Chereads / Derita Wanita Kedua / Chapter 6 - Istri Rasa Pembantu

Chapter 6 - Istri Rasa Pembantu

Faisal membuka pintu kamar tidur Cheril. Tapi gadis kecilnya tidak ada di sana. Dia mundur dan menutup pintu.

"Kamu dari mana saja?"

Faisal refleks berbalik. Mata Widya berkobar. Kanjeng ratu sedang marah!

"Dari...dari rumah sakit, Mi." Faisal menyugar rambutnya. "Mana Cheril?"

"Kamu bohong," tuduh Widya. "Ini hari libur. Lagian ini hari pernikahan kamu. Jangan beralasan."

Faisal gelagapan. Dia bodoh dalam berbohong. Harusnya sudah dipikirkan dari tadi alasan yang tepat dia kabur di malam pertamanya.

"Kamu ke tempat Vena, kan?" tuduh Widya.

Peluh membasahi dahi Faisal. Maminya selalu peka. Dia khawatir maminya ada keturunan dukun.

"Hargai istri kamu. Kalian baru menikah. Melani masih memaklumi kamu yang tiba-tiba ngilang nggak jelas. Coba Dia juga mau merawat anakmu, padahal Cheril bukan anak kandungnya. Mau cari wanita di mana wanita baik seperti Melani?"

Faisal menggeleng. "Ma, wanita baik bukan hanya Melani. Vena juga bisa bisa menjadi ibu yang baik. Tapi Papi yang menghancurkan mimpi kami."

Wajah Widya memerah. Dia semakin geram. Faisal malah menyalahkan mendiang suaminya.

"Jadi, benar, kan, kamu dari tempat Vena?"

"Ya, Mi. Aku dari tempat Vena. Karena aku mencintainya. Bukan Melani."

Faisal menyingkir. Membiarkan Widya dengan rasa geram dan kecewa.

Widya menarik napas. Helaan itu seperti lelah menghadapi kekacauan setelah suaminya meninggal. Keputusan suaminya yang tiba-tiba mengubah keadaan.

Wanita tua berbalik. Dia terpegun melihat Melani ada di sana yang telah membatu.

"Dari tadi, Mel?" tanya Widya cemas.

"Nggak Mi. Baru saja." Bibir Melani tersenyum. Namun badannya lemas dan bisa saja pingsan saat itu juga. Dieratkan tangan memegang sudut dinding agar dia tidak limbung.

"Cheril gimana?"

"Panasnya sudah turun."

Widya mengusap bahu Melani. "Kamu yang kuat. Setiap berumah tangga ada badai. Rasanya berat, tapi lambat laun akan membaik."

Melani mengangguk dan tersenyum kaku. Dia dengar semuanya. Deklarasi Faisal yang menyatakan mencintai perempuan lain. Bukan dirinya. Ini penyebab Faisal tidak menghargainya di hari spesial mereka.

"Mami mau istirahat dulu. Kamu juga istirahat ya." Widya melangkah ke kamarnya.

Melani sendirian. Sakit yang dirasakan sangat menyiksa. Dia mengusap wajah. Berusaha menganggap semua baik-baik saja.

Melani ke kamar. Dia terkejut karena Cheril tidak ada di sana.

"Kemana Cheryl?" Kekhawatirannya muncul.

Dia mencari di kamar gadis kecil itu tapi, Cheril tidak ada di sana. "Astaga, ke mana dia?"

Melani mengetuk kamar mertuanya. Widya membukakan pintu. Matanya setengah terpejam. Melani merasa tidak enak mengganggu mertuanya tidur.

"Kenapa, Mel?" Widya melihat kepanikan di mata Melani.

"Maaf, Mi. Apa Cheril di sini?" Melani melongok ke dalam kamar.

"Nggak, Mel. Mami tidur sendiri."

"Ya Allah, Cheril di mana ya, Mi? Cheril nggak ada di kamarku. Di kamarnya juga nggak ada."

Widya mengerutkan kening. Dia mengingat sesuatu. "Coba di kamar tamu. Faisal tadi mencari Cheril."

Faisal? Melani lupa kalau Cheril punya ayah.

"Aku lihat dulu, Mi."

Melani menghampiri kamar tamu yang menjadi kamar tidur Faisal. Tangannya terangkat akan mengetuk pintu kamar yang sedikit terbuka. Samar, dia mendengar suara wanita di dalam kamar.

"Cheril, Sayang. Cepat sembuh ya. Nanti kita bisa jalan-jalan bertiga kayak dulu lagi. Sama Tante, Ayah, dan Cheril."

Badan Melani membeku. Tangannya terdiam di udara. "Suaea siapa itu? Apa dia perempuannya Mas Faisal?"

***

Melani menurunkan tangan. Dia terdiam mendengar percakapan yang tidak begitu jelas dari dalam kamar.

"Sama Ibu Melani juga ya, Yah," ucap Cheril dengan suara lemahnya.

Tidak lama terdengar suara Faisal, "Ibu Melani nggak bisa ikut. Ibu Melani, harus bersih-bersih rumah dan masak."

"Tapi, kan ada Bibi Nur yang bersih-bersih rumah, Yah."

"Ya Ibu Melani bantu-bantu Bibi Nur. Biar Uti nggak capek. Jadi jalan-jalannya kita bertiga aja," jawab Faisal.

Melani memegang dada. Rasa sakit muncul lagi. Anak tirinya saja tahu kalau dirinya adalah ibunya sekarang. Tapi sang suami malah menganggapnya hanya sebagai pembantu rumah tangga.

'Tega kamu, Mas,' batinnya ngenes.

Suara lembut itu terdengar lagi.

"Iya, Sayang. Kamu inget nggak kita dulu ke pantai bersama? Kamu suka, kan main pasir? Nanti kita ke sana lagi."

Melani ingin menangis. Tapi air matanya tidak mau keluar. Pernikahannya belum lewat sehari. Tapi dia menikah dengan kesungguhan. Bukan hanya di atas kertas.

Pernikahan itu suci. Bagaimana bisa dia mengingkari atau bermain-main karena ego?

Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa Faisal tega melakukannya? Bahkan tidak sekalipun suaminya menyentuh dirinya sejak ijab qobul.

Melani tidak sanggup mendengarkan percakapan mereka lagi. Hatinya terasa tergerus rasa sedih hingga hancur.

***

Melani bangun setelah subuh. Sebentar lagi Bibi Nur pulang dari pasar, baru lah dia bisa memasak. Widya sudah di dapur membuat teh.

"Biar Melani saja, Bu." Melani akan mengambil teko berisi air panas. Tetapi Widya buru-buru mengambil teko.

"Nggak perlu. Kamu cek saja Cheril."

Melani ingat, semalam anak tirinya tidur bersama Faisal. Dia mengecek ke kamar tamu. Perlahan mengetuk kamar suaminya beberapa kali. Tapi tidak ada yang membukakan pintu.

'Apa dia masih tidur?'

Dia memberanikan diri membuka tanpa persetujuan Faisal. Pelan-pelan, Melani menekan gagang pintu.

Di atas tempat tidur, Faisal tertidur pulas. Bahkan sampai mendengkur. Namun di sebelahnya Cheril bergerak gelisah. Gadis kecil itu mengigau, memanggil utinya.

Melani mendekat. Diletakkan tangan pada dahi, leher, dan tangan Cheril. Semuanya panas.

"Badanmu panas sekali!" Tanpa sadar dia memekik keras.

Dengan sigap, Melani mengangkat tubuh Cheril. Seketika Faisal menggeliat. Melihat ada Melani di sana, lalu Cheril dalam pelukan istri yang tak diharapkan, Faisal langsung terduduk.

"Apa yang kamu lakukan? Biarkan Cheril tidur. Mau kamu bawa ke mana? Itu anakku."

Melani ingin melahap Faisal hingga hilang di dunia. Pria itu keterlaluan. Sudah selingkuh, suka marah-marah, kampret lagi.

"Siapa yang tidur, hah! Mas yang tidur pulas! Mas sampai nggak sadar kalau Cheril mengigau dan demam tinggi."

Melani melotot. Faisal mengkerut. Pagi-pagi diomeli istri.

"Jadi laki-laki jangan seenak jidat. Kalau tidak bisa merawat Cheril, lebih baik dia tidur sama aku! Udah gitu telepon-teleponan sama perempuan lain!"

Dia telah meluapkan rasa sesaknya. Meski ada rasa bersalah telah membentak suaminya, tapi hatinya lega mengeluarkan ganjalan di hati.

Melani keluar dan menidurkan Cheril di tempat tidurnya. Gadis kecil itu demam tinggi. Padahal kemarin sudah turun panasnya.

Melani meminta Bibi Nur menyiapkan air hangat. Sementara dia mengganti pakaian Cheril dengan kaos katun.

"Ini, Bu, air hangatnya. Non Cheryl masih panas?"

"Masih Bi. Tolong siapkan bubur dan sup. Maaf ya, Bi, aku nggak bisa bantu."

Bibi Nur mengangguk. Lalu menjauhi kamar Melani.

"Ya Allah, kamu kenapa, Nak."

Wanita itu mengompres ketiak dan lipatan paha Cheril. Gadis kecilnya perlahan tenang. Mata bulatnya sesikit terbuka.

"Ibu." Mata gadis itu berat terbuka.

"Iya, Sayang. Cheril mau apa?"

"Cheril ngantuk," bisik Cheril. "Semalam Papa berisik."

Melani mengusap kepala Cheryil penuh sayang. Meski bukan anak kandung dan baru sehari bertemu, tapi rasa sayangnya melebih rasa sayang pada dirinya sendiri.

Bibi Nur masuk dengan membawa sup dan bubur.

"Cheril makan dulu, Nak. Terus minum obat, lalu tidur."

Gadis kecil itu menutup mulut dan menggeleng. "Nggak enak. Aku mau es krim."

"Kalau Cheril sudah sembuh, baru boleh makan es krim. Sekarang, makan bubur dulu, ya. Kalau sudah sembuh, Cheril juga bisa main lagi."

Cheril terdiam. Kemudian mengatakan, "dan jalan-jalan ke pantai sama Tante dan Ayah seperti dulu. Ibu ikut juga, kan?"

Melani berusaha menyungging senyum tipis. Dia teringat lagi percakapan semalam. Vena berjanji mengajak Cheril pergi bertiga. Tentu saja untuk apa mengajak dirinya. Kurang ajar memang wanita itu. Tapi, demi gadis kecil yang tidak tahu permadalahan, dia mengangguk.

"Jadi, Cheril makan, ya?"

Cheril mengangguk lesu. Melani membantu anak tirinya duduk. Lalu menyuapi dan memberi obat.

Di luar kamar, Widya melihat kesungguhan Melani merawat Cheril. Penuh syukur Pambudi menjodohkan Faisal dengan wanita sebaik Melani. Tapi sayang, anaknya terlalu setan untuk mengerti.

Widya masuk untuk menyapa Cheril. "Cucu uti yang pintar. Istirahat ya." Dia mengecup dahi cucunya.

Manik gadis itu perlahan memejam. Dia merasa mengantuk karena efek obat penurun panas yang diminum.

"Ayo, Mel, makan." Widya memegang bahu Melani.

"Melani di sini dulu, Mi. Panas Cheril naik turun. Aku takut Cheril panas lagi."

Widya mengusap punggung menantunya. "Tapi kamu perlu makan."

"Sebentar lagi, Mi." Melani meremas tangan Widya. Menandakan dia baik-baik saja.

Widya mengangguk pasrah. "Terima kasih ya."

Melani mengacungkan jempol. Widya kagum, menantunya tidak mengeluh sedikit pun. Padahal perlajuan Faisal sangat menyakitkan. Keluarganya beruntung mendapatkan menantu seperti Melani.

Widya kembali ke meja makan. Di sana ada Faisal sedang sarapan.

"Gimana Cheril, Mi?" Faisal mengambil roti dan selai.

"Kenapa kamu nggak lihat sendiri?" tanyanya balik dengan judes.

Faisal melirik Widya. Menggeleng samar. Berusaha tidak terpancing provokasi maminya.

"Kalau Melani nggak bisa merawat Cheril, lebih baik aku panggil perawat."

"Kalau kamu nggak bisa merawat anakmu. Jangan menyalahkan orang lain. Melani sudah sungguh-sungguh merawat anakmu." Ditekankan pada kata anakmu, agar Faisal sadar, siapa di sini yang harusnya lebih bertanggung jawab.

Faisal meletakkan roti dan pisau. "Mi, buktinya Cheril masih sakit sampai sekarang. Kalau pintar merawat Cheril, sudah pasti anak itu cepat sembuh."

Widya melipat tangan di atas meja. "Kamu itu pldokter. Seharusnya kamu tahu apa yang harus dilakukan. Malah enak-enakan telepon sampai malam. Sampai nggak tahu anak butuh perhatian," sindirnya.

Faisal merasa semakin tidak nyaman. "Maksud Mami apa?"

"Kamu tahu, Melani mau merawat anakmu dengan tulus. Dia sampai mengkhawatirkan Cheril. Sementara kamu, telepon sama perempuan nggak bener. Kamu pikir Mami nggak tahu? Kasian anakmu waktu butuh kamu, eh kamunya molor."

Bibir Faisal sudah berkedut. Ada kata sensitif yang diucapkan Widya. "Maksud Mami apa bilang Vena wanita nggak benar? Dia wanita baik. Selama ini dia juga baik sama keluarga ini. Kenapa Mami lupa?"

"Mami nggak lupa. Dia baik sama keluarga kita. Tapi, perempuan mana yang dikatakan baik kalau masih mengganggu suami orang," balas Widya tidak kalah ketus.

"Itu karena keadaan. Keadaan yang membuat kami begini. Kami saling mencintai. Tapi gara-gara wasiat Papi, aku terpaksa menikahi Melani."

Brak! Widya menggebrak meja. Disusul dengan bunyi pecahan piring.

Kedua orang di meja serempak menoleh. Melani menjatuhkan piring. Tubuhnya bergetar.

Widya tergagap. Dia tidak ingin Melani mendengarkan semua percakapan mereka. Sementara Faisal kembali memakan roti dengan santai.

"Bagus kalau dia dengar," desisnya.

"Ada apa, Mel?" tanya Widya.

Melani berusaha mengatur pikirannya. Benang kusut memenuhi kepala. "Che-Cheril panas tinggi, Mi. Dia juga muntah-muntah." Ia menunjuk ke arah kamar.

Faisal menghentikan makannya. Dia menggebrak meja. Dua wanita itu terkejut.

"Ngerawat gitu aja nggak bisa! Aku bawa dia ke rumah sakit. Siapkan bajunya Cheril. Dan kau," Faisal menunjuk Melani. "Di rumah."