Memilih teman sama dengan halnya memilih pedang. Harus selektif, jika tidak hal itu yang akan menghancurkan mu}
* * *
* *
*
Abah Yai Umar sedikit mengubah posisi duduknya. Maklum sudah sepuh, dan pastinya pegal karena sejak tadi duduk berdiam diri.
Lelahnya tidak ingin ia perlihatkan sebab dia ingin putranya tidak cepat pergi. Tidak hanya seorang ibu yang merasakan kehilangan akan tetapi seorang ayah pun sebenarnya sama rapuhnya. Hanya saja, dia tidak ingin memperlihatkannya. Sebab ia harus memberikan contoh untuk putranya. Menjadi penguat sekaligus motivasinya.
Jika ibu adalah surga, maka ayah adalah telaga. Kemana pun kamu pergi, maka telaga yang akan menyejukkan hati. Menghilangkan dahaga dalam diri.
"Abah, Dharma minta izin. Dharma ingin berkenalan satu bulan ini saja,"
Akhirnya Dharma bisa mengutarakan maksudnya. Dadanya berdegup kencang saat mata yang biasanya teduh memandangnya, kini berkilat-kilat menatapnya tajam.
"Apa yang akan kamu peroleh?" tanya Abah yai Umar.
"Pengalaman, ilmu kemandirian, ilmu tentang keseragaman." Jawab Dharma tanpa ragu.
Dia ingat betul bagaimana dia menemukan itu semua saat berbaur dengan teman masa kuliahnya. Dia menemukan apa itu merdeka yang sesungguhnya. Dan saat ini, dia ingin merasakan hal itu lagi.
"Apa pesantren ini tidak cukup untuk memenuhi ambisimu itu?" Nada bicara kyai umar mulai meninggi.
"Hanya saat Dharma sudah berbaur dengan masyarakat lah Abah, keinginan itu akan terpenuhi. Dharma ingin_"
"Kamu ingin lari dari perjodohanmu dengan Kayla? Dan kamu juga ingin meninggalkan keluargamu? Apa yang merasuki kamu, Dharma?" Belum sempat Dharma menjelaskan. Abah yai Umar sudah menyela.
"Ibu tidak akan memberikan restu. Abahmu juga tidak akan memberikan restu untukmu, Dharma! Pendam semua keinginanmu itu! Atau tidak bisa tunda lah keinginan itu.m! Setidaknya sampai kamu benar menikah dengan Kayla," Sahut Ibu Nyai Aisyah yang ternyata sejak tadi mendengarkan pembicaraan suami dan putranya itu di balik tembok pembatas.
"Umi, Dharma sudah mengatakan. Jika Dharma tidak mencintai Kayla. Kasihan dia jika harus hidup dengan laki-laki yang sama sekali tidak pernah bisa mencintainya," bantahku.
Plak!
Satu tamparan ganas mendarat tanpa aba-aba di pipi Dharma. Dharma menatap nanar ke arah seseorang yang baru saja menamparnya.
"Kamu kerasukan apa Dharma sampai kamu berkehendak seperti itu?" Bu Nyai Aisyah tidak kalah sakitnya. Dharma adalah putra tersayangnya. Apapun yang dia ucapkan selalu di turuti oleh putranya. Tidak sekalipun Dharma membantah apalagi mengeluh dengan segala titahnya. Namun saat ini, dia seakan kehilangan jati diri putranya.
"Ibu, Dharma hanya mengatakan yang sebenarnya. Dharma tidak ingin jika nantinya malah membuat banyak orang kecewa," sanggah Dharma.
"Kamu sudah melakukannya Dharma! Kamu sudah membuat banyak orang kecewa!" Kini tidak hanya amarah yang meluap-luap. Namun juga air mata kekecewaan yang mengalir deras di pipi Bu nyai Aisyah.
"Sudah cukup!" Abah Umar menengahi.
"Dharma tidak akan menyerah. Dharma tetap akan pergi," sahut Dharma.
"Jika itu kemauan mu, baiklah. Pergi!" Seru Abah Umar.
"Dan jangan pernah kembali," lanjut Abah Umar yang membuat dua orang di depannya langsung patah hati.
Suasana tiba-tiba hening. Yang terdengar hanya isakkan pilu Bu Nyai Aisyah yang kian menggerogoti hati.
Dharma bangkit. Dia menghampiri orangtuanya dengan segenap tenaga. Benar kata petuah, jika hati yang terluka maka badanmu akan ikut kehilangan tenaga.
Dharma mencium ke dua kaki Abahnya lalu melanjutkan juga pada kaki ibunya. Dia meminta tangan mereka untuk ia bisa mencium telapaknya. Namun kedua orang tuanya sudah terlampaui kecewa.
"Dharma pamit, jaga kesehatan Abah dan Ibu. Assalamualaikum ... " salam Dharma seraya berjalan mundur dengan kedua lututnya dan kemudian pergi meninggalkan orangtuanya.
Rumah begitu sepi, sunyi bak tak berpenghuni. Langkah gontai Dharma menjadi satu-satunya suara yang terdengar saat ini. Dia menuju kamarnya yang ada di ujung lantai dua.
Pandangan melesat ke penjuru ruangan. Hatinya kian sesak dengan ketidaknyamanan.
Sesampainya di kamar di menuju balkon kamar. Di lihatnya para bintang dan rembulan sedang menghiasi langit malam. Udara yang biasanya menusuk kini hambar. Tidak ada satupun yang lebih menyakitkan dari hatinya yang baru saja tertampar.
Berkali-kali Dharma mengucap istighfar. Menutup matanya, berharap apa yang baru saja terjadi hanyalah bayangan saja. Namun ternyata, sesak dan air mata menjadi saksi bahwa hal tersebut adalah nyata.
"Maafkan Dharma umi, Abah ... Bukan maksud untuk durhaka. Namun keinginan hati untuk mencicipi dunia, begitu Dharma inginkan. Dharma harus pergi. Dharma akan membuktikan jika apa yang Dharma pilih tidak akan mengecewakan kalian," tuturnya pelan.
Matanya kini melihat ke gazebo dekat garasi rumahnya. Tahun lalu, dia dan Abahnya berada di sana. Bercengkrama dan seperti biasa, Dharma meminta izin untuk mondok lagi.
* * *
(Flashback tahun lalu)
"Iya, sopo sing pengen mok jak (Iya, siapa yang ingin kamu ajak)?"
"Badrun, anak Brebes." Jawab Dharma langsung.
Abah Yai Umar memicingkan mata. Tanda dia tidak faham dengan orang yang baru saja ia sebutkan.
"Masih baru, Bah. Tapi insya Alloh anaknya bisa di andalkan." Tambah Dharma menjelaskan.
"Ya wes sak karepmu. (Ya, sudah terserah kamu)"
"Anaknya lucu bah, enak di jak ngobrol juga. Lumayan katrok, tapi nanti malah gak kelihatan auranya."
"Hahaha… Kok ngunu (kok gitu) ngomongnya." Abah Yai Umar sampai tertawa dengan pemikiran putranya.
"La nanti, kalau kinclong-kinclong udah jadi sorotan. Aku sudah Masya Alloh gantengnya, kalau nanti teman ku juga ganteng lak ya banyak cewek-cewek yang ngintel (ngikut)."
"Masya Alloh, Astagfirullah….Kamu itu, lo siapa juga yang nganggap kamu ganteng?"
"Loh, loh…pripun to Abah Niki. Putrane dewe kok di enyek. Lek ganteng kan kudune di elem. (Gimana Abah ini. Putranya kok hujat. Kalau ganteng kan harusnya di puji)"
"Lah, Yo sopo sing ngarani kamu ganteng (Lah iya, siapa yang mengatakan kamu ganteng)?" Abah masih menahan tawa dengan kepercayaan diri putranya.
"Banyak bah. Nyatanya banyak santriwati yang kesemsem kaleh kulo. Bahkan santri putra katah sing ngomong kulo ganteng.(Bahkan santri putra banyak yang bilang saya ganteng)." Terang Dharma.
"Ya sudah… Itu karena kamu kesabapan (ketularan) Abah."
"Yah, kalau itu Dharma gak bisa nolak."
"Sudah malam, lo Le … Kamu belum mau istirahat?"
"Belum, Bah. Taseh pengen kaleh jenengan (Masih ingin bersamamu)."
"Tahun ini kamu mondok lagi, sampai kapan kamu nyari pondok terus. Gak mau buat pondok sendiri."
"Hehehe, Insya, Bah. Pangestune. (Minta doanya). Cari pengalaman dulu, baru mikir buat pondok,"
Beberapa saat mereka terdiam menikmati malam yang semakin larut. Tempat mereka saat itu ada di gazebo samping garasi. Di kelilingi dengan banyak tanaman hijau dan bunga-bunga indah. Ada gemericik air mancur dari arah tepi teras. Di sana ada ikan emas yang besar-besar.
"Umi mu kalau kamu tinggal nanti pasti tadarusannya tambah mempeng. Soalnya keingat anak laki-laki sedang jauh. Ndepe-ndepe nak Gusti Alloh, Nyuwun Kon jogo sliramu (Mendekatkan diri pada Alloh. Meminta keselamatan, penjagaan untuk dirimu)."
"Hehehe… Nggeh, Bah. Tadi Dharma sudah berpesan pada ning Anis. Selama Dharma pergi minta ning Anis dan ning Nadhir yang jaga umi."
"Iya, engko ya tak jagane (Nanti juga aku ikut jaga)." Tambah Abah Yai Umar.
"Nggeh pun Bah, Dharma pamit dulu. Mau nyari Badrun. Belum ngasih tahu dia," pamit Dharma.
"Oalah… Iya, iya…"
Setelah itu Dharma mencium punggung telapak tangan Abahnya. Baru setelah itu, dia undur diri.
Berjalan menuju pondok putra yang ada di belakang rumahnya. Meskipun malam pondok masih terlihat ramai. Bahkan tidak pernah sepi. Baru saja memasuki gerbang, para santri yang menjaga langsung menghampiri, memberikan hormat dengan mencium tangannya, berdiri dan menundukkan pandangan.
"Badrun di mana, Kang?" tanya Dharma pada salah satu penjaga.
"Kulo padosne riyen, Gus.(Saya Carikan dulu, Gus)," jawab salah satu santri tersebut.
"Nggak usah, biar aku cari sendiri saja." Tolakku.
Wajar saja jika mereka tidak tahu. Karena jumlah santri di sini cukup banyak. Lahan pesantren juga cukup luas. Macam-macam kegiatan sudah usai pada larut malam seperti ini. Sebagian sudah ada yang tidur, sebagai lagi masih menghabiskan waktu bersama teman-teman. Ada yang bertugas jaga juga seperti mereka. Ada juga yang masih khusuk mempelajari kitab-kitab kuning.
Dharma mencari ke kamarnya. Saat dia masuk dalam kawasan cukup membuat kegaduhan. Karena tidak biasanya Gus mereka itu datang tengah malam. Sampai ada yang tadinya tidur pulas langsung terbangun, untuk mencari keberkahan putra dari Kyai mereka.
Para santri di sini memang di tuntut untuk mengamalkan kitab ta'lim muta' allim. Kitab karangan dari syech Burhanuddin al-Islam Al-Zarnuji.
Di kitab tersebut, mengajarkan bahwa kita harus menghormati guru. Sebab menghormati dan mengangungkan guru adalah salah satu sebab keberkahan ilmu didapatkan.
Keberkahan dalam dunia pesantren berarti ziyadatul khair bertambahnya kebaikan yang bersifat immateri seperti kedamaian hidup dan kenikmatan ibadah.
"Sudah-sudah, di teruskan saja tidurnya. Saya mencari Badrun. Ada yang tahu dimana dia sekarang?'' tanya Dharma pada salah santri yang ada di depannya.
"Kang Badrun, sangking Brebes, Gus? (Kang Badrun dari Brebes, Gus)." Salah satu santri bertanya. Mungkin memastikan Badrun yang mana yang di maksud gus-nya itu.
"Iya, Badrun Brebes."
"Taseh teng kolam, Gus (Masih di kolam, Gus)."
"Oalah… Ya sudah, aku tak ke sana."
"Nggeh."
Dharma berlalu, para santri menunduk saat dilewati. Tetap seperti itu hingga Dharma tidak terlihat lagi.
Untuk sampai ke kolam ikan, Dharma harus melewati jalan sempit. Karena jalannya di himpit oleh dua tembok besar. Antara pondok putri daj Putra.
Jalanan itu pula yang sering mempertemukan santri dan santriwati, sebab ada pintu besi di bagian santriwati. Pintu itu di buka saat santriwati meminta tolong untuk membuang sampah-sampah pondok putri.
Hal yang remeh, tapi tidak ada yang menyangka jika untuk membuang sampah itu santriwati kadang berebut untuk membuangnya. Tak peduli dengan apa yang saat itu ia bawa, tapi keinginan untuk melihat suasana luar pondok adalah keinginan. Begitupun santri putra akan sangat setia menunggu pintu itu di buka, hanya untuk melihat beberapa santriwati yang menurut mereka bak primadona dunia.
Meskipun begitu jalanan itu tetap bersih. Setiap pagi dan sore ada santri yang membersihkan.
Dharma sampai pada tempat kolam ikan. Di tempatnya itu banyak kolam dengan isian ikan berbeda-beda. Cukup luas, perlu paling minim sepuluh santri untuk mengurus kolam-kolam tersebut.
Di samping kiri dan kanan kolam ada gazebo, biasanya di buat leyeh-leyeh para santri. Dan salah satunya si Badrun, santri yang dicenderungi oleh Dharma.
* * *
Tahun kemarin begitu damai Dharma meminta izin. Namun yang terjadi malam ini diluar kendalinya. Semua telah berubah. Jangankan izin, Dharma bahkan diminta untuk meninggalkan rumahnya.
Jika si Badrun tahu tentang kepergiannya kali ini. Dharma yakin, jika dia akan lebih memilih ikut bersamanya ketimbang bertahan di pondok ini.
Dharma mengadah ke langit-langit. Meninggalkan seluruh fasilitas bukan menjadi kendalanya, yang menjadi langkahnya berat adalah dia pergi tanpa restu orang tuanya.
Saat dia menikmati tikaman dalam hatinya. Ada sesuatu yang membuat dia terusik. Kerikil kecil berkali-kali mengenai tangannya. Dia menunduk, matanya mencari asal kerikil tersebut. Dan matanya terbelalak saat mendapati sosok yang membuat hatinya meradang.
Gadis itu, Kayla. Dia berdiri di bawah balkon kamarnya dengan menatap ke arahnya. Dia kah yang berani melempar kerikil itu padanya?
Melihat kehadirannya sudah mendapatkan respon dari Dharma, gadis itu menundukkan pandangannya.
Dharma melihat tangan Kayla yang sedang memegang amplop di tangannya. Matanya memicing sebab belum faham apa yang membuat gadis itu berada di sana.
Sedang Kayla, dia berjalan ke arah taman dan meletakkan kertas itu di bawah batu besar. Kemudian dia bangkit, masih dengan menundukkan pandangan, tangannya menangkap ke arah Dharma.
"Dia mengirim pesan padaku kah?" Hal itulah yang ditangkap oleh Dharma.
Dharma berbalik. Dia tidak ingin peduli. Dia masuk ke dalam kamarnya. Merebahkan badannya dengan menguyel-uyel rambutnya. Frustasi.
"Dasar! Gara-gara dia aku bertengkar dengan umi dan abah!!!" Umpatnya.
Tok tok tok tok tok
Pintu kamar di ketuk dengan begitu keras. Berulang-ulang kali dan tidak sabaran.
Dengan gontai Dharma bangkit dari tempat tidurnya. Dia menuju pintu kamarnya, membukanya dengan malas.
"Apa?!" Belum juga mengetahui siapa yang ada di sana. Dia sudah berseru dengan penuh emosi.
"Kamu gila ya?! Sudah mbak bilang, kalau mau pergi gak apa-apa. Tapi izin, minta restu sama ibu sama Abah! Jangan seenaknya sendiri!" Seru Ning Nadir tajam.
"Mbak kalau mau ngomel-ngomel mending pergi! Aku lagi gak aku berdebat," balas Dharma yang menghiraukan kakak perempuannya itu. Membiarkan Ning Nadir berdiri di depan pintu tanpa mempersilahkan dia masuk.
Sedang Dharma, dia malah tengkurap di tengah ranjang. Dengan pandangan menerawang.
"Cepat! Minta maaf sama abah dan umi!"
"Aku sudah minta maaf," balas Dharma dengan lemah.
"Kalau memang sudah minta maaf, lalu kenapa Abah dan Umi masih nangis?! Cerita Dharma!"
"Aku sudah minta maaf, mbak! Tapi aku tetap ingin pergi! Ini keinginan ku!"
"Astagfirullah! Kamu kesambet setan apa? Hah! Bertahun-tahun kamu dibesarkan di lingkungan baik-baik tapi yang di dapatkan seperti ini. Durhaka sama orang tua?!"
Dharma mengambil bantal untuk menutupi kepalanya. Dia muak dengan cercaan Ning Nadir. Berbeda dengan Ning Anis yang faham akan keinginannya, Ning Nadir sering sekali menjadi penghalang langkah kakinya.
Apapun yang dilakukan Dharma yang menurutnya tidak baik dia langsung menjadikan hal itu masalah yang besar. Tekan demi tekan terus di pendam oleh Dharma. Dan kali ini dia tidak ingin lagi mengalah dengan apa yang di inginkan oleh orang lain. Dia ingin bebas. Memilih jalannya sendiri.