Chereads / Derita Wanita Kedua / Chapter 7 - Ngapain Kamu ke Sini?

Chapter 7 - Ngapain Kamu ke Sini?

Seperti dicubit. Bentakan Faisal menusuk perasaan Melani. Tapi bukan ego lagi yang dia dahulukan.

"Tapi aku mau ikut. Kalau Cheril butuh aku, bagaimana?" ucap Melani memelas. Yang ada dipikirannya hanya Cheril. Masa bodoh dengan Faisal.

"Tidak perlu. Cheril butuh aku dan Mami. Bukan kamu." Faisal melewati Melani yang masih berdiri dengan gemetar.

Widya berdiri, memeluk menantunya. Menenangkan wanita muda yang sebenarnya rapuh, meski berpura-pura untuk tegar.

"Kalau kau mau ikut, ikut saja. Biar nanti Mami yang menghadapi Faisal. Kamu ganti baju dan siapkan baju Cheril."

Manik Melani berkaca-kaca. "Terima kasih, Mi."

Seperti anak kecil yang diizinkan ikut pergi, dia bergegas menyiapkan segala perlengkapan Cheril. Lalu kembali ke kamarnya. Ternyata gadis kecil itu sudah tidak ada di sana.

Melani cepat-cepat mengganti baju. Menyisir rambut dan sedikit ber-make up tipis. Diambilnya tas kecil, lalu menyusul ke teras.

Betapa terkejut Melani, mobil Faisal tidak ada di halaman rumah. Hanya ada Bibi Nur yang berdiri di dekat pagar.

Bahu besar Melani melorot. Hatinya sakit. Seakan orang tidak penting yang dilupakan begitu saja. Padahal mami mertuanya bilang akan menunggu.

Bibi Nur kembali dari menutup pintu pagar. Mulutnya melongo saat Melani yang sudah berdandan hanya mematung di teras.

"Bu Melani? Saya pikir Bu melani nggak ikut. Soalnya tadi kata Pak Faisal ...." Bi Nur kebingungan bergantian menoleh ke arah pagar dan melihat Melani.

"Nggak apa-apa, Bi." Melani menggeleng cepat. "Aku ke sana naik sepeda motor aja. Bibi tahu, mereka ke rumah sakit mana?"

"Ya ke rumah sakit punya Pak Faisal. Mau ke mana lagi. Apa nggak sebaiknya Bu Melani naik taksi. Kalau naik motor panas. Bu Melani bisa meleleh."

"Nggak, Bi. Lebih cepat naik motor. Takut macet."

"Bibi keluarkan motornya, ya?" Bi Nur menawarkan diri.

"Nggak perlu, Bi. Aku bisa sendiri. Tolong aja ambilkan kunci motor. Aku lupa ambil."

Bibi Nur mengangguk. Ia berlari ke dalam dan keluar membawa kunci motor matik milik Melani. Hanya Melani yang menggunakan motor itu. Faisal mana mau ke mana-mana pakai motor.

Kota besar terlalu padat dan polusi.

"Bibi bukakan pagarnya, ya, Bu." Sigap Bibi Nur mengerjakan tugasnya.

Melani menuju garasi. Ia memasang helm, memasukkan kunci, lalu mendorong motornya keluar.

"Bi, aku berangkat Assalamualaikum." Wanita itu menaiki motor matic.

Bibi Nur memberi gimmick hormat. "Siap, Walalaikumsalam."

Melani mengucapkan bismillah. Motor matic melaju menuju tengah kota.

Sementara di dalam mobil, Widya mengomel. "Kok kamu tinggal Melani. Kasihan dia."

"Sudahlah, Mi. Lama nunggu dia. Cheril harus segera dibawa ke dokter."

Widya mengusap rambut Cheril yang bersandar di lengannya. Gadis kecil itu merasa lemas. Dia mengubah posisi cucunya menjadi tidur.

"Ya sudah. Nanti setelah di rumah sakit, kamu telepon Melani. Jelasin, biar dia nggak mikir yang macam-macam."

"Iya, iya Mi. Gitu kok dibuat pusing." Faisal malas menanggapi kalau membicarakan tentang Melani.

Setengah jam, mereka telah sampai di rumah sakit. Faisal menggendong Cheril ke dokter anak. Dia sudah membuat janji dengan temannya satu kampus semasa kuliah pendidikan dokter umum.

"Rey, cek anakku. Dia sakit apa."

"Sabar, Sal." Dengan tenang, dokter Reyhan memeriksa Cheril. "Sudah berapa hari demam?"

Faisal menoleh pada Widya. Meminta jawaban.

"Dari kemarin setelah acara nikahan, kata Melani."

Rey mengerutkan kening ke arah Faisal. "Kamu itu nikah tapi nggak ada kabar."

"Sorry, mendadak. Ini anak aku gimana?"

"Ambil sampel darah di lab ya. Aku berikan surat lab." Rey menulis nama Cheril dan mencentang beberapa poin, lalu diberikan kepada Faisal.

"Cucu saya sakit apa?"

"Dugaan sementara demam berdarah. Tapi tunggu hasil lab."

Widya memandang Faisal kesal. Sebagai dokter sekaligus ayah, Faisal malah baru bergerak setelah Cheril sakit parah. Dari kemarin dia ke mana saja.

Widya menggendong cucunya ke luar.

"Thank's, Rey." Menepuk bahu Rey. Tapi dokter anak itu melotot. "Nantilah aku cerita lengkap. Sekarang aku urus anakku dulu."

"Oke. Aku tunggu klarifikasimu." Rey tertawa menggoda.

Faisal membawa Cheril ke lab di lantai satu dekat pintu keluar.

"Anak Ayah yang pintar, diambil darahnya dulu, ya." Faisal mendudukkan gadis itu di kursi.

Cheril menggeleng. "Sakit, Yah."

"Nggak sakit, cuma kayak digigit nyamuk. Abis gitu, hilang deh sakitnya."

Cheril terdiam sebentar, kemudian mengangguk ragu. Faisal mengantar Cheril ke dalam. Seorang perawat datang sambil membawa botol sample dan juga alat suntik.

Manik kecil Cheril menatap alat-alat itu, mendadak menjadi takut. Dia tiba-tiba meloncat dari kursi dan berlari keluar.

"Uti! Aku takut!"

Widya terkejut Cheril berlari dan memeluknya. "Takut apa, Cheril?"

Faisal ikut menyusul. "Cheril, ayo. Kamu sudah besar. Masa sama jarum suntik takut? Kalau sudah tahu hasilnya, kamu bisa segera sembuh." Dia menarik tubuh anaknya. Tetapi semakin ditarik, pelukan Cheril pada Widya semakin kuat.

"Cheril! Ayo! Jangan manja!" Faisal sudah tidak sabar. Hanya mengurusi anak kecik saja terasa ribet.

Widya memeluk Cheril. Maniknya melotot melihat Faisal. "Sabar, Sal kalau sama anak kecil."

Faisal menyugar rambutnya resah. "Aku punya banyak pekerjaan, Mi."

"Cheril masuk sama Uti ya? Nanti Uti peluk biar nggak sakit," kata Widya menatap manik bulat cucunya.

Cheril berpikir sedikit lama, lalu menggeleng. "Aku mau sama Ibu."

Widya mendongak. Faisal pura-pura tidak mendengar. Dia malah sibuk dengan ponsel.

Widya kembali membujuk Cheril. "Nanti Ibu datang. Tapi kan perjalanan lama. Jadi Cheril ambil darah dulu. Nggak lama kok. Cuma sebentar."

Cheril bukan balita yang mudah dibohongi begitu saja. "Kapan Ibu datang?"

Widya melirik Faisal. Saat anaknya akan menjauh, dia menarik lengan baju pria itu.

"Sal, telepon Melani. Suruh ke sini." Widya mengatakannya dengan mata membunuh.

"Oke." Faisal lalu melangkah pergi.

"Tuh nanti Ayah telepon Ibu. Yuk sekarang masuk. Kita tunggu di dalam."

Akhirnya Cheril setuju. Dia menggenggam erat tangan Widya. Tangannya sampai berkeringat.

Faisal berdiri di dekat pintu masuk. Dia menelepon sedari tadi, tapi tidak ada jawaban dari seberang sana.

"Ck! Ke mana dia."

Faisal mencoba lagi. Kali ini suara manja menjawab dari seberang sana.

"Kamu dari mana? Lama banget angkatnya?" tanya Faisal ketus.

"Ya maaf, Mas. Aku kan nggak jagain hape dua puluh empat jam. Memangnya aku pegawai mini market."

"Kamu bisa ke rumah sakit? Cheril sakit. Butuh dukungan dari kamu."

"Harus sekarang?" tanyanya dengan nada kecewa.

"Ya sekarang. Masa tahun depan."

"Emmm oke deh. Agak lama ya. Aku harus siap-siap."

"Nggak masalah. Yang penting kamu ke sini."

Faisal mematikan ponselnya. Tepat Widya keluar dari lab bersama Cheril yang terisak. Dia segera menghampiri.

"Sudah selesai? Mami sama Cheril tunggu di ruanganku aja. Biar petugas lab antar hasilnya ke sana." Faisal memasukkan kembali ponsel ke saku celana.

Widya mengangguk. "Tapi sudah kamu telepon?"

"Sudah. Jangan khawatir." Faisal menggendong Cheril ke ruangan direktur.

Ruangan direktur ada di lantai tiga. Faisal belum sepenuhnya berhak mendudukinya. Sebagian kepemimpinan diatur olehnya dan Pak Joko, wakil kepercayaan Pambudi. Jadi, semua keputusan, harus sepengetahuan wakil direktur.

Ini yang membuat Faisal susah bergerak. Kata notaris ada syarat tambahan lagi agar Faisal bisa berpindah jabatan menjadi direktur, yaitu setelah menikah dengan Melani, dia harus memiliki anak.

Sejak mendengar syarat-syarat aneh itu, Faisal sering kali uring-uringan sendiri. Bagaimana bisa mereka punya anak, berhubungan dengan Melani tidak nafsu.

Faisal menurunkan anaknya di sofa panjang. "Kamu tidur di sini dulu. Ayah kerja dulu."

Kepala Cheril tidur di pangkuan Widya. Dia ingin tidur, tetapi terasa pusing dan tidak nyaman. Badannya semakin lemas. Bibirnya terus saja meracau memanggil Melani.

"Sabar, Sayang. Ibu sebentar lagi datang." Widya membelai kepala Cheril dengan kasih sayang.

Suara pintu terbuka. Semua mata mengarah ke sana. Sosok wanita dengan rambut tergerai, muncul dari baliknya.

"Halo." Manik bulat hazel melihat ke seluruh ruangan. Senyumnya tersungging manis.

"Kok kamu ke sini?" celetuk Widya tidak senang.