Hailexa menipiskan bibir, lelaki itu benar. Tidak seperti Austin yang menyembunyikan fakta soal pekerjaan sampingannya, Hailexa justru berbohong sejak awal pada Alexander. Payah sekali. Mereka sudah berjalan sejauh ini dan Hailexa sukses mengacaukannya.
"Bagaimana jika dia marah padaku?"
"Alex bukan lelaki dengan pikiran sempit. Jika kau bicara jujur dan berusaha untuk menjelaskan, aku yakin dia akan mengerti. Lebih cepat lebih baik, sebelum dia sendiri yang menemukan fakta ini."
Keluar dari lift Hailexa langsung dihadapkan pada anak tangga yang menuntunnya menuju landasan helikopter. Bedric yang sudah tiba lebih dahulu sedang melambai ke arahnya, berdiri tegak di dekat pintu masuk helikopter berwarna hitam.
"Tunggu tunggu, jangan katakan aku akan kembali naik kendaraan ini?" tanya Hailexa dengan nada bingung dan sedikit tidak percaya. Seumur hidup ia belum pernah naik helikopter.
"Memang seperti itu kenyataannya. Pergilah dan cepat istirahat. Alexander tidak akan suka jika kekasihnya sakit." Austin mendekatkan wajahnya, kemudian mengecup pipi Hailexa cepat. "Dia juga tidak akan suka jika aku melakukan ini, tapi biar saja."
"Austin, aku bukan kekasihnya. Kau tidak ikut pergi?"
"Belum, kau hanya belum. Hailexa, aku punya banyak pekerjaan. Selamat malam."
"Selamat malam, terima kasih atas bantuanmu," pamit Hailexa yang kemudian segera menghampiri Bedric.
Dari atas sini, pemandangan lanskap kota Turin saat malam sangatlah indah. Seharusnya Hailexa senang dan menikmati momen langka ini. Akan tetapi keindahan tadi justru berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang dipenuhi dilema serta penyesalan. Astaga, kenapa hidupnya jadi serumit ini?
***
"Kau sudah bicara dengan adikmu?"
Alexander yang semula sedang membuat kopi sedikit terlonjak karena tiba-tiba mendengar suara Emma. Padahal saat melewati ruang makan tadi, ia hanya melihat Terry yang sedang duduk dan fokus pada ponsel.
"Aku belum menghubunginya sejak tiga hari lalu. Ada apa?"
"Dia akan pulang dalam waktu dekat."
"Pulang? Untuk apa Nicholla pulang?"
Emma menatap Alexander sinis. Kedua tangannya kini berkacak pinggang. Kepalanya menggeleng, mengisyaratkan jika tak mengerti dengan cara pikir putranya. "Ini masih rumahnya. Kenapa dia tidak boleh pulang? Lagi pula kuarternya baru berakhir, maka dari itu Nicholla memutuskan untuk pulang. Saat kembali nanti, kami berencana untuk ikut. Bagaimana denganmu?"
Alexander bernapas lega saat mengetahui alasan Nicholla pulang karena kuarter perkuliahannya baru saja berakhir. Ia nyaris berpikir jika gadis itu nekat pulang hanya karena khawatir padanya. "Kami? Mommy dan Daddy?" tanya Alexander memperjelas kalimat Emma.
"Tentu saja."
"Ah, entahlah. Kurasa tidak. Aku akan segera beri tahu jika berubah pikiran."
"Kau berkata akan pergi ke rumah Allard, kenapa justru membuat kopi?"
"Aku melihat jika Daddy sedang tegang sambil menatap ponsel. Auranya begitu buruk. Aku tidak akan tahan jika duduk lama di dekatnya. Jadi kupikir kopi akan membuat suasananya membaik. Apa terjadi sesuatu, Mom?"
Bukannya menjawab, Emma justru bertanya balik. "Oh ya? Sebelumnya baik-baik saja. Mommy akan tanyakan padanya." Baru beberapa meter Emma menjauhi Alexander, langkahnya tiba-tiba terhenti. "Parta, jika menggunakan susu, maka ganti dengan susu almond. Daddymu lebih suka yang seperti itu," tambahnya lalu kembali melangkah.
"Aku tahu Mom."
Alexander ikut meninggalkan dapur beberapa menit kemudian dengan secangkir kopi di tangan kanannya. Di ruang makan Terry masih duduk di posisi yang sama, sementara Emma berdiri di sampingnya dengan telapak tangan yang bergerak naik turun mengusap tengkuk Terry.
"Hah, ekspresi santai seperti ini lebih baik," ujar Alexander lega setelah rahang Terry sudah tak lagi mengeras.
"Kemampuanmu dalam membuat kopi meningkat pesat setelah bekerja di kafe," komentar Terry setelah mencicipi kopi yang diberikan Alexander. "Kau akan pergi ke mana? Bertemu dengan gadismu itu? Siapa namanya, kenapa tidak ada yang pernah mengatakannya padaku?"
"Kau pikir aku tahu? Tentu tidak," sahut Emma cepat.
"Dad, kau jelas bisa mengetahui siapa gadis yang sedang dekat denganku saat ini." Alexander memutar bola matanya kesal. Dengan segala kekuasaan dan kemampuan yang ayahnya miliki, mengetahui hal semacam itu bukanlah pekerjaan yang sulit. "Dan aku tidak akan bertemu dengannya, melainkan pergi ke rumah Allard."
"Kau benar, tetapi aku tidak akan melakukannya. Buang-buang waktu saja. Namun jika kau terus seperti ini, aku bisa saja berubah pikiran."
"Terry," panggil Emma dengan nada penuh peringatan. "Abaikan kalimat terakhirnya, Parta. Kau punya banyak waktu untuk meyakinkan dirimu padanya sebelum mengenalkan gadis itu pada kami. Pergilah sebelum semakin malam, Allard pasti sudah menunggu."
Bukan tanpa alasan Alexander memutuskan pergi ke rumah Allard malam ini. Jika biasanya ia hanya akan main-main, sekarang ada hal serius yang perlu dibicarakan. Usai memarkirkan mobilnya di halaman depan, Alexander mengambil langkah lebar agar bisa segera sampai ke kamar temannya itu. Ia bahkan sampai harus mengabaikan beberapa pelayan yang sempat menyapanya karena terlalu buru-buru. Beruntung orang-orang di sini sudah familier dengan wajahnya sehingga tidak sampai dicap sebagai penyusup.
"Allard." Alexander menaikkan satu alisnya saat mendapati beberapa pasang pakaian berserakan di atas ranjang. "Kau sedang apa?"
"Akhirnya datang juga. Aku akan pergi ke Budapest, kau ingin ikut?"
"Selalu saja mendadak." Beginilah Allard, sering kali memutuskan sesuatu tanpa pikir panjang. "Ada hal penting yang harus kau ketahui."
Allard melemparkan diri ke atas ranjang, membiarkan tubuhnya berbaring sejenak. "Katakan Alex, aku sudah menunggu."
Alexander menghampiri Allard dan duduk di atas ranjang. Tatapannya ditujukan pada lelaki itu sebelum akhirnya berani buka suara. "Kau ingat universitas yang rumornya dikhususkan untuk calon mata-mata?"
"Tentu aku ingat. Aku juga pernah mengatakan padamu jika pernah melihat Austin masuk ke sana, namun kau tidak percaya. Ada apa memangnya?"
"Tepat sekali, maka dari itu aku hanya membicarakan hal ini denganmu. Beberapa waktu lalu aku melihat Hailexa masuk ke sana. Sebelumnya aku juga menemukan pistol di laci mejanya, kemudian buku yang berhubungan dengan cybercrime. Apa menurutmu ini kebetulan?"
Hening. Alexander menunggu Allard buka suara untuk berkomentar. Awalnya lelaki itu terdiam, memandangnya dengan mata yang mengerjap, sebelum akhirnya dengan cepat memeluk Alexander dan menghadiahi sebuah kecupan di pipi.
Allard menepuk-nepuk kedua pipinya, seolah tak percaya dengan pernyataan yang baru saja dia dengar. "Setelah sekian lama, kau percaya padaku rupanya," ujar Allard begitu bangga. "Kita harus cari tahu lebih dalam. Aku yakin baik Austin ataupun Hailexa sedang menyembunyikan sesuatu."
"Kau, bukannya akan pergi ke Budapest?"
"Itu bisa ditunda. Lagi pula aku sudah pernah ke sana, dua tahun lalu."
Seperti yang Alexander katakan, laki-laki di sebelahnya ini suka memutuskan sesuatu tanpa berpikir secara matang. "Ya, kau pergi denganku dan Austin saat itu. Jadi kita cari tahu sekarang?"