Tidur selama beberapa jam ternyata tidak ampuh untuk menghilangkan lelah di tubuhnya. Hailexa menguap lebar, kedua lengannya diregangkan untuk mengurangi rasa kaku. Ini benar-benar gila. Alexander sudah gila, tetapi Hailexa tidak bisa membohongi dirinya jika ia menikmati permainan tadi.
Sungguh, ini hari yang penuh dengan hal manis.
Lelaki itu masih tertidur, cukup nyenyak sampai suara pintu yang tertutup dengar keras saja tidak membangunkannya. Dari tempatnya sekarang, Hailexa bisa mengamati wajah Alexander begitu jelas. Dia terlihat damai dan polos, jauh dari Alexander beberapa jam lalu.
Seketika Hailexa menipiskan bibir, teringat bagaimana cara lelaki itu memperlakukannya. Setiap kali Alexander mengutarakan kalimat pujian, jantungnya berdegup kencang, Hailexa seakan begitu dicintai. Ketika lelaki itu membisikkan kalimat nakal, tubuhnya jadi gemetar dan sulit untuk bernapas. Terlebih saat mereka melakukannya di kamar mandi, Alexander seperti—sial, kenapa tubuhnya kembali panas sekarang?
Grace, berhenti. Kehidupanmu tidak berpusat pada ranjang saja!
Untuk mengalihkan perhatiannya, Hailexa memilih meraih ponsel dan membuka aplikasi kamera. Ini momen menakjubkan, di mana dirinya bisa mengambil foto Alexander saat tertidur. Hailexa tersenyum geli melihat hasil jepretan yang didapat. Andai saja akun media sosialnya masih aktif, ia sudah pasti mengunggah seluruh foto-foto ini.
"Kau tahu, dalam kamusku mengambil foto tanpa izin adalah perbuatan ilegal."
Hailexa sedikit terkejut saat mendengar Alexander berbicara padahal mata lelaki itu masih tertutup. Sebagian wajahnya dalam keadaan tenggelam pada bantal. "Seperti kau tidak pernah melakukannya saja," debat Hailexa untuk membenarkan tindakannya.
"Tidak di saat kau tertidur. Hailexa, hentikan," pinta Alexander dengan suara serak khas bangun tidur. Telapak tangannya kini digunakan untuk menutupi sebagian wajahnya.
Semakin dilarang, maka semakin dilakukan. "Kenapa? Ini bagus." Hailexa menarik pergelangan tangan lelaki itu, menyingkirkannya agar wajah Alexander bisa terlihat.
Sudut bibir Alexander ditarik, menampilkan segaris senyum yang malu-malu, namun mampu membuat dada Hailexa menghangat. Jika Alexander terus terlihat seperti ini, tidak akan ada yang percaya jika usianya sudah dua puluh empat. Kenapa wajahnya begitu menggemaskan, Hailexa takut orang-orang berpikir dirinya mengencani anak di bawah umur.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Kurang dari satu hari saja aku merasa seolah melihatmu dalam dua wujud yang berbeda. Cobalah untuk bercermin."
"Apa aku terlihat menggemaskan di matamu?" tebaknya. Hailexa mengangguk, menyetujui. Menggemaskan dan begitu lembut, hingga harus hati-hati saat menyentuhnya. Dia seperti bayi. "Benar rupanya. Lalu bagaimana dengan wujud satunya. Jangan sampai kau melihatku sebagai iblis," sambung Alexander.
Tentu tidak. Ah, mungkin hampir. Bukan iblis dalam artian buruk, namun sesuatu yang lain. Lelaki itu adalah iblis yang mampu mengacaukan perasaannya, walau hanya duduk sambil membaca buku. Sekarang Hailexa merasa malu atas perbuatannya yang menggoda Alexander terlebih dahulu.
Hailexa menggigit bibir, tidak berani mengatakan isi pikirannya. "Tebak saja sendiri," sahutnya ketus.
"Aku sudah tahu. Raut wajahmu mengatakan segalanya. Oh, jam berapa sekarang?" Tiba-tiba saja Alexander bangkit dari tempat tidur, kemudian mengambil pakaiannya yang sedang digantung. "Syukurlah belum terlambat."
"Kau akan ke mana setelah ini? Buru-buru sekali."
"Bukan buru-buru, aku hanya tidak ingin terlambat. Lebih baik aku yang menunggu di sana. Hari ini Nicholla pulang dan aku harus menjemputnya ke bandara."
Nicholla, adik Alexander, Hailexa masih ingat itu.
Ketika Alexander sedang bersiap di kamar mandi, Hailexa berdiri di dekat jendela. Hujan sudah reda, namun langit masih saja mendung. Ini nyaris memasuki malam hari, akan tetapi Hailexa belum beranjak dari apartemen sedikit pun, bahkan sejak kemarin.
Usai kembali dari gedung Chiplytical, Alesya memberinya waktu libur untuk beristirahat selama beberapa hari. Hailexa pikir akan menyenangkan jika ia terus diam di apartemen. Nyatanya itu hanya bayangan belaka. Ia benar-benar mati bosan terlebih Alexander juga tidak setiap saat bisa datang.
Perkataan Austin masih berputar jelas di kepalanya. Sejak kejadian itu Hailexa selalu mencoba memberanikan diri mengaku pada Alexander. Sayangnya ketika kalimat itu sudah di ujung lidah, tiba-tiba saja Hailexa menjadi ragu. Entah kapan, tetapi tampaknya ia tak bisa menunda lebih lama lagi.
"Bekasnya terlihat sekali, ya?"
"Huh?" Hailexa mengernyit, sebelum akhirnya merasakan usapan jemari Alexander pada sisi leher dan bahunya. "Tidak akan terlihat jika aku menutupnya dengan benar."
"Tidak perlu ditutup, ini bagus. Apa rasanya sakit?"
Hailexa menggeleng. Bekas kemerahan di tubuhnya memang tidak sakit, namun ini bukan hal yang bagus. Mungkin bagus jika hanya Alexander yang tahu, tetapi tidak dengan orang lain. "Boleh aku memamerkannya? Mengatakan pada mereka, lihat karya ini. Apa ada yang bisa menciptakan karya seindah ini? Begitu?" ujar Hailexa diiringi dengan kekehan geli.
"Simpan untuk dirimu sendiri. Jangan juga bertanya pada orang lain. Kalimatmu menyebalkan." Alexander mendekatkan wajahnya, kemudian mengecupi setiap bekas kemerahan yang ada. "Diriku berbakat juga," pamernya dengan kepercayaan diri yang cukup tinggi.
Hailexa memutar tubuh. Kedua tangannya menangkup pipi Alexander. Ia sedikit berjinjit lalu memberikan kecupan kilat pada bibirnya. "Simpan bakatmu itu baik-baik. Tulangku rasanya ingin terlepas, beruntung aku masih sanggup berjalan."
"Kau memang punya cara yang unik untuk menggodaku." Batang hidung mereka kini bergesekan. Napas hangat Alexander diembuskan dengan perlahan, dia berbisik, "The moon is beautiful, isn't it?"
Tatapan Hailexa kembali mengarah pada jendela. "Aku tidak melihat bulan. Kau menipuku ya?" tanyanya dengan jengkel.
"Memang tidak ada, tetapi bukan berarti aku menipumu."
"Aku akan memukul kepalamu jika nanti malam bulannya tidak muncul."
Alexander tertawa kencang. Satu tangannya diarahkan pada puncak kepala Hailexa, mengusapnya berulang kali.
"Alexander, boleh aku menumpang hingga ke minimarket di bawah sana? Beberapa kebutuhan dapur sedang habis."
"Tentu. Kau tidak perlu bertanya, atau kau perlu tempat yang lebih besar? Aku bisa mengantarmu sekarang."
Alis Hailexa terangkat. Apa lelaki ini sudah pikun? "Bukankah kau harus menjemput adikmu?" tanya Hailexa memastikan.
"Dia bisa menunggu sebentar. Aku juga bisa meminta orang lain menjemputnya. Lagi pula aku tidak pernah mengatakan pada Nicholla jika aku yang pergi ke bandara."
Tidak tidak, jangan sampai hal ini terjadi. Hailexa tidak ingin menyimpan Alexander untuk dirinya sendiri, terlebih Nicholla adalah adik lelaki itu. Dia pasti akan senang jika kakaknya datang menjemput. Keterlambatan Alexander juga bisa memicu penilaian buruk dari Nicholla terhadapnya. Meski Hailexa belum tahu seperti apa karakter gadis itu, paling tidak ia perlu berjaga-jaga.
"Aku akan marah jika kau bersikap seperti itu. Cukup antarkan sampai minimarket lalu pergilah, atau lebih baik aku menetap di sini saja," ancamnya.
"Hailexa. Baiklah, hanya mengantar," balas Alexander pasrah.
"Beri aku waktu untuk bersiap, MAlesyarick. Tunggu di luar."
Mobil Alexander sudah berhenti di depan minimarket dekat kompleks apartemen. Lelaki itu terdiam, menatapnya dengan kepala yang dimiringkan. Hal ini membuat Hailexa bertanya-tanya, sekaligus menahannya untuk tidak langsung turun.
"Kau tidak ingin ikut denganku ke bandara?"
Hailexa menggeleng. "Nicholla pasti ingin menghabiskan waktu denganmu," ujarnya. "Pergi sekarang," imbuh Hailexa lalu mengecup pipi Alexander cepat dan segera turun.
Ada hal lain yang Hailexa sembunyikan dari Alexander sekarang. Kebutuhan dapurnya memang sudah menipis, namun tujuan Hailexa datang ke minimarket bukanlah untuk membeli barang-barang tersebut. Tadi pagi Hailexa mendapat pesan dari Alesya, malam ini akan dilakukan pembedahan terhadap chip yang sudah didapat. Alesya mempersilakannya untuk datang jika memang ingin. Berhubung ia sedang bosan, Hailexa memutuskan untuk datang.
Ketika akan berjalan menuju kasir, ponsel Hailexa berdering, ada panggilan masuk dari Bedric. Laki-laki itu menawarkan diri untuk menjemputnya karena sedang berada di lokasi yang searah.
"Aku tidak melihatmu."
"Tunggu sebentar," Hailexa melihat pada antrean yang cukup ramai, "aku sedikit lapar jadi perlu membeli beberapa makanan. Kau ingin sesuatu?"
"Samakan dengan milikmu saja."
Langit memang sudah berubah gelap, namun tanda-tanda kehidupan di sekitar markas masih terlihat dengan jelas. Selain mereka yang bertugas untuk menjaga, beberapa orang lain sedang lalu-lalang membawa berbagai pekerjaan. Hailexa berjalan di samping Bedric sambil menikmati sisa rotinya yang belum habis. Di depan sana, Alesya terlihat sedang berbicara pada dua orang pria berpakaian putih.
"Kalian datang rupanya. Kenapa pakaianmu, Grace?"
"Seseorang tak sengaja menumpahkan minumannya saat aku di minimarket. Jadi bagaimana hasilnya?"
"Kami belum melakukan apa pun," jawab Alesya. "Sebelum masuk, biarkan mereka melakukan cek keamanan. Ini sudah prosedur, jadi jangan membantah meski tentunya kalian tidak mungkin membawa bahan peledak. Aku ingin semuanya bersih. Ponsel tetap di sini."
Hailexa menyerahkan ponsel serta tasnya pada salah satu dari dua pria tadi. Ia juga mengambil cairan pembersih tangan sebelum akhirnya berjalan melalui mesin detektor. Ketika Hailexa menunggu Bedric selesai, tiba-tiba saja terdengar bunyi alarm yang begitu keras. Semua orang langsung menoleh, beberapa dari mereka yang berada di ruangan lain sampai ikut datang.
"Ini bukan mesin detektor 'kan?" tanya Alesya.
Tentu bukan. Tidak ada yang sedang lewat di sana. Hailexa sudah melaluinya namun tidak ada bunyi.
"Bukan," sahut seorang pria dengan cepat. "Alarmnya berbunyi ketika alatku melewati tas ini."
Bak terjatuh dari gedung tinggi, Hailexa begitu terkejut, bingung, ketakutan, serta heran saat tas yang dimaksud adalah miliknya. Baru beberapa waktu lalu Hailexa memuji jika ini adalah hari yang manis, namun mengapa harus mendapat akhir yang seperti ini. Begitu buruk dan masam.
Tanpa perlu disuruh, pria tadi langsung mengeluarkan seluruh isi tasnya dan memeriksanya secara detail. Akan tetapi tidak ada apa pun selain dompet yang berisi kartu, beberapa lembar uang, serta kertas nota.
"Isinya semua aman."
Semua orang terdiam, merasa kebingungan.
"Sepertinya bukan berasal dari isi tas, melainkan tasnya," celetuk Aldrich yang baru saja tiba.
Karena ucapan Aldrich, pria tadi akhirnya mengarahkan alat di tangannya ke atas tas milik Hailexa. Alarmnya kembali berbunyi, membuat Aldrich langsung berjalan mendekat.
"Aku rasa dari sini sumbernya." Aldrich menyerahkan sesuatu dari tangannya untuk kembali diperiksa. Dia benar, benda itu berbunyi. "Asal kalian tahu saja, benda ini dilengkapi dengan sistem GPS."
Bibir Hailexa menganga ketika Aldrich memberikan sebuah gantungan kunci berwarna silver kepadanya. "A-aku tidak pernah membeli benda ini. Bagaimana bisa?" tanyanya heran.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun seseorang yang meletakkan benda itu pasti ingin tahu ke mana kau pergi."
"Mereka sudah tahu? Tidak mungkin. Ini terlalu cepat. Tidak mungkin mereka menemukan—" Bedric yang sedari tadi diam mendadak berbicara dengan nada heboh, namun berhenti saat kalimatnya belum selesai.
Ada apa dengannya? Hailexa merasa seperti ada sesuatu yang salah atau sedang disembunyikan. Terlebih ketika mendapati Alesya yang menatap Bedric dengan tatapan menusuk, membuat semuanya terasa begitu jelas.
Aldrich menepuk pundak Hailexa lembut. "Apa kau merasa ada orang asing yang mendekatimu atau berusaha mencelakaimu, Grace?"
"Kurasa tidak. Kehidupanku normal sejak kembali dari Chiplytical. Aku juga lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen."
"Grace, tunggu." Alesya menghentikan kalimatnya, sementara Hailexa menahan napas. Ia merasa pertanyaan Alesya akan mengejutkannya, bahkan mungkin semua orang. "Apa kau ingat wajah orang yang menumpahkan minumannya pada pakaianmu?"
Tepat sekali, sesuai dugaannya.