Melani tidak pernah dibentak ibu, apalagi ayahnya. Lalu pria ini baru kenal, tanpa hujan badai, langsung marah-marah hal yang tidak masuk akal. Melani hanya bisa meremas baju untuk menahan amarah.
"Keluar sana! Aku mau ke rumah sakit." Faisal menjauhi tempat tidur. Kantuk dan lelahnya mendadak hilang. Ruang kamar yang besar mendadak pengap.
Melani mendongak. "Ngapain Mas ke rumah sakit malam-malam begini? Mas juga baru selesai acara nikahan." Melani memberanikan diri bertanya.
Faisal berdiri. Mengambil jas sneli yang di sampirkan pada gantungan baju.
"Ya mau kerjalah. Masa mau belanja. Kamu lulusan apa sih? Gitu aja nggak tahu."
Melani sering mendapat hinaan dari orang sekitar. Entah itu tentang fisik atau tentang unurnya yang cocok disebut perawan tua. Tetapi mendengar hinaan dari mulut suami sendiri rasanya sakit luar biasa.
Apa salah dia sampai Faisal harus berkata seperti itu.
"Sekarang akhir pekan. Bukannya rumah sakit libur, ya?" tanya Melani masih tetap berusaha sabar.
Faisal berhenti sejenak. Kali ini tatapannya akan melahap Melani. Ia tidak suka istri cerewet dan banyak tanya. Apalagi istri itu adalah Melani. Entah kenapa rasanya ugh! Ingin menyingkirkannya jauh-jauh.
"Bukan urusanmu. Pergi sana!"
Melani mendur beberapa langkah. Karena terkejut dengan bentakan Faisal, kakinya terjegal kaki yang lain. Seketika bunyi gedebum dan pekikan membuat Faisal melongo.
"Aduh Mas, tolong. Pantat aku sakit," rintih Melani memegang paha dan pantanya.
Faisal hampir tertawa. Dia mengulum senyum. Kesialan Melani menjadi hiburan sendiri buatnya. Rasanya dia jahat.
'Aku tidak jahat. Aku cuma memberi pelajaran ke penjahat sesungguhnya. Penghancur kebahagiaan orang.'
Melani meringis kesakitan. Dia tidak bisa berdiri karena pantat dan tubuhnya yang besar.
"Makanya, jadi perempuan yang anggun. Tutup pintunya!" Dia melewati kaki Melani tanpa berniat menolong.
Wanita itu terpegun. Tanpa perlu mengenal berhari-hari, dia sudah tahu bagaimana perangai suaminya. Kejam, tidak punya perasaan dan tukang marah!
Air mata perlahan menetes. Pernikahannya baru beberapa jam lalu berlangsung. Tetapi tersiksanya serasa setahun.
Melani tidak tahu jika pernikahan begini menyakitkan. Jika dia tahu, dia lebih memilih jadi perawan sampai mati. Jadi, untuk apa menikah jika harus sakit?
Faisal tidak mencintainya. Jangankan mencintai, menyukai atau melihat dirinya saja tidak mau. Bicara pun kasar.
Andai perceraian tidak membuat malu keluarga, dia akan memilih mengajukan cerai besok. Tapi dia tidak sanggup melihat wajah sedih orangtuanya.
Orangtuanya sudah sangat gembira ada yang mau menikahinya di usia 33 tahun. Apalagi pria itu adalah seorang dokter. Itu juga Melani tahu dari orangtuanya profesi Faisal.
Melani membekap mulut sendiri. Tangisnya tertahan. Tidak ingin orang rumah tahu. Tangan gempalnya memukul dada yang terasa sakit dan sesak. Orang-orang bohong. Pernikahan itu bukan awal kebahagiaan.
"Bu Melani kenapa?" Bibi Nur, pembantu di rumah Faisal, kebetulan melintas. Dia heran istri majikannya terduduk dengan bahu terguncang.
Buru-buru Melani menghapus air matanya. Dia menggeleng.
"Cuma terpleset, Bi. Sakit." Melani menunjuk kaki.
Bibi Nur melihat kaki Melani. "Sebelah mana yang sakit? Bibi lihat. Takut terkilir."
Melani mengangguk pasrah. Ia menunjukkan asal. Bibi Nur memijatnya pelan.
"Gimana, Bu? Masih sakit?"
Melani tersenyum dan menggeleng. "Terima kasih, Bi."
***
Faisal menggigit jari. Pikirannya melayang ke beberapa hari lalu. Ketika dia kehilangan lagi orang yang dia sayangi.
''Belum sadar juga, Mi?'' Faisal baru saja masuk bersama pacar dan anaknya.
"Belum,'' jawab Widya lirih. Netra yang layu tak lepas dari wajah suaminya.
Kamar itu begitu hening. Desah napas Widya jelas terdengar seperti keputusasaan. Hanya suara mesin monitor yang terdengar berirama stabil.
Dari arah pintu ada Vena, kekasih Faisal mendekat. Dia mencium pipi Widya sebagai tanda salamnya
''Hai Tante. Maaf lama. Jalanan macet.''
Widya merespon dengan anggukan saja. Tenaganya habis untuk menangis.
''Kok bisa serangan jantung, Mi? Bukannya tadi pagi baik-baik saja ya?''
Widya menghela napas panjang. ''Mami juga nggak tahu, Sal. Setelah Stefan pulang, Papi kembali ke kamar. Saat Mami menyusul, sakit jantung Papi kumat."
Faisal mengepalkan tangan. Ia benci mendengar nama Stevan. Omnya itu suka cari masalah. Sering keluar masuk kantor polisi dan Pambudi berkorban sebagai penjamin.
''Untuk apalagi manusia gila itu datang? Mau cari masalah?'' tuduh Faisal hampir berteriak.
Widya memegang tangan anaknya. ''Jangan buruk sangka. Dia cuma mengunjungi Papi."
Faisel mencemooh. ''Mami percaya? Dia itu sampah masyarakat. Hidupnya enggak ada manfaatnya. Kalau cuma mau mengunjungi, nggak mungkin Papi sampai serangan jantung.''
''Ssstt ... Sudah. Jangan marah di depan Papi. Biar dia istriahat.''
Faisal benar-benar kesal. Dia menjuhi maminya yang selalu membela sepupu papinya. Maminya terlalu naif.
''Jelas-jelas wajah penjahat, gitu dibela aja terus,'' desis Faisal.
Widya memandang sendu ke anak semata wayang. Faisal tidak tahu betapa baiknya Stefan di mata suaminya.
Jari Pambudi bergerak. Widya tersentak dan langsung meraih tangan keriput san suami.
''Mas, bisa dengar aku?'' Widya berbisik lirih. Pandangannya berharap cemas.
Kelopak mata Pambudi bergerak. Perlahan terbuka. Manik sayu itu melihat ke kiri. Ke arah sumber d
Suara. Ada istrinya di sana.
"Faisal?'' panggil Pambudi dengan suara lemah dan lirih. "Mana Faisal?"
Faisal mendengar namanya dipanggil. Dia membungkuk di samping ranjang Pambudi.
"Ini Daisal, Pi."
Tapi perhatian Pambudi terarah pada Vena yang berdiri dekat kakinya. Tatapan tidak suka jelas terlihat.
''Sal, ada yang ingin Papi sampaikan.'' Maniknya melirik ke anak semata wayang.
Faisal menggantikan posisi Widya yang duduk di kursi. ''Iya. Papi mau ngomong apa?''
''Tapi ....'' Pambudi melihat ke arah Vena lagi. ''Jangan ada orang lain di sini.''
Faisal melihat sekeliling. ''Tidak ada orang lain di sini, Pi.''
Pambudi mengedikkan kepala ke arah Vena. Wanita itu menjadi salah tingkah. Ternyata bukan hanya perasaannya saja, tapi ayah kekasihnya tidak menyukainya.
''Vena bukan orang lain, Pi,'' bela Faisal. ''Dia sebentar lagi jadi istri Faisal.''
Helaan napas Pambudi benar-benar berat. Percuma berdebat dengan anaknya. Dia tidak yakin, berapa lama lagi umurnya.
''Papi sudah memikirkannya jauh hari. Umur Papi mungkin bisa jadi tidak sampai satu bulan. Papi ingin memberimu rumah sakit ini. Kamu tidak boleh menolak. Hanya kamu satu-satunya harapan Papi. Apa kamu mau hasil jerih payah Papi jatuh ke tangan yang salah?''
Faisal menghangatkan tangan Pambudi dengan kedua tangannya. Mulutnya sudah tidak sanggup berucap lagi.
''Tapi dengan syarat. Kamu harus menikah dengan Melani. Papi tidak bisa menerima perempuan lain selain dia.''
''Tapi Faisal akan menikahi Vena, Pi.''
Faisal berteriak kesal. Ia terjebak surat wasiat. Kenapa harus menikah dengan Melani? Apa tidak ada persyatatan lain?
Mobil Faisal melaju kencang. Ponselnya berdering. Nama pemanggilnya adalah Pasien.
"Halo? Ya aku perjalanan ke sana." Faisal meletakkan ponsel.
Sampai di gedung yang menjulang tinggi, Faisal memarkirkan mobil. Kakinya melompat keluar dan
O berlari ke dalam gedung dengan tidak sabar.
Lift mengantarnya ke lantai sepuluh. Tepat di kamar nomor 49, Faisal menekan bel.
Tidak perlu lama, pintu terbuka. Faisal menyunggingkan senyum. Tanpa diduga, seseorang menariknya ke dalam. Melumat bibirnya dalam ciuman panas.