"Kau serius akan kembali ke Seattle dalam waktu dekat? Tidak ingin dipikirkan ulang?"
Nicholla meletakkan garupunya di atas piring, sedangkan kepalanya mengangguk begitu yakin. "Aku sudah pikirkan semuanya. Ini hanya jeda di antara kuarter, bukan libur Natal atau musim panas. Lagi pula Mommy dan Daddy akan ikut denganku. Salahmu sendiri yang menolak tawaran itu," ujarnya cepat.
Alexander yang sedang berdiri di belakang Nicholla, langsung memeluk gadis itu seerat mungkin. Nicholla memukul-mukul lengannya, meminta untuk dilepas. Mungkin dia merasa sesak, namun Alexander tetap tidak peduli.
"Ah diam dulu. Aku pasti akan merindukanmu setelah kau pergi."
"Terlalu banyak drama. Menjijikkan. Lepaskan Alexander!" teriaknya. "Sebenarnya alasan apa yang membuatmu menolak ajakan ke Seattle? Aku tahu itu hanya Seattle, bukan Parta. Tetapi kau tidak bisa meremehkannya begitu saja 'kan?"
"Cerewet sekali. Seattle atau Parta, aku tetap tidak akan pergi."
"Itu karena dia akan merindukan gadisnya, Nicholla," sahut Emma yang tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Dia jarang pulang ke rumah akhir-akhir ini. Sayangnya Mommy atau Daddymu, tidak ada yang tahu siapa gadis kesayangannya."
"Mom!"
"Benarkah? Pelit sekali."
Alexander dan Nicholla bicara dalam waktu yang bersamaan guna menanggapi kalimat Emma. Napas kasar Nicholla berembus, merasa kesal akan tindakan Alexander. Laki-laki itu sendiri mengerucutkan bibirnya sejenak, sebelum tersenyum karena menyadari jika tidak ada orang rumah yang pernah bertemu dengan Hailexa.
"Di mana Daddy? Aku belum melihatnya sejak tadi," tanya Alexander.
"Pergi memancing bersama Austin," jawab Emma.
Setiap kali Terry ingin pergi memancing, orang pertama yang pria itu ajak adalah Austin. Alexander memang tipe orang yang bisa bersabar, namun tidak dalam kegiatan memancing. Baginya itu hanya buang-buang waktu, belum lagi jika tidak mendapat hasil yang setara. Allard justru lebih parah. Batas kesabarannya cukup tipis. Maka dari itu Terry lebih suka mengajak Austin, yang kebetulan memancing menjadi salah satu hobinya.
"Parta, kau jadi ke rumah Allard? Mommy ingin titipkan sesuatu untuknya," tambah Emma seraya melirik pada paper bag di sudut ruangan.
"Kau? Bertemu Allard?" sosor Nicholla heboh. "Aku ikut."
Kepala Alexander menggeleng tegas. "Tidak boleh. Ini urusan lelaki," tolaknya mentah-mentah.
"Alexander, aku janji tidak akan mengganggu," rengeknya. "Kumohon Parta."
"Di rumah saja, bersama Mommy. Aku usahakan kembali sebelum jam makan malam," ujar Alexander sambil menerima paper bag dari Emma, lalu sesegera mungkin melangkah pergi.
Bukannya ia tega pada Nicholla, alasan Alexander tidak mengajak adiknya itu sebab urusannya dengan Allard bersifat privasi. Ia tidak ingin Nicholla sampai tahu atau bahkan ikut campur.
Ketika tiba di rumah Allard, Alexander langsung melangkah cepat menuju kamar lelaki itu. Jika biasanya saat dirinya datang Allard sedang tidur atau bermalas-malasan, kali ini dia justru duduk serius di depan komputer dengan kacamata yang menggantung pada hidungnya.
"Mommy menitipkan ini untukmu. Vanila dan earl grey."
Pandangan Allard langsung mengarah pada paper bag di atas meja. Satu alisnya bergerak naik, sebelum akhirnya dia menyadari sesuatu dan buru-buru bangkit dari kursi. "Astaga, padahal kemarin lusa aku hanya bercanda. Aunty Emma benar-benar membuatkannya untukku. Jangan iri Alexander, tetapi aku memang spesial," guraunya sambil mengamati dua kaleng berwarna silver.
"Jangan berpikir terlalu tinggi. Itu hanya kue kering. Lagi pula Nicholla sedang pulang, sekalian saja membuatkannya untukmu juga." Alexander mengambil alih kursi milik Allard. Ia menatap pada layar komputer, memperhatikan peta yang terpampang secara detail. "Jadi katakan padaku tentang hasilnya," imbuh Alexander.
Allard melangkah mendekat dengan sebuah kaleng dipelukannya. Dia menunjuk beberapa titik pada peta, menjelaskan tempat-tempat mana saja yang pernah dikunjungi. "Tiga hari sebelumnya terlihat normal. Titiknya berpindah-pindah. Namun sejak kemarin terus diam, koordinatnya tidak berubah. Ini antara dia memang menetap di sana, atau menyadari alatmu sehingga sengaja meninggalkannya di tempat yang sama."
Alexander memejamkan mata, merasakan kepalanya mulai berdenyut. Terakhir kali saat dirinya menginap di apartemen Hailexa, Alexander meletakkan sebuah gantungan kunci yang sudah dipasangi GPS pada tas gadis itu. Terdengar jahat memang, namun ini adalah cara yang berkali lipat lebih baik dibanding mengakses ponsel tanpa izin.
"Menurutmu, kemungkinan mana yang sekarang terjadi?"
"Kau tahu Alexander, jika Hailexa memang ada hubungan dengan DIS atau semacamnya, maka ini akan jadi lebih rumit. Teknologi mereka jauh lebih canggih. Bisa saja sekarang mereka sudah menyadarinya, lalu sengaja membuat rencana untuk menangkap pemiliknya keluar. Sesuai ucapanku sebelumnya, sambungan ini harus segera diputus atau mereka akan mencari kita. Paling lambat adalah dua hari dari sekarang."
Setelah memasangkan benda itu pada tas Hailexa, sampai detik ini mereka belum sempat untuk kembali bertemu. Gadis itu mengatakan jika sedang sibuk, punya banyak tugas yang harus dikumpulkan dalam waktu dekat. Entah tugas apa yang dia maksud, Alexander mencoba memberikan ruang untuk Hailexa. Lagi pula di saat yang bersamaan dirinya juga disibukkan dengan dokumen-dokumen kantor, serta momen kehadiran Nicholla yang jarang bisa didapatkan.
"Aku mendapat informasi tambahan. DIS menaungi sebuah kelompok," Allard mengerutkan alisnya, merasa ragu, "bukan kelompok, organisasi mungkin atau badan intelijen. Entah bagaimana mereka menyebutnya. Salah satu sumber mengatakan tugas organisasi ini menyelidiki berbagai macam kasus, misal pembunuhan atau peredaran narkoba. Aku tidak tahu sekarang mereka bekerja untuk Italia saja atau beberapa negara. Namun yang aku tahu, kurang lebih dua puluh tahun lalu, mereka punya markas yang cukup besar di New York. Russell Federation of Investigation atau sering dikenal sebagai RFI."
"Russell? New York? Dua puluh tahun lalu?" Alexander semakin merasa kebingungan setelah mendengar cerita dari Allard. Dua puluh tahun lalu, itu rentang waktu yang lama. Informasi yang beredar juga pasti terbatas, terlebih jika mereka adalah organisasi penyelidikan. "Russell. Dean Russell dan Jack Russell. Ini jelas bukan kebetulan, Allard."
"I know that's right. Lokasi persisnya di Manhattan, bukan Parta." Allard menipiskan bibir, mencoba menahan ejekannya. "Tanyakan pada Daddy atau Mommymu, mungkin saja tahu sesuatu. Mereka dulu tinggal di New York, bukan?"
"Manhattan, ya mereka bertemu di sana. Lalu menurutmu, apa Hailexa bergabung dengan organisasi seperti itu?"
Allard mengangguk yakin. "Perasaanku mengatakan ya. Jika ini benar, maka dia berurusan dengan banyak orang jahat di luar sana. Bisa saja saat ini Hailexa sedang melakukan misi penting, atau justru ada orang lain yang mengintainya selain kita."
"Apa yang membuatnya bisa bergabung dengan organisasi itu? Dia hanya gadis biasa."
"Kenapa kau bersikap seolah-olah aku tahu segalanya, Alexander?"
Alexander mengusap wajahnya kasar. Ia mengerang kencang. "Titiknya belum berpindah 'kan?"
Allard menggeleng sebagai jawaban.
"Beri kabar jika terjadi sesuatu. Aku harus cari tahu, sekaligus memastikan dia baik-baik saja."
Alexander sudah akan meraih gagang pintu kamar Allard, berisap untuk keluar, namun panggilan laki-laki itu menghentikan tindakannya. Ia menoleh, menatap Allard dengan alis yang terangkat.
"Jika semua ini benar, Hailexa memang bekerja pada organisasi tertentu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau masih akan mencintainya, Alexander?"
Sudut bibir Alexander bergerak naik. Pertanyaan ini sungguh menarik. "Kau tak perlu cemaskan apa pun. Aku mungkin butuh waktu untuk mencerna kenyataan. Namun satu hal yang pasti, aku akan tetap mencintainya. Dia jelas punya alasan untuk semua ini. Kita juga lakukan hal yang sama untuk Austin 'kan, Allard?"
Segaris senyum terbentuk di bibir Allard. Kedua matanya kini berkaca-kaca. Rasa harusnya menguar karena mendengar kalimat Alexander. "Ya, kita lakukan yang sama. Austin juga punya alasan," ujarnya sambil menahan diri agar air matanya tidak jatuh.