Bintang telah meredup. Bulan bersembunyi di balik awan. Malam semakin gelap. Hanya lampu-lampu kota yang masih berkelip menaungi kota.
Semua aktifitas seharusnya telah usai. Kecuali Faisal dan Vena. Jari-jari wanita itu mencengkeram erat rambut gelombang Faisal, saat bibir kekasihnya menelusuri leher putih yang selalu menjadi candu.
"Kamu ke mana saja... Ahhh... Seharian." Bulu kuduk Vena meremang.
"Aku tidak ke mana-mana. Masih sibuk." Faisal semakin menelusuri kulit Vena membuat wanita itu melayang. "Aku kangen kamu."
"Dasar gombal... Kyaa!" Vena terpekik saat Faisal menggigit kecil bagian sensitifnya. "Sakit."
Suara manja Vena semakin meningkatkan gairah Faisal. "Maaf. Kulakukan dengan lembut ya."
"Kamu tidak dengar aku telepon?" Vena cemberut. Memang dari tadi pagi Vena mencarinya. Perasaan perempuan itu tidak enak. Hanya gelisah saja.
Faisal melumat bibir Vena. Dia enggan menjawab hal sensitif. Terlebih, ingin melupakan urusan di rumah.
"Kumohon, lakukan, Sayang," pinta Vena parau.
Dengan sekali hentakan, Faisal menggendong tubuh ramping pacarnya. Untung tubuh Vena masih ringan. Faisal tidak bisa membayangkan, bagaimana dia mampu menggendong tubuh Melani yang beratnya hanya selisih sepuluh kilo darinya.
Faisal meletakkan Vena di atas tempat tidur. Dia melepas kemeja pendeknya sendiri dan mulai menelusuri tubuh Vena.
Vena suka semua dari Faisal. Tubuhnya yang atletis, aroma yang wangi, perlakuan lembut dan Faisal akan menuruti semua maunya. Dia beruntung memiliki Faisal. Sebelum papi Faisal mencetuskan hal kolot yang pernah dia dengar di bumi modern.
Jari Faisal menjelajahi inti Vena. Wanita itu menjerit tertahan. Pikirannya melayang. Dia tidak sanggup membendungnya.
"Sayang, please."
Faisal tersenyum jahil. Dia pura-pura tidak mendengar. Membuat Vena merasa tersiksa, adalah kesenangannya.
Vena terus saja merengek. Faisal semakin bersemangat. "Baiklah kalau itu maumu."
Dia telah bersiap. Namun ponselnya berdering. Keduanya menoleh ke lantai.
"Abaikan," perintah Vena. "Mungkin hal tidak penting. Ini hari libur."
"Nah, kamu pintar."
Hasratnya telah memuncak. Dia tidak ingin ada yang mengganggu.
Faisal menurut. Dering ponsel itu berhenti.
Vena tersenyum simpul. "See.... Do it, Honey."
Faisal hampir melakukannya, ketika dering itu mengganggu kegiatan mereka lagi. Vena berteriak gusar. Pria itu memilih menjauhi kekasihnya.
Tanpa melihat siap penerimanya, Faisal menjawab.
"Halo?"
"Mas, ini sudah malam. Mas pulang jam ber-"
"Terserah aku mau pulang jam berapa! Aku masih ada pasien!"
Faisal memutuskan panggilan.
Dia melempar ponsel di atas tumpukan bajunya. Kemudian kembali pada kekasihnya.
"Maaf. Ayo lanjutkan lagi." Dia mengungkung kekasih di bawahnya.
Vena mengerutkan wajah. "Itu tadi siapa, Mas? Seperti suara perempuan."
Manik cokelat gelap melirik kiri kanan. Mencari jawaban yang tepat. Tapi jawaban penyelamat tidak muncul di dinding atau lemari pakaian.
"Kamu nggak mungkin ngomong gitu ke mamimu, kan?" Vena bergeser dan posisinya menjadi duduk. Perasaan tidak enak semakin menjadi.
"Mas, itu tadi siapa? Kenapa kamu bilang sedang ada pasien?"
Faisal ikut duduk tegak. Wajahnya berubah menjadi merasa bersalah. Pikirnya, bisa menutupi pernikahannya dari Vena, sampai dia siap menceritakan sebenarnya.
"Itu... Istriku."
Vena melongo. "I-Istri? Jangan bilang kamu... Oh, shit, Faisal!" Dia paham. Tapi tidak ingin menerima kenyataan secepat itu.
Vena menutup wajahnya. Istri? Yang benar saja! Kemarin Faisal bilang sudah menyelesaikannya. Dia pikir, yang dimaksud Faisal adalah menego wasiat Pambudi.
"Shit!" umpatnya lagi. "Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya!"
Vena mencengkeram bahu Faisal. Menatap dan meminta jawaban yang logis. Sudah sekian tahun dia menunggu, tapi apa? Pacarnya menikah dengan wanita lain.
"Aku nggak mau kehilangan kamu, Mas. Kenapa kamu nggak ngerti? Malah menikah sama perempuan lain!"
"Maaf, aku terpaksa."
Plak!
Tangan Vena gemetar setelah menampar pipi Faisal. Dia kesal bukan main. Ingin membunuh Faisal karena menghianatinya.
"Kenapa! Kenapa kau melakukannya! Kau sama saja dengan pria lainnya. Habis manis sepah dibuang!" Vena berteriak histeris.
Dia mencengkeram erat rambut yang indah dan panjang. Ia tidak sanggup jika kehilangan Faisal.
Tidak! Dia tidak mau Faisal milik wanita lain!
Faisal menggenggam tangan Vena. Tangan itu gemetar hebat. Dengan gentle, dia memeluk tubuh harum kekasihnya.
"Maaf, Sayang. Sungguh, aku bersumpah. Aku terpaksa melakukannya demi Mami, almarhum Papi dan juga Cheril. Aku janji, tetap akan menjadi milikmu. Karena cuma kamu yang pantas jadi istriku. Tunggu beberapa waktu lagi. Sampai aku bisa menjadi direktur rumah sakit."
"Sungguh?" tanya Vena dengan suara terpatah.
Faisal mendongakkan kepala Vena. "Aku janji. Kau tetap yang pertama."
Dengan lembut dia kembali melumat bibir merah. "Ayo lanjutkan lagi."
Vena mendorong Faisal. Enak saja lanjutkan lagi setelah pria itu menghancurkan harapan dan perasaannya. Apa sih yang ada di pikiran laki-laki?
"Sudahlah. Aku lelah. Nggak mood."
Faisal terduduk. "Tapi kita belum menyelesaikan, Sayang."
Vena berpakaian lagi. Dia tidak mempedulikan protes Faisal. Rambutnya yang panjang dikuncir kuda.
"Nope. Moodku sudah ambyar." Vena bergelung di atas tempat tidur.
Faisal mengacak rambutnya. "Sial. Gara-gara perempuan nggak tahu diri," desisnya jengkel sampai ubun-ubun.
Vena mengedikkan bahu. Tidak peduli Faisal yang uring-uringan. Karena yang seharusnya berhak marah dan kecewa adalah dirinya. Sudah ditinggal nikah, gagal ehem-ehem lagi.
Faisal kembali mengenakan celana jins. Lalu menyusul Vena, meringkuk di atas tempat tidur. Tangannya menyusup pada pinggang ramping yang pas untuk dipeluk.
"Aku minta maaf." Hidung Faisal menyusup pada bahu Vena. Harum dan kecil. Setiap malam dia selalu meeindukan. Bahkan kalau bisa, dia ingin terus memeluknya
"It's okay. Beri aku waktu untuk menerima. Dan berjanjilah tidak akan meninggalkanku." Vena berbalik.
Faisal mencium bibir Vena lagi dan lagi. Mengeratkan pelukannya. Berpelukan seperti itu dengan perempuan yang disayang juga membuatnya senang.
Tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Memaksa untuk diterima. Faisal mengumpat. Kesenangannya terganggu lagi.
Dia mengambil ponsel yang tergeletak di lantai.
"Halo! Kenapa kau selalu mengganggu! Aku masih ker-"
"Faisal! Pulang! Mau disunat lagi, hah!"
Faisal melotot. Suara lengkingan itu berhasil membungkamnya.
"Ma-Mami. Kenapa?" Dia duduk di kursi single.
"Kamu di mana?" tanya Widya marah.
"Kerja," jawabnya gugup. Dia melirik Vena yang memandangnya penuh tanya.
"Kerja di Hongkong! Cepat pulang. Anakmu demam tinggi. Harus dibawa ke dokter."
"Kenapa bisa demam? Tadi baik-baik saja. Mana Melani? Bagaimana dia menjaga Cheril?" Faisal menjumput bajunya. Ponsel dia jepit di bahu. Dengan lihai, Faisal memasukkan kedua lengannya dan mengancing baju satu persatu.
"Mana Mami tahu! Yang dokter kan kamu! Ayahnya juga kamu!"
"M-Maaf, Mi. Aku beneran banyak urusan."
"Jangan alasan! Cepat pulang!"
Faisal mematikan panggilan. Dia melihat Vena yang mulai jutek.
"Maaf, Honey. Aku harus pulang. Cheril sakit." Faisal mengecup dahi Vena.
Wanita itu diam. Maniknya mengikuti kepergian Faisal dengan merengut.
"Nyebelin!"