Melani berdiri di depan kaca. Mengamati tubuhnya yang gemuk berbalut dress motif bunga-bunga. Bibirnya melengkung ke bawah.
"Nggak bener ini." Kepalanya menggeleng seiring dengan helaan napas berat.
Saat baju itu dipakai manekin, bentuknya terlihat bagus. Dalam kepala Melani, baju itu juga bagus di tubuhnya. Tapi nyatanya...
"Kok keliatan makin besar ya?" Melani berputar ke kiri dan kanan. "Bajunya bagus, tapi nggak cocok."
Manik Melani masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Menimbang-nimbang, akan membeli atau memilih yang lain. Gara-gara baju saja, dia jadi perang batin.
"Beli aja lah."
Dia membuka baju itu dan kembali memakai pakaiannya. Memilih baju tidak semudah menghadapi anak-anak. Seolah dia tidak ditakdirkan cocok dengan baju-baju cantik. Melani ke luar dari kamar ganti.
"Oh, Melani?" Wanita berpakaian modis dengan mak up tebal berdiri tepat di depan kamar gantinya.
"Lho? Sarah? Ke sini sendiri?" Melani melihat kanan dan kiri.
"Nggak sih. Janjian sama teman."
"Cowok?" Melani mengangkat satu alisnya.
"Ya iya lah!" Sarah membenarkan letak tali tas yang ada di pundaknya.
Melani meringis. Dia sudah hapal kelakuan Sarah, sahabatnya. Sarah selalu bilang cowok-cowok itu adalah temannya. Setiap minggu Sarah bisa berganti dua hingga tiga kali teman pria dan berakhir dengan check in.
Sarah melihat baju yang di bawa oleh sahabatnya. "Kamu mau beli baju."
Mwlani memandang baju yang ada di tangannya. Spontan dia mengatakan, "Iya. Tapi nggak cocok."
Sarah menarik tangan Melani tiba-tiba. "Sini aku pilihkan."
Mungkin memasrahkan soal mode pada Sarah, adalah hal yang tepat.
"Kamu baru check in?" Melani melirik rambut Sarah yang basah sudah hampir kering.
"Biasa lah," jawabnya cuek. Di tangnnya sudah ada dress polos dengan ukuran XL.
"Kenapa kamu nggak pacaran aja sama satu orang, terus diseriusin, terus...."
"Menikah? Nggak lah. Aku mau happy-happy dulu." Sarah mengepaskan baju yang dia ambil ke badan Melani. "Mau cek mereka, di ranjang oke nggak."
Bola mata Melani berputar gemas. Dia bukan orang neko-neko, tapi punya sahabat seajaib Sarah, sering membuatnya melontarkan nasehat sesepuh dan ujung-ujungnya Melani yang harus mengelus dada. Sarah tidak terbantahkan.
Melani ikut mencari baju. Dia menemukan dress merah dengan belahan dada rendah. Seingatnya tadi Vena memakai kaos V neck rendah. Sehingga belah ketupanya terlihat.
"Kalau ini gimana?"
Sarah menggeleng meski melihat sebentar.
"Eh ini cocok buat kamu." Sarah mengambil dress panjang sebetis dengan motif garis-garis hitam dan dasar berwarna baby pink.
"Apa nggak terlalu kuno?" celetuk Melani.
Jedua alis Sarah hampir bertaut. Pertantaan Melani seperti bukan berasal dari mulut sahabat kalemnya itu.
"Kamu mau ke mana sih? Ke pesta? Atau ada acara keluarga? Tumben nggak mau baju yang begini?"
"Hah?" Melani sadar, karena pesan mertua dan obsesinya ingin menyaingi Vena, dia lupa siapa dirinya. "Oke, aku coba."
Melani masuk ke kamar ganti, beberapa menit dia ke luar, menunjukkan baju pilihan Sarah. Dua jempol Sarah teracung.
"Gini baru cocok."
"Yakin cocok?" tanya Melani sangsi.
"Kenapa? Nggak nyaman?"
"Nyaman sih. Tapi...." Melani berbalik menghadap kaca. Dengn baju itu, badannya tidak terlihat lebar. Lebih baik daripada pilihannya tadi.
"Kalau nyaman, apa yang salah?"
"Ya udah, aku pilih ini aja."
Melani kembali masuk ke kamar ganti untuk berganti dengan pakaian miliknya. Beberapa saat, Melani ke luar, Sarah sudah tidak ada di sana.
"Eh? Ke mana itu orang?"
Kepala Melani celingukan, mencari sahabatnya. Di depan toko, Sarah menggandeng pria bule. Wanita itu mengajak prianya kembali ke toko.
"Eh, Mel. Kenalin, pacar baru. Namanya Mike."
Melani mendongak gara-gara bule itu terlalu tinggi. Mulutnya membentuk bulatan sempurna.
"Kamu sudah selesai belanja?"
Melani mengangguk tipis. Masih rak percaya Sarah menggandeng pria bule. Jika biasanya Sarah memilih pria yang seumuran atau produk lokal, baru kali ini sahabatnya memilih produk import.
"Makan bareng, yuk," ajak Sarah.
Melani menggeleng. "Anak tiriku sakit. Aku mau cepat ke rumah sakit."
Sarah melongo. "Kamu, beneran sudah nikah? Kenapa nggak undang?" Bibirnya mengerucut.
"Sorry, permintaan calon suami."
Dahi Sarah berlipat tipis. "Ih, calon suamimu aneh."
Melani mengedikkan bahu. Dia juga penasaran soal itu. Kenapa juga Faisal tidak mengizinkan dia mengundang siapapun selain keluarga inti.
Apa dia malu?
Senyum Melani merosot. Dia sadar, siapa dirinya. Kalau menoleh lagi ke mantan pacar suaminya, dia seperti bukan apa-apa.
"Mel?" Sarah menjentikkan jari di depan wajah Melani. "Ada masalah?"
"Hah? Nggak. Aku buru-buru. Terima kasih ya."
Melani bergegqs pergi. Dia enggan Sarah bertanya lebih jauh. Biarlah masalah rumah tangganya dia yang merasakan.
Setelah membayar baju yang dia beli, Melani kembali ke rumah sakit.
"Kamu langsung saja ke ruang VIP lima di lantai dua." Suara Widya berbisik-bisik di seberang telepon. "Cepat ya. Mami mau pulang soalnya ada arisan nanti sore."
"Iya. Mami pulang aja dulu. Aku sudah di lobi." Melani melangkah cepat. Meski berusaha melangkah cepat, tapi tubuhnya yang berisi, membuatnya terengah-engah.
"Nggak bisa. Mami jagain kuntilanak sama Faisal. Biar nggak berduaan."
Melani tidak mengerti maksud Widya. Ngapain Faisal sama kuntilanak?
Dia naik ke lantai dua menggunakan lift. Widya sudah menunggu di depan kamar.
"Mel, Mami keburu-buru. Kamu jangan ke mana-mana ya. Awasi si kuntilanak. Jangan dilepas. Banyak-banyak doa. Biar setannya hilang."
Kepala Melani mengangguk-angguk. Dia masih belum paham. Siapa si kuntilanak.
"Kamu sudah beli baju?"
Melani menunjukkan tas belanjaan. Widya melihat harga bajunya.
"Kok murah?"
Melani melongo, harga baju sederhana itu dua ratus ribu, tapi masih dibilang murah.
"Ya sudah nggak apa-apa. Lain kali beli aja yang mahal." Widya memberikan kembali tas belanjaan Melani. "Dah sana mandi terus ganti baju."
"Iya, Mi."
Melani mencium tangan Widya. Dia membuka pintu kamar rawat inap Cheril. Kedua manusia dewasa yang ada di dalam kamar gelagapan. Mereka seperti kepergok melakukan sesuatu.
Faisal dan Vena bersamaan bernapas lega.
"Oh, cuma istri kamu, Mas." Vena melirik malas, lalu memeluk Kembali lengan Faisal dan menyandarkan kepalanya di bahu Faisal.