk harga ponsel, namun sepertinya cukup setara mengingat itu ponsel keluaran khusus. Sekarang Alexander jadi bertanya-tanya, berapa kira-kira bayaran yang didapat oleh pekerja di sana?
Akan tetapi itu bukan pertanyaan yang penting. Masih ada hal lain yang harus Alexander ketahui dari Austin.
"Austin, kapan pertama kali kau tahu jika Hailexa bekerja pada FDI?"
"Kami bertemu dalam acara yang diadakan oleh perusahaan teknologi lain. Di sana Hailexa dan temannya diminta untuk meminjam sebuah chip. Tanpa izin. Lalu aku datang untuk membantu mereka. Kami sama-sama terkejut saat bertemu."
"Tanpa izin?" Allard memotong cerita Austin dengan cepat. "Itu sama saja dengan mencuri, bodoh! Kau ini bisa menjadi bajingan juga."
Austin kembali tertawa. Dia sama sekali tak tersinggung saat Allard memakinya. Itu lebih terdengar seperti hiburan. "Ada beberapa aturan yang diterapkan dalam menjalankan suatu misi. Salah satunya dilarang membicarakan hal yang bersifat privasi, khususnya saat berada di tengah kerumunan. Termasuk di tempat mana kau bekerja, dan siapa saja orang-orang di yang ada balik misi. Sebenarnya tanpa perlu disebutkan, aku sudah tahu jawaban untuk poin pertama. Namun tidak untuk poin kedua."
"Dan malam itu Hailexa masih belum tahu jika Alex adalah putra dari Terry Peterson," tebak Allard yang langsung direspons dengan anggukan oleh Austin.
"Saat pulang, aku langsung bertanya pada Daddy mengenai siapa yang memimpin misi tadi. Jawabannya adalah Aldrich Arce. Itu membuatku lega, sekaligus menunda niatku untuk memberitahukan tentang keluarga Peterson pada Hailexa. Sialnya keputusan ini menjadi awal dari sebuah masalah."
"Aldrich Arce? Itu laki-laki yang terus bersama Hailexa? Beri tahu aku, dia seperti apa? Lalu bagaimana sikapnya pada Hailexa?" desak Alexander dengan kedua tangannya yang sedang meremas pakaian Austin.
Austin meringis sebab dapat merasakan emosi Alexander. Dia menyingkirkan tangan laki-laki itu secara perlahan, agar menjauh dari tubuhnya. "Bukan. Lelaki yang bersama Hailexa adalah Bedric. Aku tidak mengenalnya sama sekali."
"Kau tidak perlu khawatir Alex. Kita bisa cari tahu bersama siapa itu Bedric," usul Allard yang sebenarnya bukan jalan keluar yang tepat. Alexander tidak ingin mencampuri urusan pribadi Hailexa lagi, kecuali terpaksa.
Setidaknya untuk saat ini aku sedang menahan diri.
"Jangan marah padanya, Alex. Hailexa sempat membicarakan tentang dirimu. Dia sadar akan kesalahannya dan sudah ingin mengaku, hanya saja masih menunggu waktu yang tepat."
"Aku tidak marah Austin, tenang saja. Awalnya memang menyakitkan, tetapi aku mencoba untuk memosisikan diriku jadi sepertinya. Ini bukan perkara mudah. Dia punya banyak pertimbangan."
"Hal yang sama berlaku untukku juga 'kan?"
Allard dan Alexander saling berpandangan satu sama lain. Bibir Allard mencebik, seolah menolak permintaan Austin. Akan tetapi sedetik kemudian, laki-laki itu sudah melebarkan kedua lengannya dan memeluk Austin erat-erat.
"Oui, oui," ujar Allard sambil memberikan tepukan pada punggung.
"Ah, ada satu hal lagi yang harus kuakui pada Alex. Malam itu aku mencium pipi Hailexa dengan sengaja."
Tepukan Allard pada punggung Austin langsung terhenti. Pelukannya ikut terlepas beberapa saat setelahnya. "Kenapa kau mengatakannya hah? Seharusnya kau simpan saja sendiri," geramnya.
"Lebih baik jika Alex mendengarnya langsung dariku, Allard."
"Haish. Kau ini! Benar-benar hanya di pipi 'kan? Sudahlah. Aku bisa apa, itu sudah terjadi," ujar Alexander santai hingga membuat Austin bernapas lega.
Sayangnya itu hanya berlaku di awal. Tanpa Austin sadari, Alexander yang terlihat akan berbalik untuk mengambil ponselnya, tiba-tiba mendorongnya begitu kuat dan membuatnya tercebur ke dalam kolam renang.
"Berani-beraninya kau berbuat seperti itu. Dia milikku! Mendorongmu ke kolam saja sebenarnya tidak cukup. Kau menyebalkan sekali, Austin!"
"Kau benar. Tindakanmu belum cukup, Alex. Jadi kupikir," tanpa banyak gaya, Allard yang sedari tadi hanya memperhatikan langsung mendorong tubuh Alexander dengan kakinya, sehingga laki-laki itu ikut tercebur, "kalian berdua harus masuk dan adu tinju di dalam sana."
Allard mundur beberapa langkah, kemudian melepaskan kemeja, celana, beserta sepatunya. Senyumnya tersungging begitu lebar. Allard mengambil ancang-ancang, sebelum akhirnya berlari agar bisa melompat ke dalam kolam.
"Allard Allard Allard, hentikan!"
"Allard Allard!"
Austin dan Alexander berteriak bersamaan, namun tentunya diabaikan.
"Aku akan menjadi wasit bagi kalian. Ayo, mulai adu tinjunya!" sorak Allard usai tubuhnya ikut basah.
"Astaga! Tidak bisakah kalian menyelesaikan masalah dengan cara yang normal?"
Ketiganya langsung menoleh dan mendapati Emma, Nicholla, serta seorang pelayan berdiri di dekat pintu pembatas.
"Sudahlah Nicholla, mereka punya cara sendiri. Ini lebih baik dibandingkan dengan saling berteriak. Oh, letakkan saja minumnya, setelah itu tolong bawakan handuk untuk mereka," ujar Emma sembari menunjuk pada meja yang kosong. "Allard, Austin, setelah ini jangan langsung pulang. Kita makan malam bersama."
Allard dan Austin baru memutuskan untuk pulang setelah waktu menunjukkan pukul sepuluh. Selepas makan malam, mereka memilih menghabiskan sisa hari dengan bermain gitar sekaligus melihat bintang, dari ruangan terbuka di lantai teratas rumah Alexander. Kepergian dua temannya tak langsung membuat lelaki itu pergi tidur. Ia justru kembali naik guna membersihkan sampah makanan dan minuman yang tertinggal di atas meja.
Ketika sedang memungut sampah terakhir, Alexander mendapati ponselnya berkedip beberapa kali. Dengan gerakan cepat, ia langsung meraih ponsel itu dan melihat apa yang terjadi. Senyum Alexander mengembang, dikarenakan satu pesan yang dikirim untuknya berasal dari Hailexa. Ini bukan pesan berbasis teks, melainkan suara dengan durasi yang lumayan panjang.
Astaga, gadis itu benar-benar tahu jika Alexander sedang merindukannya. Wajar saja, sejak kejadian kemarin malam mereka belum berkomunikasi sedikit pun. Setelah ini Alexander akan siap jika diminta untuk datang ke apartemen.
"Alexander. Kau sudah akan tidur? Jika belum, dengarkan aku sebentar saja ya ...."