{Yang membuat kita kuat adalah doa. Yang membuat kita dewasa adalah masalah. Dan yang membuat kita maju adalah usaha}
* * *
* *
*
Siapa yang menginginkan cinta itu datang? Siapa yang menginginkan perjodohan itu ada? Bukannya kedua orang tua dan para guru-gurunya? Lalu kenapa, seolah Kayla yang harus bertanggung jawab atas tindakan Arya Dharma?
Bagi Kayla, tunduk pada titah Bu Nyai dan Pak Yai-nya adalah jalan untuk mencapai keridhoan hidup. Sebab guru adalah wali dari orangtuanya ketika dia mengemban ilmu di pesantren yang sudah hampir sepuluh tahun ia tinggali.
Sejak awal dia tidak bisa lagi mencintai laki-laki lain, karena titah dari orangtuanya agar menjaga hatinya untuk Arya Dharma. Gus-nya itu telah menjelma menjadi sosok calon suami yang digadang-gadang akan menemaninya hingga akhirat hayat nanti.
Akan tetapi, setelah hal itu dia laksanakan. Apa yang dia terima? Kecurangan! Sebab sampai detik ini Arya Dharma tidak memiliki perasaan sedikitpun pada dirinya.
Ketika Kayla sudah terjatuh ke lubang paling dalam dan memasrahkan segalanya pada Arya Dharma, tapi laki-laki itu malah membiarkan dia tenggelam sendirian. Dia bahkan tidak peduli akan cinta yang ia pendam.
"Mbak, Gus dharma beneran mau nekat pergi!"
Puspita-- teman kayla sekaligus khodimah Bu nyai dan Abah yai tergopoh-gopoh menemui dia setelah mendengar pertengkaran antara Gus dan kedua orangtuanya tersebut.
"Beneran, ta? Kenapa Gus dharma melakukan hal itu? Apa kebenciannya terhadapku sebesar itu, hingga membuat dia senekat itu. Sebegitu hinanya aku, hingga dia rela melawan orangtuanya,"
Remuk redam hati Kayla saat desas desus keinginan Arya Dharma untuk meninggalkan pesantren ternyata bukan isu belaka. Apalagi saat kabar burung mengatakan, jika hal itu disebabkan oleh perjodohan mereka yang sama sekali tidak disetujui oleh Gus Dharma.
Laki-laki menolak mentah-mentah perjodohan itu. Laki-laki itu tidak menginginkan Kayla sebagai istrinya.
"Jangan buruk sangka dulu. Barangkali ada permasalahan lainya yang tidak kita ketahui. Kamu jangan nyalahin diri sendiri,"
"Kamu tahu apa saja yang mereka bicarakan?" Kayla mencoba mencari tahu.
"Aku gak tahu, kay. Tapi, tadi itu aku sampai merinding melihat Bu nyai murka. Beliau gak pernah seperti itu. Apalagi itu dilakukan pada Gus dharma, anak kesayangannya,"
"Ya Allah ... Ada apa dengan Gus dharma. Kenapa dia begitu tega terhadap orangtuanya," rintih Kayla.
Pasalnya selama ini, Gus dharma tidak sekalipun berani melawan orang tuanya. Apa yang menjadi titah orangtuanya adalah kewajiban yang harus dia laksanakan. Terutama kepada Ibunya.
Gus dharma selalu memperlakukan wanita pembawa surganya itu layaknya ratu. Yang tidak pernah mengizinkan satu orang pun untuk melukainya.
Tapi kali, dia sendiri yang menyodorkan rasa sakit itu. Dia sendiri yang menjadi senjata untuk melukai Ibundanya.
"Aku harus bertemu dengan Gus dharma, ta! Aku harus mencari tahu, kenapa dia melakukan hal itu. Jika aku adalah penyebabnya, maka aku rela tersingkirkan. Aku rela yang pergi dari kehidupannya,"
Kayla sudah seperti kehilangan akal. Saat teman-temannya sudah tertidur pulas dia sudah akan bergegas saja ke kediaman sesepuhnya.
"Eh, jangan! Kamu ngawur! Gak gini caranya!" Seru Puspita mencegah kayla.
Dia menghadang Kayla layaknya polisi lalu lintas yang mencegah pengendaranya motor ya melakukan pelanggaran.
"Lalu bagaimana, ta? Ini sudah kelewat. Kasihan Bu Nyai, kasihan Abah ... Mereka pasti sedih melihat putranya seperti itu," balas Kayla yang sudah frustasi.
Yang ada dalam pikirannya adalah melabrak Gus dharma dan menanyakan penyebab perbuatan bangkangnya itu. Kayla juga sudah ikhlas jika nanti gusnya itu membatalkan perjodohan mereka. Dia sudah tidak peduli lagi. Yang terpenting adalah membuat Gus dharma sadar dan membuat dia tidak melakukan tindakan yang nantinya akan membuat dia menyesal.
"Tenang, Kay ... Tenang ... Jangan emosi dulu. Jangan sampai hal itu membuatmu melakukan hal yang nantinya kamu sesali. Kita tidak tahu apa inti permasalahannya," kata Puspita sambil mengelus-elus ke dua bahu Kayla.
"Aku gak bisa tenang, ta! Gak bisa!" Seru.
"Ok! Sekarang tarik nafas dulu, ayo!"
Kayla mengikuti instruksi Puspita.
"Keluarkan ... Lakukan itu tiga kali," ucap Puspita.
Setelah tiga kali, Kayla menemukan sedikit ketenangan. Di sela itu, Puspita sedang memikirkan untuk sedikit mengurangi permasalahan sahabatnya tersebut.
"Kamu nulis surat saja," kata Puspita.
"Surat? Kalau surat bagaimana ngasihnya?" tanya Kayla
"La memangnya kalau ketemu langsung kamu beneran bisa berhadapan dengan Gus Dharma? Lawong didekatnya saja kamu grogi, kok," jawab Puspita.
Kayla terdiam. Saat emosi tadi dia melupakan kebiasaan tersebut. Jangankan untuk berbicara, menyadari kehadiran Gus dharma saja, Kayla bisa merasakan dunia sedang berputar-putar di sekelilingnya. Jantungnya sudah akan meloncat sangking tidak bisa mengontrol degup jantungnya.
"Iya, kan? Gak bisa," tebak Puspita.
Kayla menundukkan pandangan, hal itu menunjukkan jika tebakan Puspita benar.
"Kamu disini dulu. Aku ambilkan kertas dan bolpoin. Jangan kemana-mana, apalagi sempai ke Dhalem," titah Puspita.
Kayla duduk di bangku depan kamar. Sedang Puspita masuk lagi ke dalam kamar.
Suasana pondok sudah sangat sepi. Hampir semua penghuninya sudah terlelap. Beberapa ada juga yang masih berjaga, tapi berada di mushola yang terletak di ujung kamar-kamar para santri.
"Ini," kata Puspita sambil menyodorkan kertas dan bolpoin pada Kayla.
Dengan ragu kayla menerima dua benda tersebut. Dia tidak begitu yakin dengan apa yang akan dia lakukan.
"Tenang saja, aku sudah memikirkan bagaimana caranya memberikan surat itu," kata Puspita seakan bisa membaca isi kepala Kayla.
"Kamu yakin?" tanya Kayla.
Giliran dia yang ragu-ragu. Kegaduhan dalam hatinya sudah berganti dengan kecemasan akan surat yang akan dia tulis.
Apakah nanti surat itu bisa menghentikan langkah Dharma atau malah sebaliknya?
"Yakin, bismillah ... " Ucap Puspita menyemangati.
Dengan bantuan tatakan buku, Kayla mulai menulis surat tersebut. Dia menguraikan banyak hal di dalam kertas putih itu. Dia juga memberikan penawaran untuk sang penerima.
Kiranya satu lembar saja tidak cukup. Akan tetapi waktunya sudah tidak ajak kompromi. Dia harus cepat, agar hal yang ditakutkan tidak terjadi.
"Sudah," kata Kayla seraya melipat kertas tersebut.
"Gak ada amplop," kata Puspita.
"Gak usah. Gini aja," kata Kayla.
Pergi ke kantin membeli amplop malam-malam begini akan menaruh curiga para warga pesantren lainya. Yang ada semakin banyak gosip yang berseliweran nantinya.
"Ya udah, ayo ... Ikut aku," kata Puspita.
Kayla mengangguk. Dia mengikuti langkah Puspita menuju Dhalem depan.
"Kita gak ke dalam, ta?" tanya Kayla saat mereka melewati jalan utama ke Dhalem.
Puspita terus bejalan ke garasi hingga tembus ke halaman samping Dhalem. Dimana tempat itu berada tepat dibawah kamar Gus Dharma.
"Kamu di sini," titah Puspita.
Kayla menurut saja.
Sedang Puspita mengambil kerikil-kerikil kecil yang berserakan di halaman depan. Satu batu berukuran sedang juga sudah ia genggam.
"Buat apa, ta?" tanya Kayla. Temannya itu sama sekali tidak bisa ditebak tindakannya.
"Nanti, kalau Gus Dharma keluar kamar dan sudah melihat kamu di sini. Kamu letakkan surat itu di sana. Tutup dengan batu besar ini. Lalu kamu tinggalkan surat itu. Biar Gus dharma mengambilnya," jawab Puspita menerangkan.
"Baiklah,"
Setelah itu, Puspita melempar kerikil-kerikil itu ke arah kamar Gus Dharma. Beberapa kali, hingga penghuninya terusik.
Mendengar pintu balkon bergeser, langsung membuat Puspita beralih tempat. Sekiranya dia tidak terlihat oleh Gus Dharma.
Giliran Kayla yang bekerja. Dia sudah menunduk sambil memegangi surat tersebut. Tangannya sudah bergetar. Tatapannya mengadah ke atas. Di sana sudah bertengkar pujaan hatinya dengan tatapan curiga.
Dengan bahasa isyarat Kayla memberitahukan jika dia meninggal surat di dekat taman. Dan menutupinya dengan batu besar.
Mereka tidak saling bicara, namun hati kedua sudah saling faham.